MEMAHAMI KASUS KLIENT

Jumat, 19 Februari 2010

materi 3 *)


Standar kompetensi:
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman dalam memahami kasus klient dalam kegiatan konseling.

Kompetensi dasar:
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan definisi kasus untuk keperluan konseling
2. Mengidentifikasi kasus berdasarkan masalah klient
3. Memprediksi masalah, kemungkinan sebab, dan kemungkinan akibat kasus
4. Mengetahui cara penanganan dan penyikapan positif pada kasus

A. Tinjauan Awal Tentang Kasus
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dibaca bahwa kasus berarti soal atau perkara atau keadaan sebenarnya suatu urusan atm perkara. Apabila istilah kasus itu dihubungkan dengan seseorang, maka ini berarti bahwa pada orang yang dimaksudkan itu terdapat "soal" atau "perkara" tertentu.
Kata "kasus" dipakai dalam bimbingan dan konseling sekadar untuk menunjukkan bahwa "ada sesuatu perrnasalahan tertentu pada diri scseorang yang perlu mendapatkan perhatian dan pemecahan demi kebaikan untuk diri yang bersangkutan". Misalnya, kita perlu membahas kasus Samawi. Ini berarti pada diri Samawi ada sesuatu masalah yang perlu ditangani, untuk kepentingan Samawi itu sendiri. Kasus Samawi itu misalnya menyangkut kurang menaruh minat pada jurusan yang dimasukinya, kurang menyenangi salah seorang teman, cinta bertepuk sebelah tangan, merasa kurang mampu meraih cita-cita, dan lain-lain. Apabila kasusnya itu tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan semakin dirugikan karena masalah yang ada di dalamnya menjadi semakin parah dan menggerogoti dirinya. Kasus seperti itu tentu saja tidak ada kaitannya dengan urusan kriminal ataupun perdata; tidak perlu disangkutpautkan dengan polisi atau petugas hukum dan pihak-pihak yang berwajib. Sebaliknya kasus itu perlu ditangani dengan secara langsung melibatkan Samawi sendiri dan orang-orang lain yang dapat membantu pemecahan masalahnya. Keterlibatan orang-orang itu bukan sebagai saksi (seperti dalam kasus kriminal atau perdata), atau sebagai penjaga (seperti menjaga narapidana), atau sebagai¬apa pun juga yang bertentangan dengan kehendak Samawi, melainkan sebagai seorang yang bermanfaat, dalam membantu Samawi terlepas dari masalahnya itu. Keterlibatan orang-orang lain itu pun, harus sepengetahuan dan seizinnya. Dengan demikian pemakaian kata "kasus" sepenuhnya menghindarkan pengertian¬ yang negatif, mencela atau meremehkan atau mengecilkan hati orang yang bersangkutan, menuduh, menjelek-jelekkan, mempergunjingkan, memperolokkan, membuka aib orang, dan lain sebagainya. Sebaliknya, pembicaraan tentang kasus yang menyangkut seseorang justru bermaksud hendak memahami permasalahan yang diderita orang itu, sebagaimana adanya untuk dapat dicarikan jalan Pemecahannya secara tepat dan berhasil. Jadi tujuannya benar-benar positif ingin membantu seseorang yang sedang menderita kesulitan tertentu agar ia kembali dapat mencapai keadaan yang menyenangkan dan membahagiakan dalam arti yang sebenarnya.
Dengan pemahaman positif sebagaimana dikemukakan di atas perhatikanlah kasus-kasus berikut ini:

KASUS 1
Seorang siswa SMA, laki-Iaki menunjukkan gejala jarang masuk sekolah, sering melanggar tata tertib sekolah, dan prestasi belajamya rendah. Siswa tersebut sering bolos, terutama kalau akan menghadapi mata pelajaran matematika. Pada akhir tahun yang lalu yang bersangkutan termasuk salah seoning siswa yang dipermasalahkan untuk kenaikan kelasnya. Di rumah, siswa tersebut tidak mempunyai tempat belajar sendiri; dia belajar di tempat tidurnya. Ia banyak membantu kegiatan keluarga sehingga seringkali terlambat masuk sekolah. Data lain menunjukkan bahwa siswa yang bersangkutan adalah anak keenam dari sebelas bersaudara. Tiga orang saudaranya sudah berada di perguruan tinggi, dan salah seorang adiknya juga di kelas III di sekolah yang sama. Siswa yang bersangkutan sebenarnya kurang berminat terhadap bidang studi matematika. Dalam menyelesaikan salah satu tugas rumahnya pemah terjadi bentrok dengan salah seorang gurunya.

KASUS II
ES berumur 16 tahun, duduk di kelas I SMA di kota B. Di sana ia tinggal bersama dengan kakak laki-lakinya yang seayah, tetapi berlainan ibu. Dalam rumah tersebut tinggal pula ibu tirinya. Ibu kandungnya tinggal di kota P sebagai pedagang. Nilai yang diperoleh ES sangat jelek dalam mata pelajaran matematika dan fisika, sedangkan dalam mata pelajaran lain nilainya cukup baik, yaitu rata-rata di atas 6. Kecerdasannya tergolong sedikit di atas rata-rata. Hasil tes bakat menunjukkan bahwa ia cukup baik dalam penalaran berhitung, penalaran mekanika dan penalaran abstrak. Menurut guru-gurunya, siswa tersebut termasuk anak pendiam dan selalu mengambil tempat duduk di deretan paling belakang. Dia bercita-cita menjadi insinyur pertanian.

KASUS III
Seorang siswa di kota Ja memperoleh prestasi belajar sangat kurang, terutama dalam mata pelajaran ilmu sosial. Yang bersangkutan adalah siswa jurusan IPA. Dia sering bertengkar dengan teman-teman sekelasnya dan sukar menye¬suaikan diri dengan lingkungannya. Orang tuanya bercita-eita agar anak itu menjadi seorang dokter yang berhasil. Dalam keluarganya, ia sering dimanjakan oleh kakak-kakak dan neneknya. Tingkat ekonomi orang tuanya tergolong sedang sehingga ia sering mendapat kesulitan dalam memenuhi alat-alat pelajarannya. Terhadap guru, siswa tersebut sangat pemalu, segan dan bahkan takut, sehingga tampak cang¬gung. Demikian juga hubungannya dengan orang-orang dewasa lainnya, ia tampak sangat kaku dan sering diperlakukan seperti anak keeil.

KASUS IV
An (13 tahun) siswa SMP di kota M, memperoleh prestasi belajar sedang-sedang saja, bahkan cenderung rendah. Dia jarang mau bermain dengan teman-teman sekelas¬nya. Pada waktu istirahat dia lebih suka bermain sendirian. Siswa .tersebut sukar diajak ber¬bicara. Kalau tiba gilirannya untuk tampil di depan kelas, dia tampak gugup, gemetar, dan suaranya tidak jelas terdengar. Di rumah, An adalah anak satu¬-satunya yang perempuan, karena itu ibunya sering memanjakannya, tetapi An sering tidak dibenarkan ke luar rumah, baik untuk bermain dengan teman-temannya maupun untuk keperluan lain. Jika sekali-sekali dia ke luar rumah dan bermain, apabila oleh sesuatu hal dia menangis maka ibunya langsung campur tangan dan tidak jarang memarahi temannya itu.

KASUS V
Seorang siswa SMA sering terlarnbat datang ke sekolah. Nilai rapor semester yang baru lalu kebanyakan berada di bawah nilai rata-rata kelas. Dia sering berlaku kasar bila ditegur oleh teman-temannya. Oleh sebab itu, kebanyakan teman-teman sekelasnya enggan bergaul dengan M. Di samping kasar, dia juga sering rnengucapkan kata-¬kata yang tidak senonoh dan rnenyinggung perasaan orang lain. Di rumah, M adalah anak ketiga dari lima orang bersaudara. Ayahnya sering tidak di rumah karena terIalu sibuk dengan pekerjaannya. Dernikian pula ibunya sering berpergian. Segala urusan rurnah tangga diserahkan kepada pembantu. .

KASUS VI
K murid kelas II SMA di kota P. Semester ini ia jarang masuk sekolah, dan nilainya berantakan. Dia tampak kurus dan mukanya pucat. Pada waktu diadakan razia di sekolahnya, kedapatan daun ganja dalam amplop yang diselipkannya di dalam buku pelajarannya. Dia suka berkelahi dengan teman-temannya. Demikian juga terhadap gurunya, apabila guru menegumya, maka dia bereaksi dengan kasar. Dia adalah siswa pindahan dari kota J. Di kota ini dia tinggal bersama dengan orang tuanya. Ayahnya seorang anggota ABRI, berpangkat perwira menengah. Karena kesibukannya, ayahnya jarang di rumah, dan ibunya kurang mem¬berikan perhatian yang penuh terhadapnya, bahkan sering marah-marah apabila K berada di rumah. K pernah minggat dari rumahnya; sejak itu dia jarang sekali pulang ke rumah. Dia bersama dengan kawan-¬kawannya sering terlibat mabuk-mabukan dan kekerasan. Mengetahui K seperti itu, orang tuanya mengirimkannya ke kota P agar dapat bersekolah dengan baik di sana. Di kota P dia tinggal bersama dengan tantenya. Oleh tantenya K diperlakukan sangat keras. Sepulang sekolah ia tidak boleh ke luar rumah. Dengan perlakuan seperti itu dia me¬rasa dirinya berada dalam penjara. Perasaan yang dideritanya itu sering dilampiaskannya kepada kawan-kawannya dan gurunya. Di sekolah dia dicap sebagai anak nakal.

KASUS VII
ES berumur 16 tahun dan tinggal bersama dengan orang tuanya di kota P. la merupakan anak tunggal dalam keluarganya; karena itu ia sangat dimanjakan. Ternyata ia anak pandai. Meskipun hidupnya agak kurang teratur, baik di rumah maupun di luar rumah, namun prestasinya di sekolah cukup dapat dibanggakan. Satu-satunya hal yang menjadi ganjalan bagi siswa itu, dan juga bagi orang tua dan guru-gurunya ialah nilai pelajan agama, dia mendapat nilai merah. Perhatian ES terhadap kehidupan beragama diper¬tanyakan.

KASUS VIII
Seorang siswa STM, laki-Iaki, merasa tidak enak karena dimarahi oleh orang tuanya, gara-gara tidak lagi melakukan salat sebagaimana mestinya. Tadinya ia rajin salat tepat pada waktunya, bahkan sering kali salat berjamaah. Siswa tersebut mengalami kebim¬bangan; pertama alasannya untuk menghentikan atau memulai salat lagi, kedua tentang amarah orang tuanya, dan ketiga kalau-kalau kebimbangannya itu mem¬pengaruhi prestasinya di sekolah.

Bagaimakah kesan Anda tentang masing-masing kasus tersebut?
Kesan umum yang dapat kita tangkap ialah bahwa pada masing-masing kasus ada permasalahan tertentu yang perlu mendapat perhatian dan di¬tangani dengan saksama. Permasalahan yang ada pada masing-masing kasus itu dapat dilihat dalam kaitannya dengan keempat dimensi kemanusiaan. Dalam rangka itu permasalahan utama yang secara langsung ditampilkan deskripsi masing-masing kasus itu dapat dicatatkan sebagai berikut: Individualitas, Sosialitas Moralitas, Religiusitas.

Catatan untuk setiap kasus di atas barulah memuat butir-butir yang secara eksplisit tertera pada deskripsi kasus itu. Tidak mustahil bahwa pada kasus yang bersangkutan masih banyak lagi butir-butir permasalahan yang sebenarnya ada tetapi belum dideskripsikan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah penempatan suatu butir permasalahan pada dimensi tertentu sering kali tidak mutlak; artinya satu butir permasalahan boleh jadi dapat ditempatkan pada lebih dari satu dimensi. Misalnya, butir "sering bertengkar" pada kasus I diletakkan pada dimensi sosialitas. Peletakan ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa tingkah laku "sering bertengkar" itu berkaitan sangat erat dengan hubungan bersama orang lain; keadaan "se¬ring bertengkar" hanya terjadi apabila orang-orang yang bersangkutan berhubungan dengan orang. Namun demikian, perilaku "sering bertengkar" itu kurang memahami aturan, sopan santun, dan nilai-nilai lain yang berlaku dalam berhubungan dengan orang lain; ia mau benar dan menang sendiri tanpa mempedulikan aturan dan nilai-nilai tersebut. Jika demikian keadaannya, maka sebenarnya butir "sering bertengkar" dapat juga ditempatkan pada dimensi moralitas. Untuk kasus II, keadaan "pendiam" selain' dapat ditempatkan dimensi sosialitas, agaknya juga dapat terkait dengan dimensi individualitas, mengingat kemungkinan siswa yang bersangkutan menjadi pendiam karena kemampuan berbicaranya yang kurang berkembang. Keadaan "dimanjakan" pada kasus IV dan VII dapat juga ditempatkan pada dimensi moralitas mengingat anak-anak yang terlalu dimanjakan sering kali kurang mampu mengembangkan pada dirinya sopan santun dan pengendalian diri terhadap nilai-nilai ataupun peraturan yang berlaku.

Demikian, dapat dikaji kembali penempatan setiap butir permasalahan itu. Satu butir permasalahan dapat saja ditempatkan pada dua atau bahkan tiga dimensi sesuai dengan keterkaitannya. Hal ini juga mengacu pada apa yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu bahwa keempat dimensi kemanusia¬an itu tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya. Keempatnya menjadi satu kesatuan yang terintegrasikan di dalam kehidupan dan per¬kembangan seseorang. Setiap aspek dari dimensi-dimensi dapat saling terkait sesamanya.
Setelah diketahui adanya kasus tertentu, bagaimana selanjutnya? Satu hal yang dapat dilakukan ialah membayangkan "apa yang akan terjadi atau akibat-akibatapa yang akan timbul apabila.kasus tersebut dibiarkan berlarut-larut". Untuk kasus I misalnya, apa yang akan terjadi apabila keadaan "prestasi belajar rendah, kurang berminat pada IP A, bentrok dengan guru, melanggar tata tertib, membolos, dan terlambat masuk sekolah" itu berkelanjutan? Diduga kuat bahwa siswa tersebut akan semakin tidak mampu menjalani proses pendidikannya di sekolah itu, dan akhirnya bisa gagal. Dapat dibayangkan bagaimana repotnya siswa itu menempatkan dirinya dalam suasana sekolah yang baginya amat tidak menyenangkan, bagaimana ia menghadapi tugas-tugas sekolah yang dirasakannya sebagai beban berat; bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan nilai-nilainya yang semakin rendah itu, dan lain sebagainya. Besar kemungkinan siswa itu akan tidak naik kelas, dan boleh jadi akan dikeluarkan dari sekolahnya. Apabila hal ini terjadi, bagaimana nasibnya lebih lanjut? Dapatkah dia menemukan sekolah lain yang suasananya lebih baik daripada sekolah sebelum itu? Ataukah ia akan dirundung putus asa yang mendalam sehingga amat berat baginya mengikuti proses pendidikan lebih lanjut dalam suasana hati yang tenteram dan senang serta bersemangat? Bagaimana pula reaksi orang tuanya? Apakah reaksi orang tuanya kurang tepat, boleh jadi reaksi tersebut akan memperparah keputusasaan siswa dan memperberat penanggungannya itu. Lebih jauh, dapat direntang lebih panjang lagi ber¬bagai kemungkinan yang akan terjadi ataupun terkait apabila permasalahan tersebut tidak segera ditangani dengan saksama.
Kasus II tampaknya "paling ringan. Permasalahan yang terdapat pada kasus itu "hanya" dua butir. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa deskripsi suatu kasus mungkin baru menyebutkan sebagian kecil saja dari keseluruhan masalah serta saling keterkaitannya yang terdapat di dalam kasus itu. Ibarat gunung es yang terapung di tengah lautan; bagian yang tampak di permukaan air hanya sedikit saja, tetapi bagian yang berada di bawah permukaan air bolehjadi tak terukur. Demikian juga pada kasus II, permasalahan yang dideskripsikan hanya dua, tetapi Konselor seharusnya tidak memandang suatu kasus dari sudut berat-ringannya; apalagi kalau berat ringannya itu didasarkan atas deskripsi kasus yang barangkali belum lengkap. Setiap kasus harns dipandang dan dihadapi secara serius. Apabila konselor memandang suatu kasus sebagai kasus yang ringan, boleh jadi konselor yang menyepelekannya, sehingga menjadi kurang tanggap dan kurang serius meng¬hadapinya. Sebaliknya, apabila konselor memandang suatu kasus sebagai kasus yang berat, atau bahkan amat berat, barangkali konselor akan bersikap dan bertindak berlebih-Iebihan, atau merasa tidak sanggup menghadapinya, sehingga belum apa-¬apa sudah merasa kewalahan. Sikap dan tindakan yang meremehkan ataupun berlebih-lebihan itu keduanya tidak wajar dan besar kemungkinan akan merugikan orang yang mengalami permasalahan itu sendiri dan mengurangi efektivitas upaya penanggulangannya.
Permasalahan yang ada mungkin bermacam-macam dan sangkut -pautnya amat luas. Permasalahan "nilai jelek dan pendiam" sebagaimana terdapat pada kasus II itu boleh jadi mengandung implikasi yang tidak kalah luasnya dengan implikasi yang mungkin dimiliki oleh kasus I, yaitu seperti tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah, reaksi orang tua yang sangat menekan sehinggalebih memberatkan bagi siswa yang bersangkutan. Perilaku yang dapat diarnati yang menggambarkan masalah
Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah pemahaman kita terhadap kasus berkaitan dengan "sehat" atau "sakit" jasmaniah (fisik) atau psikis (mental) seseorang yang menderita penyakit jasmani perlu mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan dari dokter, sedangkan mereka yang menderita penyakit psikis perlu berhubungan dengan psikiater untuk memperoleh pengobatan. Permasalahan yang terdapat pada (kedelapan) masing-masing kasus tersebut di muka, dan kasus-kasus lainnya, tidak perlu disangkut¬pautkan dengan keadaan sehat atau sakit jasmani atau psikis, kecuali gejala kurus dan pucat pada kasus VI. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami permasalahan tertentu tidak boleh dianggap sedang menderita sakit jasmani sehingga harus pergi ke dokter, atau terkena penyakit jiwa sehingga harus dibawa ke psikiater. Seseorang perlu pergi ke dokter kalau gejala-gejalanya memang menunjukkan bahwa ia mengalami ketidakseimbangan, kerusakan atau ketidakberfungsian fisik, seperti pening, mulas, terus-menerus merasa lelah, mengalami benturan di kepala sehingga kemampuan berpikir dan mengingat terganggu, panca indra kurang berfungsi dengan baik, dan sebagainya. Demikian pula, seseorang perlu dibawa ke psikiater apabila mengalami ketidakseimbangan, kerusakan atau ketidakberfungsian psikis, seperti gejala-gejala neurotik (ditandai oleh adanya gangguan emosional yang parah, kekhawatiran yang amat sangat, pobia) dan psikotik (ditandai oleh ketidakseimbangan yang parah dari fungsi-fungsi intelektual dan sosial serta menarik diri dari kenyataan yang terjadinya di sekitarnya).
Orang-orang yang mengalami permasalahan tertentu tidak boleh dianggap sebagai tidak sehat atau tidak normal; sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang seeara jasmaniah dan rohaniah sehat atau normal. Permasalahan yang sedang dialami itu bukanlah sesuatu penyakit yang serta merta dikaitkan pada pelayanan dokter atau psikiater sebagaimana dikemukakan di atas. Memang disadari sering adanya hubungan antara permasalahan tertentu dengan ketidakseimbangan jasmaniah - rohaniah. Seperti, seseorang yang amat memikirkan ujian yang harus ditempuhnya beberapa hari mendatang menjadi sukar tidur, keadaan sukar tidur itu menyebabkan sakit sehingga perlu mendapatkan obat dari dokter. Seseorang yang terpaksa putus cinta karena orang tua tidak menyetujui pilihan anaknya itu menjadi teramat frustrasi. Frustrasi itu diperoleh sebagai akibat dari reaksi-reaksi orang tua dan lingkungan yang keras sehingga ia mengalami gangguan emosional yang parah dan menarik diri dari lingkungan sekitar. Sebaliknya dapat pula terjadi, gangguan fisik dapat mengakibatkan permasalahan tertentu di luar gangguan fisik tersebut. Misalnya, orang yang sacara fisik merasa malu dan menganggap dirinya tidak berguna; orang yang sering menderita sakit merasa tidak dikasihani dan diperlakukan tidak adil oleh Tuhan, orang yang mengalami kecelakaan sehingga terluka menaruh kebencian yang besar terhadap orang yang dianggapnya menjadi penyebab keeelakaan itu.
Dalam menangani kasus-kasus seperti itu yang amat perlu di¬perhatikan ialah keadaan nyata sekarang. Orang yang menjadi sakit karena kurang tidur perlu berobat ke dokter, sedangkan kekhawatirannya meng¬hadapi ujian ditangani oleh ahli bimbingan dan konseling. Gadis yang terlalu frustrasi dan menarik diri dari lingkungan sekitamya sebaiknya dibawa ke psikiater. Kecacatan yang dialami seseorang itu dapat ditangani oleh dokter ahli (spesialis) yang sesuai dengan kecacatannya, sedangkan perasaan malu dan merasa tidak berguna dapat dibantu melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Orang yang sering sakit itu perlu terus-menerus mendapatkan perawatan dokter, sedangkan anggapan tidak dikasihani dan diperlakukan tidak adil oleh Tuhan dilayani melalui bimbingan dan konseling. Orang yang luka dalam kecelakaan harus mendapatkan pengobatan yang memadai, sedangkan kebenciannya kepada orang lain diatasi dengan pelayanan bimbingan dan konseling.

Masalah pada klient bisa diibartakan sebagai Gunung Es Terapung di Lautan.

B. Pemahaman Terhadap Kasus
Dalam menghadapi suatu kasus yang dialami oleh seseorang, ada tiga hal utama yang perlu diselenggarakan, yaitu penyikapan, pemahaman, dan penanganan terhadap kasus tersebut. Oleh karena "penyikapan" menyangkut baik "pemahaman" maupun "penanganan", maka dalam sajian berikut uraian tentang "penyikapan" akan diberikan pada urutan yang terakhir.
Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kasus dilakukan untuk mengetahui lebih jauh berbagai seluk-beluk kasus tersebut, tidak hanya sekadar mengerti permasalahannya atas dasar deskripsi yang telah dikemukakan pada awal pengenalan kasus semata-mata. Di depan telah dikemukakan bahwa perrnasalahan yang terkandung di dalam suatu kasus boleh jadi seperti gunung es yang terapung di lautan, bagian yang tampak di perrnukaan air hanya sedikit saja, padahal bagian yang berada di bawah perrnukaan laut besamya sukar diukur.
Pemah seorang mahasiswa (putri) datang kepada konselor dengan keluhan "merasa risi dan salah tingkah karena salah seorang dosennya (pria) memberikan perhatian amat khusus kepadanya". Dosen itu, katanya setiap kali berusaha menemuinya dan menarik perhatiannya; sebagai akibatnya mahasiswa tersebut tidak dapat belajar dengan baik, nilainya merosot dan terancam putus kuliah. Gambaran kasus itu tampaknya sederhana saja, yaitu "diganggu oleh laki-laki, sehingga tidak dapat memusatkan dirinya untuk belajar, nilai rendah, dan diancam kegagalan". Berdasarkan pemahaman sederhana yang dipetik semata-mata dari deskripsi awal itu saja, pemecahan masalahnya itu seperti sederhana saja, yaitu misalnya: berusaha menghindar dengan cara-cara yang tidak menyinggung perasaan dosen yang bersangkutan dan menguatkan motivasi belajar apabila kedua hal itu dapat dilaksanakan; mudah-mudahan semangat belajar akar timbul kembali dan nilai-nilai akan naik.
Setelah diadakan wawancara konseling secara intensif, diketahui bahwa nilai-nilai yang dicapai oleh mahasiswa itu memang rendah dan ia kurang mampu memusatkan perhatiannya dalam belajar. Namun sumber ketidakmampuan memusatkan perhatian itu ternyata bukanlah berasal dari tingkah laku dosen yang seolah-olah mengejar dan mencintainya. Pengemukaan "dicintai dosen" oleh mahasiswa tersebut, tampaknya justru merupakan wujud proyeksi yang dilontarkan oleh mahasiswa itu. Barangkali yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya, yaitu mahasiswa itu yang menaruh perhatian kepada dosen yang dimaksudkannya itu, tetapi agaknya ia malu mengemukakannya dan yang keluar dari mulutnya malahan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi; ia menyatakan bahwa dosen itulah yang berusaha mengejar dan berusaha menarik perhatiannya.
Permasalahan "dicintai dosen" ternyata kemudian tidak penting dan tidak menjadi topik yang banyak dibicarakan dalam wawancara konseling. Dalam wawancara itu justru terungkap sesuatu yang merupakan sumber pokok ketidakmampuannya memusatkan diri dalam belajar, yaitu hubungan¬nya dengan orang tuanya, khususnya ayahnya. Terungkapkan dalam wawan¬cara konseling itu bahwa permasalahan hubungan dengan orang itu terjadi sejak mahasiswa tersebut memasuki SMA; ia memilih jurusan yang tidak diingini oleh orang tuanya, sehingga ia kena marah yang berkepanjangan. Orang tuanya seperti mengasingkan anaknya itu, bahkan pernah tidak diberi belanja untuk beberapa waktu. Kemarahan, hardikan, sumpah serapah orang tuanya setiap kali meluncur dan menimpa anak gadis itu selama bertahun¬-tahun. Akibat dari semuanya itu ialah perasaan tertekan yang cukup mendalam pada diri gadis tersebut. Selanjutnya, perasaan tertekan itu akhirnya menimbulkan sesuatu yang aneh pada diri gadis itu, yaitu "apabila ia teringat orang tuanya, kepalanya menjadi pusing". Keadaan seperti itu setiap kali berulang, di sembarang tempat, di sembarang waktu, dan pada sembarang kesempatan; baik di sekolah, di rumah, bahkan sewaktu yang bersangkutan sedang memasak atau makan sekalipun; lebih-Iebih sewaktu belajar.
Itulah sumber pokok yang menggangu konsentrasinya belajar. "Dikejar dosen" barangkali memang ikut juga mengurangi konsentrasinya, tetapi yang lebih pokok ialah keadaan dirinya yang sering pusing itu; dan temyata pusing itu tidak disebabkan oleh penyakit fisik. Keadaan seperti itu tentu saja memberikan gambaran yang amat berbeda dari gambaran yang dapat dipetik dari sekadar deskripsi awal kasus mahasiswi itu.
Contoh lain, misalnya seorang siswa di kelas sering mengantuk, sehingga menjadi tertawaan bagi teman-temannya sekelas dan kekesalan bagi guru-gurunya. Nilai-nilai siswa itu pun banyak yang rendah. Siswa tersebut sudah sering ditegur, bahkan dimarahi. Setiap kedapatan ia mengantuk di kelas, gurunya menyuruhnya ke luar dan mencuci mukanya. Peristiwa seperti itu telah sering terjadi, namun siswa tersebut masih saja sering mengantuk di kelas sewaktu pelajaran sedang berlangsung.
Dari deskripsi sederhana di atas tergambar bahwa siswa tersebut kurang mampu memusatkan perhatiannya pada pelajaran yang sedang berlangsung dan kurang mampu memenuhi permintaan guru-gurunya untuk membuang kantuknya itu, dan teknik cuci muka itu tampaknya kurang efektif. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kasus mengantuk perlu dilakukan penjelajahan yang luas dan intensif, misalnya melalui wawancara khusus dengan siswa tersebut (wawancara konseling), memeriksa kumpulan data (commulatif record) yang ada di sekolah, kunjungan rumah. Dari upaya penjelajahan masalah itu akan terungkap berbagai hal yang akan memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih luas dan lebih menyeluruh tentang kasus itu. Pemahaman yang lebih luas itu antara lain menyangkut keadaan fisik pada umumnya, minat dan perhatiannya, suasana rumah tempat tinggalnya. Peralatan belajarnya, reaksi-¬reaksinya terhadap proses belajar-mengajar di kelasnya, hubungannya dengan teman-temannya, keadaan makannya, dan lain sebagainya.
Satu hal lagi yang dapat menjadi bekal bagi pengembangan pe¬mahaman terhadap suatu kasus ialah bagaimana dapat dibayangkan berbagai kemungkinan yang bersangkut-paut dengan kasus itu, terutama dilihat dari segi rincian permasalahannya, kemudian sebab-sebabnya, dan kemungkinan akibat-akibatnya. Kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan itu dapat menjadi arah awal bagi upaya penjelajahan untuk lebih memahami kasus sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam kaitan itu, perlu diperhatikan ialah: jangan sampai kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan itu, justru mengikat atau menjerat orang yang hendak lebih memahami kasus; ia menjadi terlampau terikat dengan apa yang dibayangkannya itu, sehingga tidak membuka kemungkinan bagi terungkapnya fakta-fakta baru yang boleh jadi bertentangan dengan kemungkinan-kemungkinan yang sudah di¬bayangkan sebelumnya itu.
Pada diri konselor (yaitu orang yang berkehendak dan amat ber¬kepentingan dengan pemahaman yang mendalam tentang kasus yang dialaminya) pertama-tama perlu dikembangkan konsep atau ide-ide yang cukup kaya tentang berbagai kasus. Apabila kepada konselor dihadapkan sebuah kasus, maka pada diri konselor itu seharusnyalah telah tersedia berbagai. ide berkenaan dengan kasus itu, terutama ide-ide tentang gambaran kasus yang lebih rinci, kemungkinan sebab-sebabnya, dan kemungkinan akibat-akibatnya apabila kasus itu dibiarkan tidak tertangani atau malahan bertambah parah. Misalnya, untuk kasus gadis yang "tidak dapat berkonsentrasi belajar karena diminati oleh dosennya" itu, dapat dikembangkan ide-ide sebagai berikut:
Gambaran masalah yang lebih rinci ialah:
nilai-nilai yang diperoleh banyak rendah, malahan tidak lulus; hanya sedikit saja melakukan kegiatan belajar di rumah; kurang serius mengikuti perkuliahan; kurang memiliki buku-buku dan kelengkapan perkuliahan lainnya; merasa risi, gelisah dan salah tingkah jika berada di dekat dosen yang dimaksudkannya itu; ingin menghindar dari dosen yang dimaksudkannya itu.
Sedangkan kemungkinan sebab-sebabnya:
kurang menyukai jurusan yang dimasukinya; ada satu atau lebih mata kuliah yang tidak disukainya; proses belajar-mengajar yang dikembangkan dosen dalam per¬kuliahan kurang merangsang mahasiswa untuk belajar dengan baik; suasana tempat tinggalnya kurang menunjang baginya untuk belajar dengan baik; terlalu banyak kegiatan di luar perkuliahan sehingga mengganggu konsentrasi belajar; mahasiswa tersebut cantik dan menarik; pandai menggoda laki-Iaki.
dan kemungkinan akibatnya:
nilai-nilai bertambah merosot; terjadi keretakan hubungan dengan dosen yang disebutkan, atau terjadi hubungan yang lebih erat dan lebih jauh sehingga keluarga dosen itu (kalau ia sudah berkeluarga) menjadi berantakan; masa depan kelanjutan studinya terancam; masa depan perkawinannya dipertanyakan.

Bayangan atau ide-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab, dan kemungkinan akibatnya perlu dimiliki oleh konselor. Namun, sebagaimana sudah dikemukakan, ide-ide tersebut tidak boleh menjerat diri konselor dan menutup kemungkinan terbuka luasnya daerah penjelajahan yang akan memunculkan fakta-fakta baru yang mungkin justru tidak bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan itu. Misalnya, sumber utama ketidakmampuan pemusatan diri dalam belajar mahasiswi tersebut, ialah sering merasa pusing kalau teringat orang tuanya. Kenyataan yang amat penting ini dan merupakan kunci bagi pemecahan masalah itu nantinya; justru tidak muncul dalam ide-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab, dan kemungkinan akibat yang sudah dikemukakan itu.
Konsep atau ide:-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab dan kemungkinan akibat merupakan bekal dan ancangan bagi konselor untuk berusaha menjelajahi kasus yang dihadapinya untuk rnemperoleh pemahaman yang mantap tentang kasus itu. Untuk keperluan itu, berikut ini dikemukakan ide-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab dan kemungkinan akibat bagi masing-masing masalah yang terkandung di dalam deskripsi setiap kasus (delapan kasus) yang telah ditampilkan terdahulu. Ide-ide yang dikemukakan tersebut masih bersifat sementara, tidak terlalu mengikat, dan masih dapat dan bahkan perlu dikembangkan lebih jauh. Sekali lagi ditekankan bahwa, ide-ide itu sebaiknya ada, tetapi tidak boleh menjadi alasan yang menutup kemungkinan terungkapnya fakta-fakta bam dalam proses penjelajahan masalah secara intensif dan ekstensif. Konselor tidak boleh terikat dan secara kaku berpegang pada ide-idenya itu. Dalam keadaan tertentu, ide-ide yang dikembangkan itu boleh jadi tidak bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan kenyataan yang diperoleh melalui pendalaman masalah.

Kemungkinan Rincian, Sebab, dan Akibat PermasaIahan yang Terkandung di daIam Setiap Kasus Prestasi belajar rendah ... di bawah rata-rata ... merosot (Kasus I, II, III, IV, V, VI, dan VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
nilai rapor ban yak merahnya; nilai tugas, ulangan dan ujian rendah; dari waktu ke waktu nilai menurun; mendapat peringkat di bawah rata-rata untuk berbagai ataU setiap mata pelajaran; mendapat peringkat di aawah rata-rata untuk keseluruhan murid dalam satu kelas.
Kemungkinan sebab:
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata; malas belajar; kurang minat dan perhatian; kekurangan sarana belajar; kekurangan kesempatan, atau waktu untuk belajar; suasana sosio-emosional di rumah kurang memungkinkan untuk belajar dengan baik; prosesbelajar - mengajar di sekolah kurang merangsang; suasana sosio-emosional sekolah kurang memungkinkan siswa belajar dengan baik.
Kemungkinan akibat:
minat belajar semakin berkurang; tidak naik kelas; dikeluarkan dari sekolah; frustrasi yang mendalam; tidak mampu melanjutkan pelajaran; kesulitan mencari kerja.

2. Kurang berminat pada bidang studi tertentu (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
tidak dapat memusatkan perhatian untuk mempelajari materi¬materi yang terkait pada bidang studi tersebut; berusaha tidak mengikuti mata pelajaran yang bersangkutan dengan bidang studi tersebut; tidak mengerjakan tugas-tugas dalam mata pelajaran tersebut.
Kemurigkingan sebab:
tidak memiliki bakat dalam bidang tersebut; lingkungan tidak menyokong untuk pengembangan bidang tersebut; proses belajar mengajar untuk bidang tersebut tidak menyenang¬kan; dengan guru kurang menyenangkan; siswa sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya selalu rendah; dorongan dari guru dan sekolah kurang; sarana belajar kurang menunjang; memilih bidang tersebut dari ikut-ikutan, atau dorongan orang tua atau orang lain.
Kemungkinan akibat: pindah jurusan;
terjadi ketidaksesuaian antara keinginan orang tua dan pilihan siswa; kegiatan belajar untuk bidang-bidang studi lain menjadi terganggu.

3. Bentrok dengan guru (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
tidak mengikuti pelajaran dengan guru tersebut;' tidak mau bertemu dengan guru tersebut; jika bertemu tidak maumenegur guru tersebut; memakai kata-kata ataupun ber~ikap tidak sopan terhadap guru tersebut; mempengaruhi kawan-kawannya untuk bersikap serupa terhadap guru terse but.

Kemungkinan sebab:
tidak menyukai bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut; siswa berbuat kesalahan dan ketika ditegur oleh guru terse but siswa tidak mau menerima teguran itu; benvatak pemberang; kurang memahami aturan dan sopan santun yang berlaku di sekolah; aturan dan sopan santun yang berlaku di lingkungan (dan di rumah) berbeda dengan yang berlaku di sekolah.

Kemungkinan akibat:
memperoleh nilai "mati" dari guru yang bersangkutan; hubungan dan kegiatan belajar dengan guru-guru lain menjadi terganggu; tidak naik kelas; dikeluarkan dari sekolah.

Melanggar tata tertib (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
sejumlah tata tertib sekolah tidak dipatuhi, misalnya: tentang kehadiran di sekolah, baju seragam, tempat duduk dalam kelas, penyelesaian tugas-tugas; pelanggaran tersebut kelihatannya bukan tanpa disengaja; pelanggaran tersebut dilakukan berkali-kali.

Kemungkinan sebab:
tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah, aturan tersebut tidak di¬diskusikan dengan siswa sehingga siswa hanya terpaksa me¬ngikutinya; siswa yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun di masyarakat; tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran terlalu keras sehingga siswa mereaksi secara tidak wajar (negatif); ciri khusus perkembangan remaja yang agak "sukar diatur" tetapi "belurn dapat mengatur diri sendiri"; ketidaksukaan pada rnata pelajaran tertentu dilarnpiaskan pada pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.

Kemungkinan akibat:
tingkah laku siswa rnakin tidak terkendali; terjadi kerengganan hubungan antara guru dan murid; suasana sekolah dirasakan kurang rnenyenangkan bagi siswa; proses belajar-rnengajar terganggu; kegiatan belajar siswa terganggu; nilai rendah; tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.

Membolos (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
Berhari-hari tidak rnasuk sekolah; tidak rnasuk sekolah tanpa izin; sering keluar pada jam pelajaran tertemu, tidak rnasuk kembali setelah rninta izin; rnasuk sekolah berganti hari; rnengajak teman-teman untuk keluar pada rnata pelajaran yang tidak disenangi; minta izin keluar dengan berpura-pura sakit atau alasan lainnya; rnengirimkan surat izin tidak masuk dengan alasan yang dibuat¬-buat; tidak rnasuk kelas lagi setelah jam istirahat.
Kernungkinan sebab:
tak senang dengan sikap dan perilaku guru; rnerasa kurang rnendapatkan perhatian dari guru; merasa dibeda-bedakan oleh guru; proses belajar-rnengajar rnembosankan; merasa gagal dalarn belajar; kurang berminat terhadap rnata pelajaran; terpengaruh oleh teman yang suka rnembolos; takut masuk karena tidak rnembuat tugas; tidak membayar kewajiban (SPP) tepat pada waktunya.

Kemungkinan akibat:
minat terhadap pelajaran akan semakin kurang; gagal dalam ujian; hasil belajar yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi yanl dimiliki; tidak naik kelas; penguasaan terhadap materi pelajaran tertinggal dari teman-temar lainnya; dikeluarkan dari sekolah.

6. Terlambat masuk sekolah (Kasus I, dan IV)
Gambaran yang lebih rinci:
sering tiba di sekolah setelah jam pelajaran dimulai; memakai waktu istirahat melebihi waktu yang ditentukan; sengaja melambat-Iambatkan diri masuk kelas meskipun tahu jam pelajaran sudah mulai.
Kemungkinan sebab:
jarak antara sekolah dan rumah jauh; kesulitan kendaraan; terlalu banyak kegiatan di rumah, membantu orang tua; terlambat bangun; gangguan kesehatan; tidak menyukai suasana sekolah; tidak menyukai satu atau lebih mata pelajaran; tidak menyiapkan pekerjaan rumah (PR); kurang mempunyai persiapan untuk kegiatan di kelas; terlalu asyik dengan kegiatan di luar sekolah.
Kemungkinan akibat: nilai rendah;
tidak naik kelas; hubungan dengan guru terganggu; hubungan dengan kawan sekelas terganggu; kegiatan di luar sekolah tidak terkendali.

7. Pendiam (Kasus II)
Gambaran yang lebih rinci:
kurang mau berbicara atau bertegur sapa; kurang akrab terhadap teman atau guru; tidak ceria.
Kemungkinan sebab:
berwatak introvert; kurang sehat; mengalami gangguan denganorgan bicara; malu atau takut kepada orang lain; merasa tidak periu atau tidak ada gunanya berbicara; me~galami kesulitan bahasa; sedang dirundung kesedihan atau suasana emosionai lainnya yang cukup dalam. Kemungkinan akibat: tidak disukai kawan dan pergaulan terganggu; kurang mampu mengembangkan penalaran melalui komunikasi lisan.

8. Kesulitan alat pelajaran (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
tidak rnerniliki buku-buku untuk berbagai mata pelaj'llran; tidak cukup memiliki buku dan alat-alat tulis; tidak mampu membeli alat-alat pelajaran, seperti alat-alat untuk praktek berbagai mata pelajaran.
Kemungkinan sebab:
orang tua tidak mampu; pemboros sehingga uang yang tersedia untuk alat-alat pelajaran terbelanjakan untuk yang lain; kurang akrab dengan kawan sehinggatidak dapat meminjam alat peiajaran yang diperlukan darikawan; tidak mengetahui tersedianya dan cara memanfaatkan sumber belajar yang ada (misainya perpustakaan); kurang rapi dan teliti sehingga alat-alat pelajaran yang dimiliki lekas rusak atau hilang:
Kemungkinan akibat:
tertinggal dalam pelajaran; tugas-tugas tidak selesai; nilai rendah; semangat belajar menurun.

Bertengkar atau berkelahi (Kasus III, VI)
Gambaran yang lebih rinci:
sering salah paham dengan kawan; sombong; memperolokkan, mengejek dan menantang orang lain; tidak mau dilarang; ditakuti kawan-kawannya; tidak mau menerima pendapat orang lain; membentuk "kelompok keras" yang tindakannya merugikan siswa¬-siswa yang lemah.
Kemungkinan sebab:
pengendalian diri kurang; mau menang sendiri; merasa jagoan; hiperaktif; suasana rumah yang keras atau sebaliknya terlampau memberi hati (permisif).
Kemungkinan akibat:
tidak disukai kawan dan guru; luka; melalaikan pelajaran; nilai rendah; tidak naik kelas; berurusan dengan polisi; dikeluarkan dati sekolah.

10. Sukar menyesuaikan diri (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
sering terjadi salah paham dengan kawan; sombong atau tinggi hati; suka membanding-bandingkan dan menjelekkan orang lain; tidak mau menerima pendapat orang lain;
curiga dan kurang percaya pada orang lain; pergaulan sangat terbatas.
Kemungkinan sebab:
mau menang sendiri; memiliki standar yang berbeda dengan standar yang ada; banyak mengalami kekeeewaan dalam berhubungan dengan orang lain; terlalu lama bergaul dengan sekelompok orang dalam suasana tertentu; suasana keluarga terlalu keras.
Kemungkinan akibat:
sosialitas kurang berkembang sehingga kurang mendapat keuntungan dari pergaulannya dengan orang lain; tidak dapat mengambil manfaat dari lingkungan demi pe¬ngembangan dirinya.
11. Pemalu, takut, canggung, kaku, gugup (Kasus III, dan IV)
Gambaran yang lebih rinci:
berbicara tersendat-sendat, gagap; tidak berani bertatap muka dan berwawancara dengan orang lain; sering tertegun-tegun; salah tingkah; tidak pandai mengemukakan pendapat; terlalu perasa.
Kemungkinan sebab:
diperlakukan terlalu keras, tidak bebas, tertekan; kurang bergaul; sering ditakuti-takuti
selalu berada dalam keadaan kekurangan (misalnya dalam status sosial-ekonomi); frustrasi yang dalam.
Kemungkinan akibat:
sosialitas kurang berkembang, sering dirugikan dalam ber¬hubungan dengan orang; kemampuan dan bakat yang ada pada dirinya tidak dapat berkembang seeara optimal, tidak ada. yang dapat ditonjolkan pada dirinya.

12. Dimanjakan (Kasus III,IV, dan VII)
Gambaran yang lebih rinci:
terlalu bebas, tidak dapat dikendalikan, bertindak semaunya sendiri; pemboros dan suka berfoya-foya; kurang memahami sopan santun atau aturan; kurang bertenggang rasa;
ingin dipuji.
Kemungkinan sebab:
memiliki kedudukan khusus dalam keIuarga, seperti anak bungsu, anak tunggal, satu-satunya laki-laki atau perempuan, satu-satunya cucu tersayang yang dipelihara neneknya;
mempunyai keistimewaan yang dibangga-banggakan orang tuanya, seperti sangat cantik, sangat pintar.
Kemungkinan akibat:
pergaulan terlalu bebas, sehingga menimbulkan akihat-akibat yang tidak diharapkan;
tidak dapat mengatur diri sendiri, sehingga sukar diharapkan mandiri; pelajaran dapat terlalaikan dengan akibat nilai jelek, tidak naik kelas, tidak lulus ujian.

13. Diperlakukan seperti anak kecil (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
orang lain mengganggu dan memperlakukannya seperti anak kecil, digoda, dipermainkan, harus patuh, pendapatnya diremehkan; mereaksi negatif terhadap perlakuan orang terse but, sehingga timbul dua jenis kontra-reaksi: makin dipermainkan oleh orang lain, atau tidak disenangi oleh orang lain.
Kemungkinan sebab:
tingkah laku memang kekanak-kanakan; tinggal di tempat orang-orang yang kurang menghargai dan menyayangi orang lain, (khususnya orang yang lebih muda); kurang pandai bergaul.
Kemungkinan akibat:
bersikap memberontak; sukar menyesuaikan diri; perkembangan sosialitas terganggu; rendah diri.

14. Menyendiri, kurang bergaul (Kasus IV)
Gambaran yang lebih rinci:
sering memisahkan diri dari kawan, duduk sendiri; kurang mau dibawa serta dalam kegiatan kelompok; pendiam; tidak ceria, tertutup; suka termenung; tampak lemah.
Kemungkinan sebab:
sedang mengalami suasana emosional yang cukup dalam, sedih. frustrasi, marah, kecewa, malu; merasa rendah diri; diperlakukan terlalu keras.

Kemungkinan akibat:
perkembangan sosialitas terganggu; pelajaran terabaikan dengan berbagai akibatnya.

15. Berlaku /casar (Kasus V, dan VI)
Gambaran yang lebih rinci:
sering melontarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain; suka meneaei maki orang lain; suka memberikan hukuman yang bersifat fisik; suka memarahi orang lain di depan orang-banyak, suka menyerang orang lain untuk mempertahankan dirinya; suka memojokkan orang lain dengan kata-kata yang tidak senonoh untuk mempertahankan kelemahannya; tidak tergugah hatinya melihat orang lain mengalami musibah atau penderitaan; menolak dengan kata-kata keji permintaan maaf orang lain; suka menyampaikan kata-kata kotor pada orang lain bila marah; tidak mau meminta maaf.
Kemungkinan sebab:
terbiasa diperlakukan seeara kasar dalam keluarganya; sering diperlakukan seeara kasar dalam pergaulannya; sering bergaul dengan orang-orang yang kasar; kompensasi terhadap kelemahan yang dia miliki; merasa mendapat pengalaman sukses dengan eara berlaku kasar dalam meneapai tujuannya; untuk melindungi dirinya dari kesalahan yang dia lakukan (mekanisme pertahanan diri).
Kemungkinan akibat:
sukar meneari teman bergaul, dibenci oleh orang lain; dipeneilkan dari pergaulan oleh masyarakat atau lingkungan; tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan oleh lingkungannya; nilai rendah, tidak ,naik kelas, dikeluarkan dari sekolah bisa mengalami stres dan darah tinggi karena hidupnya tidak tenang.

J 6. Tidak senonoh (Kasus V)
Gambaran yang lebih rinci: suka berkata cabul;
menggoda dengan kasar jenis kelamin lain; suka mengintip; suka membaca buku cabul; membawa gambar-gambar cabul; membuat coret-coretan yang bernada cabul; memamerkan alat kelamin kepada orang lain.
Kemungkinan sebab:
merasa iri terhadap orang lain; gangguan kepribadian/gangguan mental; kurang perhatian atau kurang kasih sayang; merasa tidak dihargai atau mendapat perlakuan yang tidak sewararnya; frustrasi karena kegagalan cinta, kegagalan belajar; terpengaruh dengan teman sebaya atau lingkungan tempat tinggal; mengalami penyimpangan seksual.
Kemungkinan akibat:
dibenci oleh orang lain; disisihkan dari lingkungan sosial; hubungan dengan teman sebaya, terutama dengan jenis kelamin lain, terganggu; terbiasa dengan perbuatan yang keji atau amoral; kegiatan belajar terganggu; nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.

16. Kurus dan pucat (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
berat badan merosot; sering tidak enak badan (sakit), lemah; tidak suka berolah raga; kurang enak makan; kurang bergairah; tidak ceria.
Kemungkinan sebab:
mengidap penyakit tertentu; berkebiasaan hidup tidak sehat, seperti tidur kurang, merokok, makan tidak teratur dan kurang gizi.
Kemungkinan akibat:
minat belajar berkurang dan pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.

18. Diperlakukan sang at keras (Kasus VI)
Gambaran yang Iebih rinci:
harus patuh pada perintah dan larangan; sering kali dimarahi, dihukum, bahkan kadang-kadang dihukum secara fisik; apabila yang bersangkutan bereaksi, Iarangan dan hukuman malahan diperkeras.
Kemungkinan sebab:
sejak awalnya yang bersangkutan memang nakaI, sehingga reaksi orang lain menjadi keras; orang tua atau guru otoriter.
Kemungkinan akibat:
menjadi pasrah; kehilangan inisiatif; rendah diri; mencari kompensasi terbawa menjadi bersikap dan berlaku keras pada orang lain, tidak mengenal kelembutan; anti sosial.

19. Tidak bebas (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci adalah:
selalu diatur tentang apa yang akan dikerjakan; selalu dicurigai ke mana akan pergi;
tidak mendapat kesempatan bergaul dengan teman sebaya; dilarang pergi ke rumah teman; tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide; tidak diperbolehkan berpacaran; harus tinggal di rumah sepulang sekolah; harus tepat waktu pulang dari sekolah; berteman harus disukai oleh orang tua; tidak diperbolehkan pergi karyawisata; pilihan sekolah lanjutan ditentukan oleh orang tua; orang tua selalu menuntut patuh atau menurut perintahnya.
Kemungkinan sebab:
orang tua terlalu ketat menerapkan disiplin dan otoriter; sekolah terlalu ketat menerapkan disiplin dan guru otoriter; pemah berdusta sehingga tidak dipercaya; orang tua sangat menyayangi sehingga khawatir atas kesehatan; dan keselamatannya; orang tua menginginkan anaknya seperti yang mereka dambakan; orang tua kurang mengerti tentang aktivitas yang dilakukan di sekolah; orang tua kurang mengerti tentang kebutuhan anaknya.
Kemungkinan akibat:
tidak luwes dalam bergaul; kurang berani berpendapat, akan muncul perasaan rendah diri, kurang percaya terhadap dirinya sendiri; bakat akan tidak terealisasikan secara optimal;
cenderung pasif atau bekerja cenderung menunggu perintah; timbul reaksi melawan atau menentang.

20. Menyimpan ganja (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
menyimpan daun ganja, dibungkus rapi, dalam lipatan buku yang tidak pemah dikeluarkan dari tas sekolah; daun ganja itu dari seseorang yang tidak diketahui namanya; daun ganja itu baru sekadar disimpan, belum pernah diapa-apakan.
Kemungkinan sebab:
dia hendak dijadikan alat untuk pengedar ganja di lingkungan pelajar; ingin mencoba ganja, meskipun belum terlaksana; sebagai akibat pergaulan dengan "gang" sesama anak nakal; sebagai konpensasi lebih lanjut ataupun pelarian dari kehidupar keras dan mengeeewakan yang dialaminya selama ini; belum tahu apa sebenamya barang yang disimpannya, dan mal diapakan atau dikemanakan.
Kemungkinan akibat:
terperangkap ke dalam jaringan pengedar ganja; mulai mengisap ganja dengan segala akibatnya; kalau temyata terlibat dalam jaringan pengedar ganja mesti ber¬urusan dengan polisi, karena pengedaran ganja dan sejenisnya adalah tindak kriminal; kalau temyata sudah mengisap ganja harus berurusan dengan dokter, karena hal itu dapat mengakibatkan ketidakseimbangan fisik; pelajaran akan sangat terganggu dengan segenap implikasinya.

21. Minggat (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
meninggalkan rumah tanpa izin/pemberitahuan mau ke mana; meninggalkan rumah beberapa hari/bulan, kemudian pulang; menyembunyikan diri di tempat famili.
Kemungkinan sebab: dimarahi oleh orang tua;
tidak betah dengan suasana rumah; menampilkan ketidaksetujuan terhadap keputusan orang tua; mencoba-coba hidup di luar pengawasan orang tua; dorongan teman untuk berontak; ingin beygabung dengan suatu kelompok/geng; 'tidak tahanakan kelakuan keluarga; malu yang berlebihan kerena berbuat kesalahan.
Kemungkinan akibat:
terjerumus pada tempat-tempat maksiat; menjadi korban tindakan kriminal; keluarga menjadi risau; pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.

22. Mabuk-mabukan (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
sering minum-minuman sehingga mabuk; berbuat demikian bersama "geng" -nya, di luar rumah dapat memperoleh minuman yang demikian meskipun tidak diberi uang dari rumah; gejala mabuk kadang-kadang terbawa pulang ke rumah, seperti agak "teler", muntah, dan tidur berlama-Iama.
Kemungkinan sebab:
sebagai kompensasi atau pelarian dari kehidupan keras dan mengeeewakan yang dialaminya selama ini; pengaruh kawan se-"geng"-nya yang memberi fasilitas, dorongan dan penguatan untuk berbuat demikian itu.
Kemungkinan akibat:
terjerumus lebih dalam lagi dalam dunia "geng" yang penuh dengan kekerasan, kekotoran, kegelapan; terlambatnya pengembangan pribadi seeara menyeluruh; nilai rendah; tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.

23. NakaI (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
membuat coret-coretan pada dinding sekolah; berkelahi dengan teman; mengganggu teman dalam belajar; melawan kepada orang tua atau guru; tidak mau membayar sewa mobiI secara bersama-sama sepulang sekolah; mabuk-mabukan di pinggir jalan pada malam hari; dengan sengaja melanggar peraturan, seperti peraturan Ialu Iintas, peraturan sekolah; mencuri buah-buahan, atau barang-barang lainnya; mengganggu teman wanita.
Kemungkinan sebab:
kurang perhatian dari keluarga atau kurang kasih sayang; ingin melirik perhatian orang lain;
ingin dianggap jagoan; •merasa tidakpuas dengan lingkungannya; tidak mendapat perhatian atau perlakuan yang baik dari guru dan kawan-kawan; merasa disepelekan oleh Iingkungannya; disiplin yang terlalu keras; gangguan emosionaI atau gangguan mental ringan atau salah asuh; kompensasi atas kekurangannya; menguji identitas diri; pengaruhJingkungan sebaya yang nakal.
Kemungkinan akibat:
merusak keindahan Iingkungan; mengganggu ketenteraman umum; menjadi bahan pergunjingan orang lain; jalannya peraturan sekolah terganggu; peralatan sekolah rusak; mengakibatkan cidera fisik pada mereka; berurusan dengan pihak berwajib; kegiatan belajar terganggu; nilai-nilai dengan berbagai akibatnya; terjerumus kepada tindakan kriminal.


24. Kurang perhatian terhadap kehidupan beragama (Kasus VII)
Gambaran yang lebih rinci:
nilai pelajaran agama merah; penunaian kewajiban agama oleh anakkurang menjadi perhatian orang tuanya; perhatian terhadap pelajaran agama disepelekan, jauh di belakang perhatiannya terhadap pelajaran-pelajaran lain.
Kemungkinan sebab:
contoh dan kontrol dari orang tua tentang penunaian kewajiban agama kurang kuat;
pelajaran agama kurang menarik; belum tertanam kebiasaan menunaikan kewajiban agama; tidak mengetahui konsekuensi kalau nilai agama merah; tidak memahami kaitan antara kehidupan keagamaan dengan hidup sehari-hari.
Kemungkinan akibat:
kalau ketentuan "nilai mati" untuk pelajaran agama tetap di¬berlakukan seeara konsekuen maka siswa tersebut akan tidak naik kelas; dikhawatirkan siswa tersebut akan makin kurangpeduli terhadap keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penunaian kewajiban agama; atau bahkan meleeehkan agama; pengembangan religiusitas terhambat.
25. Tidak enak kepada orang tua (Kasus VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
orang tua mereaksi terlalu keras terhadap tingkah laku anaknya yang dianggap menyimpang; anak mereaksi agak negatif terhadap sikap dan tindakan orang tuanya itu.
Kemungkinan sebab:
tingkah laku anak yang menyimpang itu dianggap orang tua terlalu berat; teguran awal yang cukup lunak mungkin telah terlebih dahulu dikemukakan oleh orang tua, tetapi anak tidak menghiraukannya; orang tua terlalu keras memberikan teguran; anak kurang memahami makna teguran orang tua dan tidak menerimanya secara wajar sebagai teguran yang tujuannya baik; refleksi dari gejolak perkembangan remaja yang ingin berdiri sendiri tetapi sebenarnyabelum mampu.
Kemungkinan akibat:
hubungan antara orang tua semakin renggang; anak semakin tidak menghormati orang tua: nilai-nilai keluarga semakin lemah.

26. Tidak lagi melakukan° salat (Kasus VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
tadinya rajin salat, sekarang tidak rajin, bahkan tidak salat sama sekali. Kemungkinan sebab: belum tertanam secara kuat pemahaman makna salat yang se¬sungguh-sungguhnya sehingga terkena bias tertentu sedikit saja sudah luntur.
Kemungkinan akibat:
makin terkikisnya kebiasaan dan pemahaman makna salat yang sudah ada sebelumnya, serta berhenti salat secara tetap; melemahnya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dart pelaksanaan kewajiban agama; "melupakan sama sekali kehidupan keberagamaan dan melakukan pada kehidupan keduniaan.

C. Penanganan Kasus
Penanganan kasus pada umumnya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan yang dihadapkan kepadanya sejak awal sampai dengan diakhiri¬nya perhatian dan tindakan tersebut. Dalam pengertian itu penanganan kasus meliputi:
(1) pengenalan awal tentang kasus (dimulai sejak mula kasus itu dihadap¬kan);
(2) pengembangan ide-ide tentang rincian masalah yang terkandung di dalam kasus itu;
(3) penjelajahan lebih lanjut tentang segala seluk-beluk kasus tersebut, dan akhimya;
(4) mengusahakan upaya-upaya kasus untuk mengatasi atau memecahkan sumber pokok permasalahan itu.
Dilihat secara lebih khusus, penanganan kasus dapat dipandang sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber pokok permasalahan dengan tujuan utama teratasinya atau terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan. Sebagai contoh, kita lihat kembali kasus mahasiswa yang telah dibicarakan di muka. Setelah diadakan penjelajahan lanjut terhadap permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswi itu, ternyata sumber pokok permasalahan ialah "keadaan sering pusing kalau ia teringat orang tuanya; keadaan sering pusing ini amat mengganggu kegiatan belajarnya". Dalam kaitan itu, pertanyaan pokok yang harus dijawab ialah: upaya apakah yang perlu dilakukan agar keadaan "sering pusing" itu dapat diatasi? Pertanyaan itulah yang sebenarnya menjadi inti penanganan kasus tersebut. Apabila mahasiswa tersebut tidak lagi diganggu oleh pusing kepala yang acap kali menimpanya, sangat mungkin diharapkan kegiatan belajamya dapat berjalan lebih baik.
Dalam menangani inti permasalahan mahasiswa itu, dua hal perlu mendapat perhatian utama. Pertama, pusing kepalanya perlu dihilangkan, dan kedua ia harus tetap mengingat orang tuanya. Sepintas lalu kedua hal itu bertentangan: bukankah teringat pada orang tua itu yang menimbulkan sakit kepala? Namun demikian, "selalu mengingat orang tua" merupakan hal yang amat penting bagi anak. Adalah suatu kebahagiaan bagi peran orang tua apabila anaknya selalu teringat kepada kedua orang tuanya; dan sebaliknya, adalah suatu nilai tambah tersendiri apabila anak selalu mengingat orang tuanya. Mengingat (dan menghormati) orang tua merupakan sesuatu yang wajib bagi anak menurut adat ketimuran.
Masalahnya sekarang ialah, bagaimana rnenghilangkan gejala pusing atau sakit kepala pada rnahasiswa itu tanpa menghilangkan ingatannya kepada orang tuanya? Dengan kata lain, bagairnana agar rnahasiswa itu tetap teringat kepada orang tuanya tetapi kepalanya tidak pusing?
Demikian, penanganan kasus dalarn pengertian yang khusus menghendaki strategi dan teknik-teknik yang sifatnya khas sesuai dengan pokok permasalahan yang akan ditangani itu. Setiap permasalahan pokok biasanya rnernerlukan strategi dan teknik tersendiri. Untuk itu diperlukan keahlian konselor dalarn menjelajahi rnasalah, penetapan masalah pokok yang rnenjadi sumber permasalahan secara urnurn, pernilihan strategi dan teknik penanganan atau pernecahan rnasalah pokok itu, serta penerapan/ pelaksanaan strategi dan teknik yang dipiIihnya itu.
Sebagai garnbaran urnurn, Matrik 2 di halarnan 79 rnernperlihatkan urutan penanganan kasus dalarn pengertiannya yang urn urn sarnpai dengan penanganan secara khusus untuk delapan buah kasus yang ditarnpilkan pad a awal bab ini. Untuk rnasing-rnasing kasus para pernbaca dapat rnernbayangkan berbagai permasalahan yang dapat dikenali pada rnulanya rnelalui:
(]) deskripsi awal kasus,
(2) ide-ide tentang rincian perrnasalahan, kernungkinan sebab dan kernungkinan akibat,
(3) upaya dan hasil penjelajahan lebih lanjut terhadap setiap permasalahan yang terkandung pada kasus yang dirnaksud, dan
(4) upaya penanganan secara khusus terhadap permasalahan pokok yang rnenjadi sumber permasalahan pada umumnya.
Penjelajahan rnasalah atau studi kasus yang lebih menyeluruh dan lengkap dapat ditempuh rnelalui berbagai cara, seperti wawancara, analisis report, case history, cummulative records, oto biografi, deskripsi tingkah laku dan perkembangan serta melakukan case conference.

Penanganan kasus, baik secara umum (menyeluruh) khusus, tidak mudah. Berbagai pihak dan sumber daya sering kali perlu diaktifkan dan dipadukan demi teratasinya permasalahan yang dialami oleh seseorang. Apabila konselor berhasil sebesar-besamya mengerahkan berbagai pihak dan sumber daya itu, keberhasilan penanganan kasus akan lebih dijamin. Pihak yang paling utama harus dilibatkan secara langsung ialah orang yang mengalami masalah itu sendiri. Orang itu perlu secara aktif berpartisipasi dalam mendeskripsikan masalah-masalahnya, dalam penjelajahan masalah¬-masalah itu lebih lanjut. Tanpa partisipasi langsung dan aktif orang yang mengalami masalah, keberhasilan upaya bimbingan dan konseling amat diragukan, atau boleh jadi akan nihil sama sekali. Pihak lain dalam urutan kedua yang perlu dilibatkan, kalau dapat secara langsung, ialah orang-orang yang amat besar pengaruhnya kepada orang yang mengalami masalah itu, seperti orang tua, guru, serta orang lain yang amat dekat hubungannya. Orang-orang yang sangat berpengaruh biasanya memiliki sumber daya yang sebesar-besamya dapat dimanfaatkan dalam penanganan masalah yang dialami itu. Selanjutnya, pihak-pihak dan sumber daya lain yang perlu dikerahkan ialah berbagai unsur yang terdapat di lingkungan orang yang mengalami masalah, baik lingkungan sosial, fisik maupun lingkungan budaya. Termasuk ke dalam kategori ini ialah para ahli bidang-bidang tertentu, seperti dokter, psikiater, ahli hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang ditangani. Adalah me¬rupakan seni dan kiat tersendiri bagi konselor Untuk mampu mengerahkan dan memadukan berbagai pihak, sumber dan unsur itu demi pemecahan masalah dan penanganan kasus yang sedang dihadapkan kepadanya.

D. Penyikapan Terhadap Kasus
Telah disebutkan di atas bahwa penyikapan terhadap kasus berlangsung sejak awal penerimaan kasus untuk ditangani sampai dengan berakhimya keterlibatan perhatian dan tindakan konselor terhadap kasus tersebut. Penyikapan yang menyeluruh itu mencakup segenap aspek permasalahan yang ada di dalam kasus dan segenap langkah ataupun pentahapan pada sepanjang proses penangan kasus secara menyeluruh.
Penyikapan pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan terhadap objek yang disikapinya. Dalam bimbingan dan konseling ketiga unsur tersebut mengacu kepada berbagai hal yang telah dibahas sejak awal Bab I sampai dengan bagian yang ditampilkan sebelum ini. Unsur kognisi mengacu kepada wawasan, keyakinan, pemahaman, penghayatan, pertimbangan dan pemikiran konselor tentang keberadaan manusia, hakikat dimensi kemanusiaan dan pengembangannya, pengaruh lingkungan, peranan pelayanan bimbingan dan konseling, kasus dan berbagai permasalahan yang dikandungnya, pemahaman dan penanganan kasus. Unsur afeksi menyangkut suasana perasaan, emosi dan kecenderungan bersikap berkenaan dengan keberadaan manusia sampai dengan penanganan kasus tersebut. Unsur perlakuan berkaitan dengan tindakan terhadap kasus yang ditangani, sejak diserahkannya kasus samp~i berakhirnya. keterlibatan penanganan.
Unsur-unsur kognisi yang mendasari penyikapan terhadap kasus pada garis besarnya ialah sebagai berikut:
1. Keyakinan dan penghayatan bahwa manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang paling indah dan berderajat paling tinggi.
2. Keyakinan dan penghayatan bahwa keindahan dan derajat paling tinggi itu terwujud dalam bentuk kesenangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dalam arti yang seluas-Iuasnya.
3. Pemahaman dan penghayatan bahwa keernpat dimensi kemanusiaan perlu dikembangkan secara serempak dan optimal menuju perwujudan manusia seutuhnya.
4. Pemahaman dan penghayatan bahwa dalam perjalanan hidupnya seseorang dapat mengalami berbagai permasalahan yang mengganggu perkembangan keempat dimensi kemanusiaannya.
5. Pemahaman dan penghayatan bahwa faktor-faktor lingkungan, di samping faktor-faktor yang terkandung di dalam dimensi kemanusiaan, sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan dimensi-dimensi itu di satu segi, dan terhadap timbulnya permasalahan pada diri sese¬orang di segi lainnya.
6. Pemahaman dan penghayatan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling, bersama-sama dengan pelayanan pe\ldidikan pada umurnnya, mampu memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang mengalami perkembangan dan mengalami masalah demi teratasinya masalah-masalah mereka itu.
7. Pemahaman dan penghayatan bahwa seseorang yang sedang mengalami masalah tidak seharusnya dan tidak serta merta dianggap sebagai terlibatmasalah kriminal atau perdata, ataupup sedang menderita penyakit jasmani atau penyakit rohani, atausebagai orang tidak nor¬mal. Sebaliknya, seorang yang sedang mengalami masalah pertama¬tama harus dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang tidak tersangkut-paut pad a perkara kriminal atau perdata, dan sebagai orang yang sehat dan normal.
8. Pemahaman dan penghayatan bahwa permasalahan seseorang yang sebenamya besar kemungkinan tidak tepat sarna dengan yang tampak pada pendeskripsian awal. Oleh karena itu diperlukan upaya pendalaman lebih lanjut untuk dapat dicapainya pemahaman yang lengkap dan mantap berkenaan dengan permasalahan terse but.
9. Pemahaman dan penghayatan bahwa diperlukan strategi dan teknik¬teknik khusus untuk mengatasi atau memecahkan masalah-masalah pokok yang dialami seseorang.
10. Pemahaman dan penghayatan bahwa dalam menangani permasalahan seseorang perlu dilibatkan berbagai pihak, sumber dan unsur untuk secara efektif dan efisien mengatasi atau memecahkan permasalahan terse but.
Keyakinan, pemahaman dan penghayatan tersebut di atas dap.at diturunkan ke dalam bentuk-bentuk pola tingkah laku yang mencerminkan kecenderungan efektif, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Berupaya, sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ikut mengembangkan secara optimal keempat dimensi kemanusiaan secara selaras, serasi, dan seimbang menuju perwujudan manusia seutuhnya, demi kesenang¬an dan kebahagiaan kehidupan kemanusiaan di dunia dan di akhirat, baik secara individual maupun kelompok.
3. Merasa prihatin dan menaruh simpati kepada orang-orang yang mengalami permasalahan yang menghambat pengembangan keempat dimensi kemanusiaan dan merintangi tercapainya kondisi yang menyenangkan dan membahagiakan mereka.
4. Berusaha seoptimal mungkin menerapkan keahlian yang dimiliki untuk membantu orang-orang yang bermasalah agar masalah mereka itu dapat teratasi dalam waktu yang secepat dan dengan cara yang secepat mungkin.
5. Bersikap positif terhadap orang-orang yang mengalami masalah; tidak menudingnya terlibat dalam perkara kriminal ataupun perdata, serta ticlak menganggapnya abnormal, atau menderita sakit jasmani ataupun rohani sampai temyata mereka memang memerlukan bantuan dari
. ahli-ahli penyakit jasmani atau rohani.
6. Bertindak hati-hati, teliti, tekun dan bertanggung Jawab dalam menangani permasalahan seseorang, sejak awal diserahi tanggung jawab untuk menangani permasalahan itu sampai sedapat-dapatnya mencapai taraf pemecahan masalah yang paling jauh.
7. Dengan penuh kesadaran mengembangkan wawasan, ide-ide, strategi dan teknik-teknik serta menerapkannya secara tepat terhadap permasalahan yang dialami seseorang.
8. Tidak menahan permasalahan seseorang untuk ditangani sendiri saja, melainkan akan melibatkan dan mendayagunakan sebesar-besarnya pihak-pihak, sumber dan unsur-unsur lain yang diharapkan akan dapat memberikan kemudahan dan keuntungan bagi pemecahan masalah yang bersangkutan.
9. Tidak menutup kemungkinan untuk mengalihtangankan penanganan masalah kepada pihak lain, jika ternyata pihak lain itu lebih ahli.
Lebih jauh, keyakinan, pemahaman dan penghayatan yang diwarnai oleh kecenderungan afeksi itu dapat secara nyata diwujudkan dalam bentuk perlakuan terhadap kasus dan upaya penanganannya. Bentuk-bentuk perlakuan itu antara lain ialah:
1. Menerima kasus yang dipercayakan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
2. Mengembangkan wawasan tentang kasus itu secara lebih rinci, tentang kemungkinan sebab-sebab timbulnya setiap permasalahan yang terkandung di dalam kasus terse but, dan kemungkinan akibat-akibat yang akan timbul apabila permasalahan tersebut berlarut-larut tidak tertangani.
3. Mengembangkan strategi dan menerapkan teknik-teknik yang tepat untuk mengatasi sumber-sumber pokok permasalahan.
4. Melibatkan berbagai pihak, sumber dan unsur apabila diyakini hal-hal tersebut akan membantu pemecahan masalah.
5. Mengkaji kemajuan upaya pemecahan masalah; sampai seberapa jauh upaya tersebut telah membuahkan hasil.
Dengan dilibatkannya unsur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan yang mengacu pada hakikat keberadaan manusia sampai dengan pemahaman dan penanganan kasus, agak lengkaplah dasar-dasar penyikapan seseorang terhadap kasus yang dipercayakan kepadanya. Dasar-dasar penyikapan itu selanjutnya akan secara nyata terwujud dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling yang diwarnai oleh kepribadian dan keahlian konselor.










*) Diadaftasi dari Prayitno (2004), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.

1 komentar:

sribudimakeadream2011 mengatakan...

postingannya bagus.......
tapi walaupun kasusnya banyak yang dialami peserta didik sebaiknya tiap postingan 1 permasalahan beserta solusinya sehingga gampang n mudah dipahami.
mkasi.

Posting Komentar