TEORI KONSELING BERPUSAT PADA KLIENT

Jumat, 19 Februari 2010

materi 7-8 *)


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Client Center.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi teori atau pendekatan dalam konseling
2. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Client Centered
3. Mengalisis teks wawancara Client Centered
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling Client Centered

Pengantar
Jumlah teori konseling (counseling theory) atau pendekatan terhadap konseling (counseling approach) dewasa ini berjumlah agak banyak. Kenyataan ini membuat para calon konselor kerap merasa bingung, karena mereka harus mempelajari sekian banyak pandangan teoretis yang isinya berlain-lainan, bahkan dinilai saling bertentangan. Bukannya mereka berkeberatan terhadap refleksi teoretis dan konseptualisasi, tetapi hendaknya terdapat satu teori dengan satu pendekatan saja yang dapat diterapkan terhadap semua konseli dalam segala masalah. Mereka berkeberatan, karena wadah teorinya terlalu banyak, sehingga mengaburkan praktek pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan pemikiran yang demikian, kemudian mudah dikatakan: diberikan saja sejumlah petunjuk praktis, misalnya disusun daftar permasalahan yang dapat dihadapi oleh konselor di institusi pendidikan, lengkap dengan daftar resep obat yang harus diterapkan pada setiap permasalahan. Dengan demikian, kata mereka. usaha profesional konseling menjadi jelas serta terarah dan tidak menjadi kabur serta tak menentu karena teori yang bermacam-macam itu. Rasa bingung semakin menjadi-jadi bila para calon konselor mulai menangkap bahwa di antara semua teori yang dipelajari tidak ada satu teoripun yang seluruhnya terbukti tepat dan benar, dan bahwa aneka teori itu pun tidak ada yang sebenarnya memenuhi semua syarat bagi suatu teori ilmiah, yaitu dapat ditangkap secara jelas; komprehensif yang mencakup banyak fakta; eksplisit tanpa mengandung suatu unsur dan peristilahan yang kabur; cukup sederhana tanpa mengkaji segala kaitan secara berbelit-belit: menghasilkan penelitian yang bermanfaat. Karena kenyataan inilah, sejumlah ahli dalam Konseling lebih suka berbicara mengenai pandangan tentang konseling atau orientasi terhadap konseling (counseling points of view). Kebingungan ini dapat semakin memuncak bila para calon konselor mulai menyadari bahwa teori-teori itu oleh sejumlah ahli dipandang sebagai teori psikoterapi dan bukan konseptualisasi untuk konseling, bahkan dipandang sebagai suatu teori kepribadian atau teori tentang perilaku manusia. Mengingat mereka biasanya disadarkan bahwa seorang konselor tidak bertindak sebagai psikoterapeut.
Keberatan-keberatan di atas dapat dijawab dengan mengatakan bahwa perbedaan dalam berbagai kerangka acuan berpikir mengenai proses konseling disebabkan karena sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap hakikat kehidupan manusia dan terhadap tujuan yang dicapai dalam suatu proses konseling. Sebagai perumpamaan: seorang tuna netra akan mendapat gambaran tentang seekor gajah yang berbeda-beda, tergantung dari sentuhannya jatuh pada bagian ekor, kaki, belalai, atau punggung gajah itu. Gambaran tentang gajah yang dibentuk dalam fantasinya semuanya mengandung kebenaran, tergantung dari bagian tubuh mana yang diraba-raba lebih dahulu. Demikian pula, semua teori konseling mengembangkan aspek-aspek tertentu tentang proses konseling, yang tidak mesti saling bertentangan. Namun, harus diakui bahwa diversifikasi dalam landasan pandangan teoretis itu mengharuskan konselor untuk membentuk suatu kerangka acuan. betpikir sendiri, yang menjadi milik pribadi dan berfungsi sebagai pegangan dalam melaksanakan layanan konseling di lapangan. Selain itu, konselor di institusi pendidikan berhadapan dengan perilaku manusia. Oleh karena itu, suatu teori kepribadian seharusnya tidak dinilai asing bagi seorang konselor profesional. Di samping itu perlu disadari bahwa sejumlah ahli tidak membedakan secara kualitatif antara konse1ing, psikoterapi, dan konseling psikoterapeutis, lebih-lebih dalam konseling yang tidak khusus menyangkut pilihan program studi dan pekerjaan; perbedaannya terletak dalam tingkat kedalamannya dan lama prosesnya.
Pembahasan teori-teori konseling dapat diatur dengan berbagai cara, yaitu menurut:
(1) Urutan kronologis: kapan teori konseling atau pendekatan terhadap konseling tertentu lahir, yaitu Psikoanalisis, Psikologi Individual, Teori Trait-Factor, client Centered Counseling; Teori Gestalt, Konseling Eklektik, Konseling Behavioristik, Rational-Emotive Therapy, Reality Therapy, Konseling Eksistensial, dan Analisis Transaksional.
(2) Tekanan yang diberikan pada hubungan antarpribadi antara konselor dan konseli (relationship), khususnya apa peranan hubungan itu dalam proses konseling. Ada pendekatan yang lebih berpusat pada hubungan antarpribadi, seperti Psikoanalisis dan Client-Centered Counseling; dan pendekatan yang lebih berpusat pada masalah yang dibicarakan, seperti Teori Trait-Factor, Konseling Behavioristik, Rational Emotive Therapy dan Analisis Transaksional. Kelompok pertama cenderung memandang hubungan antarpribadi sebagai inti dalam proses konseling; kelompok kedua cenderung memandang hubungan itu sebagai salah satu syarat keberhasilan dalam proses konseling (working relationship; working alliance).


Client-Centered Counseling
Istilah Client-Centered merupakan corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Mula-mula corak konseling ini disebut konseling nondirektif untuk membedakannya dari corak konseling yang mengandung banyak pengarahan dan kontrol terhadap proses konseling di pihak konselor, seperti dalam Konseling Klinikal dan Psikoanalisis. Kemudian mulai digunakan nama Client-Centered Counseling, dengan maksud menggarisbawahi individualitas konseli yang setaraf dengan individualitas konselor, sehingga dapat dlhindari kesan bahwa konseli menggantungkan diri pada konselor.
Corak konseling ini berpijak pada beberapa keyakinan dasar tentang martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia. Keyakinan-keyakinan itu untuk sebagian bersifat falsafan dan untuk sebagian bersifat psikologis, sebagai berikut:
(a) Setiap manusia berhak mempunyai setumpuk pandangan sendiri dan menentukan haluan hidupnya sendiri, serta bebas untuk mengejar kepentingannya sendiri selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Kehidupan masyarakat akan berkembang bila setiap warga masyarakat didorong dan dibantu untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang mandiri dan mampu mengatur kehidupannya sendiri. Ini pun berarti bahwa masing-masing orang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pengaturan hidupnya dalam lingkungan masyarakat tertentu:
(b) Manusia pada dasarnya berakhlak baik, dapat diandalkan, dapat diberi kepercayaan, cenderung bertindak secara konstruktif. Naluri manusia berkeinginan baik, bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Rogers berpandangan optimis terhadap daya kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau manusia bertindak dengan cara yang tidak baik. seperti menipu, mencelakakan orang lain karena rasa benci, dan berbuat sadis. itu disebabkan karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang dari nalurinya yang paling dasar. Bilamana orang dapat menemukan kembali nalurinya yang asli, usaha membela diri akan berkurang dan seluruh tindakannya akan lebih konstruktif.
(c) Manusia, seperti makhluk-makhhik hidup yang lain, membawa,dalam dirinya sendiri kemampuan, dorongan dan kecenderungan untuk mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin. Arah hidup yang dikejar seseorang .bercorak sedemikian rupa sehingga orang berkembang menikmati kesehatan mental yang baik, dapat membawa diri rlalam masyarakat secara memuaskan, merealisasikan segala potensi yang dimilikinya, serta berhasil hidup secara mandiri. Kemampuan, dorongan, serta kecenderungan itu disebut actualizing tendency dan merupakan kekuatan motivasional yang utama dan paling dasar, yang menggerakkan individu untuk mengejar kemandirian dalam hidupnya, tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan mau diatur serta dikontrol oleh orang lain. Kemampuan, dorongan, serta kecenderungan itu akan tampak dan beroperasi sepenuhnya bila tercipta kondisi psikologis positif, misalnya selama proses konseling. Peranan konselor yang pokok ialah menciptakan segala kondisi yang memungkinkan kemampuan dan kecenderungan itu untuk menampilkan diri.
(d) Cara berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap keadaan hidup yang dihadapinya, selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri dan keadaan yang dihadapi. Pandangan subjektif ini mendasari tingkah laku manusia karena keadaan pada dirinya sendiri dan keadaan dalam lingkungan hidup diberi makna sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dengan kata lain, keadaan tertentu yang secara objektif mungkin sama bagi dua orang, akan dihayati dengan caranya sendiri sehingga menjadi situasi yang berbeda. Setiap manusia membangun suatu dunia subjektiL yaitu alam pikiran perasaan. kebutuhan, dan keinginan sendiri yang khas, dan hanya dia sendirilah yang dapat menghayati (experiential field, internal frame of reference). Berdasarkan dunia subjektif ini manusia menghadapi dunia di sekelilingnya dan dirinya sendiri. Penghayatan dan kesadaran akan dirinya sendiri dengan semua perasaan,pandangan, dan ingatan membentuk apa yang disebut konsep diri (self-concept), yaitu gambaran yang dimiliki individu tentangdiri sendiri bersama dengan evaluasi terhadap gambaran itu. Gambaran diri itu terdiri atas beberapa unsur, seperti pandangan tentang ciri-ciri kepribadiannya sendiri, tentang hubungan sosialnya dengan orang lain, tentang cita-cita yang ingin dikejar, tentang penghargaan atau celaan yang patut diberikan kepada diri sendiri. Maka dibentuk gambaran mengenai Siapa saya ini menurut pandangan saya (The person I think I am); Siapa saya ini sebenarnya ( The person I really am); Saya bercita-cita menjadi orang yang bagaimana (The person I would like to be); Saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (The person I ought to be). Misalnya. seorang sadar akan dirinya sendiri sebagai pria. Suami yang mempunyai istri dan anak-anak, atau dosen yang mengajar di perguruan tinggi yang cukup pandai dan sabar terhadap mahasiswa. Dia memandang dirinya sebagai suami yang setia pada keluarganya dan tugasnya sebagai tenaga edukatif. Namun, dalam kenyataan dia agak sering bertindak . lain dengan kurang menunjukkan. kesetiaan kepada keluarga dan kepada mahasiswa. Pada suatu ketika dia menjadi sadar akan pengalaman yang nyata itu dan mulai mengakui kepada dirinya sendiri siapa dia sebenarnya. Pengalaman itu menyadarkan dia akan cita-cita yang ingin dikejarnya, yaitu menjadi suami dan dosen yang setia, dan dia memperingatkan diri sendiri bahwa dia seharusnya menjadi seperti itu. Dalam konsep diri yang utuh tidak terdapat kesenjangan atau jurang pemisah antara unsur-unsur, sehingga gambaran diri yang ideal pada pria di atas adalah: saya memandang diri sebagai suami dan dosen yang setia; ini sesuai dengan kenyataan yang tampak dalam seluruh tindakan saya, sehingga saya terbukti mengejar cita-cita saya yang luhur dan telah bertindak sesuai dengan yang seharusnya saya lakukan. Keadaan yang ideal oleh Rogers disebut congruence.
(e) Seseorang akan menghadapi persoalan jika di antara unsur-unsur dalam gambaran
terhadap dirisendiri timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara Siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak disangkal Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan dengan perkiraan itu, karena ternyata dia berkali-kali rnengucapkan kata-kata yang sengit penuh rasa iri kepada adiknya yang sudah rnempunyai pacar. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara Siapa saya ini sebenarnya dan Saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya: kesadaran yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup jurang pemisah antaradua kutub di dalam dirinya seridiri, sertaakhirnya menemukan dirinya kembalisebagai orang yang pantas (person of worth). Lainlah keadaan, seandainya mahasiswi itu tidak menyadari keadaan diri dan tidak sampai mengakui jurang pemisah itu; dia dapat menyangkal kita dan tindakannya sendiri, yang bersumber pada rasa iri, dan mencari berbagai kesalahan pada adiknya. Dengan demikian, dia.membenarkan perkataan sengit yang diucapkannya dan tetap memandang dirinya sebagai orang yang pantas, karena ada alasan untuk berkata-kata demikian. Namun, sebenarnya, hanya sebagian dari pengalaman nyata disadari dan diakui, yaitu perkataan yang sengit; tetapi bagian yang lain tidak diakui, yaitu rasa iri dalam hatinya sendiri belum disadari. Sebagian dari pengalaman hidup tidak diakui atau dibengkokkan. sehingga menurut pandangannya sendiri terdapat kesesuaian dan kecocokan antara data pengalaman dan gambaran terhadap diri sendiri serta di antara semua unsur di dalam gambaran diri; padahal kesesuaian itu sebenarnya tidak ada dan pada suatu saat dapat masuk ke alam kesadaran, meskipun masih samar-samar.

Selama proses konseling semua pengalaman nyata dalam bergaul dengan orang lain dan dalam dirinya dibiarkan muncul dan disadari sepenuhnya, sehingga dapat diberi tempat dalam keseluruhan konsep diri. Kesenjangan dan pertentangan antara semua unsur dalam konsep diri itu mulai tampak, sehingga akhirnya dapat lebih diintegrasikan satu sarna lain. Perubahan yang dituju ialah perubahan dalam konsep diri, supaya lebih sesuai dengan pengalamannyata yang dihadapi. Konseli dianggap mampu mencapai perubahan itu, bahkan cenderung untuk mengusahakannya karena dorongan naluri untuk mencari perkembangan diri yang optimal dan maksimal. Pada dasarnya konseli berakhlak baik dan cenderung bertindak konstruktif. Semua itu lama-kelamaan akan muncul dengan sendirinya dan membawa konseli ke penyelesaian masalah yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Misalnya, mahasiswi tadi mulai mengakui sepenuhnya rasa iri yang terdapat dalam batinnya dan mulai menyadari bahwa tindakannya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan; dia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri bagaimana seharusnya cara berkata-kata kepada adiknya dalam keadaan merasa iri hati. Dengan demikian, mahasiswi itu menetapkan bagi dirinya sendiri tujuan apa yang ingin dicapainya dalam proses konseling, yaitu keselarasan antara ideal self dan real self Bagaimana bentuk atau wujud keselarasan itu akan ditemukannya sendiri, tanpa diberi petunjuk atau pengarahan oleh konselor dalam hal ini; bagaimana tindakannya selanjutnya terhadap adiknya juga akan ditemukannya sendiri. Dalam proses konseling perhatian konseli dipusatkan pada keadaan sekarang ini tanpa menggali-gali secara mendalam sejarah perkembangan rasa iri dalam hatinya. Konselor tidak mencoba untuk mengadakan diagnosis, yaitu mencari sebab-musabab dalam sejarah hidup sehingga mulai tampaklah suatu hubungan sebab-akibat. Tugas konselor adalah membantu konseli mengakui dan mengungkapkan seluruh perasaan yang dialami sekarang ini serta menghayatinya, dengan harapan bahwa konseli pada suatu ketika akan meninjau segala perasaan itu secara lebih objektif, dengan mengambil jarak dari dirinya sendiri.
Untuk memudahkan dan memperlancar proses yang berlangsung dalam diri konseli, konselor menciptakan beberapa kondisi yang mendukung. Kalau semua kondisi tertentu terpenuhi, maka akan berlangsung suatu proses dalam diri konseli yang akan menghasilkan perubahan dalam konsep diri dan dalam tingkah laku. Di pihak konselor kondisi itu adalah: menunjukkan penerimaan dan penghargaan tanpa syarat (unconditional positive regard); pemahaman terhadap apa yang diungkapkan oleh konseli sesuai dengan kerangka acuan konseli sendiri (phenomenal field), seolah-olah konselor mengenakan kepribadian konseli (emphatic understanding); penerimaan, penghargaan, dan pemahaman itu dapat dikomunikasikan kepada konseli dalam suasana interaksi pribadi yang mendalam, sehingga konseli merasakan semua itu sungguh-sungguh ada; kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan mengenai apa yang dihayati oleh konselor sendiri tentang konseli (counselor congruence). Menurut pandangan Rogers, kondisi-kondisi itu diperlukan dan sekaligus mencukupi untuk menjamin keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, hubungan antarpribadi (relationship) antara konselor dan konseli yang saling berkomunikasi menjadi kunci sukses atau gagalnya proses dan wawancara konseling. Kalau digunakan istilah . teknik konseling, inilah teknik yang diterapkan oleh konselor, yaitu menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala kondisi yang disebutkan di atas. Dengan menjadi. seorang pendengar yang sabar dan peka, yang meyakinkan konseli dia diterima dan dipahami konselor memungkinkan konseli untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur, lebih memahami diri sendiri dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakunya. jelaslah kiranya, bahwa peranan konselor yang demikian bukanlah peranan yang bercorak pas if, melainkan peranan yang sangat aktif, meskipun konselor tidak memberikan pengarahan seperti dalam pendekatan konseling yang lain.

Analisis teks wawancara dalam konseling Client Centered
Sebagai contoh, di bawah ini disajikan kutipan dari suatu wawancara yang diselenggarakan menurut pendekatan Rogers. Konseli adalah seorang mahasiswa program S2 berusia 25 tahun pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Konseli menghadap konselor (pria) pada Biro Konsultasi di kampus.

1. Ki : (= Konseli) "Maaf Pak, saya agak terlambat datang. Saya terpaksa menunggu agak lama di tempat persilangan kereta api. Pintu persilangan kereta ditutup rapat ketika saya sampai di tempat itu."
2. Kr : (= Konselor) "Tidak apa-apa. Kita semua bisa mengalami hambatan seperti itu."
3. Ki : "Terima kasih. Wah, pernafasan saya belurn tenang. Tadi agak ngebut sih."
4. Kr : "Saudari ingin beristirahat sebentar? Ke sini tadi agak tergesa-gesa?
5. Ki : " •'Ya." (Sementara itu ia mengfltur pakaian dan cara duduk).
6 Kr : "Ketika kita bertemu sebentar kemarin, kita hanya membuat janji. Saudari belum
mendapat kesempatan untuk berbicara lebih banyak."
7. Ki : "Mulai dari permulaan saja?"
8. Kr : "Hm, hm."
9. Ki : "Alasan saya menghadap Bapak adalah sebagai berikut: saya sekarang belajar di tahun kedua program S2 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tetapi sekarang saya menghadapi kesulitan. Dalam tahun pertama saya mendapat beasiswa dari ,tetapi sayang sekali beasiswa itu tahun ini dihentikan. Orang tua saya tidak mampu membiayai saya untuk tahun ini, maka saya terpaksa mulai memikirkan rencana masa depan, lebih-lebih bila tidak berhasil bekerja sebagai guru; saya sudah punya ijasah S1. Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang bidang pekerjaan bagi saya dan juga tentang hubungan saya dengan orang lain. Saya semakin merasa ragu-ragu, bagaimanakah masa depan saya. Akhirnya saya memutuskan lebih baik berkonsultasi dengan salah seorang ahli di sini."
10. Kr : "Soalnya bagi Saudari bukan hanya bidang pekerjaan, tetapi lebih luas: apa yang ingin Saudari capai di masa depan."
11. Ki : "Ya, saya kira soal pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama. Menurut pendapat saya, saya harus lebih dahulu memperbaiki hubungan social saya dengan orang lain. Kalau itu dapat berhasil, lainnya akan berjalan juga, entah apa yang akan saya kerjakan."
12. Kr : "Hm, hm."
13. Ki : "Saya pikir ..... hubungan sosial pad a diri saya tidak baik '" dahulu tidak beres dan sekarang ini juga belum ideal. Kalau begini terus, saya tidak tahu akhirnya saya akan berada di mana. Mungkin semuanya sudah terlambat, . pada umur saya ... " (diam).
14. Kr : "Kalau tidak salah tangkap, maksud Saudari adalah: kalau hubungan sosial Saudari terus seperti sampai sekarang ini, tidak akan berhasil dalam kehidupan masyarakat. Ini membuat Saudari merasa sedih, tanpa banyak harapan. Namun, Saudari juga ingin berhasil ... begitu ... bukan?"
15. Ki : "Ya, untuk sebagian besar begitu. Saya kira saya membutuhkan seseorang yang bisa membantu saya. Bisa saja saya pikirkan sendiri, tetapi entah akan berapa lama waktunya. Saya sudah mulai berpikir sedikit."
16. Kr : "Maka untuk mempercepat prosesnya Saudari datang ke mari. Agaknya Saudari sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri ... "
17. Ki : "Oh ya, banyak pertanyaan telah timbul dalam benak saya."
18. Kr : "Nah, ini melibatkan diri Anda ... "
19 Ki : "Kalau saya tinjau kernbali, saya dulu anak yang kurang bergaul, kerapkali sendirian. Kakak ibu menempatkan saya di TK dengan harapan agar saya belajar bergaul dengan anak lain. Saya tidak mengingat terlalu banyak tentang masa TK itu. Saya diberitahu kemudian, bahwa itulah alasan saya dicarikan TK. Kiranya kesukaran saya tidak mulai di waktu kemudian, tetapi pada urnur masih kecil. Di SD dan SMP teman-temanku yang hanya sedikit … satu-dua orang saja; itupun tidak berlangsung lama dan tidak mendalam .. ,
20. Kr : "Karenanya Saudari sering rnerasa tidak puas dan kurang bahagia sebab tidak mendapat teman sebanyak Saudari harapkan. Apalagi tidak pernah berteman akrab dengan seseorang. Demikian?"
21. Ki : "Benar begitu. Bagaimanapun juga: hubungan sosial saya tampaknya tidak normal ... kalau kata normal boleh dipakai di sini. Saya tidak tahu ... "
22. Kr : "Hm, hm. Agaknya Saudari berpendapat tidak memuaskan."
23. Ki : "Paling sedikit demikian ... tidak rnemuaskan."
24. Kr : " Tidak sesuai dengan yang diharapkan?"
25. Ki : "Betul. Kadang-kadang saya merasa cukup bahagia bila bertemu dengan teman-teman rnahasiswa di kampus, meskipun kita berbicara basa-basi saja. Tetapi perasaan itu cepat berganti bila saya sampai di rumah dan melihat wajahku di cermin, seolah-olah mencerminkan rasa sedih. Hubunganku dengan orang tua juga jauh, dan dalam hal asmara bagi saya Pangeran Charles belum muncu!."
26. Kr : "Kiranya kekurangan yang Saudari rasakan ialah tidak adanya hubungan pribadi yang berarti dengan seseorang pun juga. Lalu rasanya hampa. Begitu?"
27. Ki : "Saya kira ... memang demikian. Hidup saya terasa kosong.
28. kr : "Persahabatan, itulah yang didambakan?"
29. Ki : "Ya, suatu kontak yang dapat memperkaya semua pihak. Agaknya saya tidak memiliki sesuatu yang dimiliki kebanyakan orang lain. Entah apa yang menjadi kekurangan saya, sehingga rasa-rasanya hidup sebatang kara saja."
30. Kr : "Hm, hm. Sejauh saya tangkap. Saudari memandang diri Saudari sebagai orang yang mempunyai cacat: tidak mampu memulai dan mempertahankan suatu hubungan persahabatan. Ini membuat Saudari merasa agak putus asa. Demikian?"
31. Ki : "Benar. Dan kelemahannya pasti terletak di pihak saya sendiri, bukan di pihak pria atau wanita lain. Nah, saya kira hal ini tidak usah saya ulangi kembali. Sungguh sialan saya ini."
32. Kr : "Artinya tak perlu diragukan lagi. rasanya seperti kena nasib malang. Begitu?"
33. Ki : "Pasti demikian."

Konseli kemudian mulai berbicara tentang keluarga dan posisinya di antara saudaranya yang sekandung. Kemudian ia menemukan sendiri bahwa ia merasa tidak diperhatikan oleh keluarga; pengalamannya sejak kecil meninggalkan kesan demikian. Konseli menganggap dirinya tidak mampu bergaul; maka tidak perlu mencoba. Namun, pengalaman hidup ternyata menutut lain; dia seharusnya mampu bergaul dan ingin berusaha. Akhirnya, ia mulai yakin sendiri: tak boleh merasa kasihan terhadap diri sendiri terus-menerus dan harus mulai keluar dari kurungan yang dibuat sendiri.
Pendekatan ini mengandung banyak unsur positif, seperti tekanannya pada peranan konseli sendiri• sebagai pihak yang akhirnya menentukan keberhasilan atau kegagalan proses konseling; kebebasan yang diberikan kepada konseli untuk menentukan apa yang akan diubahnya pada diri sendiri; pentingnya hubungan antarpribadi dalam proses konseling; pentingnya konsep diri; dan keharusan konselor untuk menunjukkan sikap penuh pemahaman dan penerimaan. Sebagai kelemahan sejumlah ahli psikologi konseling menunjukkan tekanan terlalu besar yang diberikan pada perasaan, sehingga komponen berpikir rasional tidak mendapat tempat yang sewajarnya; tujuan konseling pengembangan diri yang maksimal dianggap terlalu umum, sehingga diragukan apakah suatu proses konseling akan menghasilkan perubahan konkret yang tampak jelas dalam perilaku konseli pada saat-saat perubahan semacam itu dibutuhkan, apalagi tanpa pengarahan dan sugesti/saran pihak konselor; tidak semua konseli akan menangkap makna dari pendekatan yang diterapkan oleh konselor, sehingga mereka merasa seolah-olah dibiarkan berputar¬ putar dalam dirinya sendiri tanpa ada tujuan dan arah yang jelas. Di samping itu, pendekatan ini dianggap terlalu terikat pada lingkungan kebudayaan Amerika Serikat, yang sangat menghargai kemandirian seseorang dalam kehidupan masyarakat dan pengembangan potensi individual yang dimiliki masing-masing warga masyarakat. Dengan demikian, pendekatan Rogers dalam lingkungan kebudayaan yang menekankan saling ketergantungan, hubungan sosial yang enak, dan peran aktif dari pimpinan dalam keluarga serta masyarakat, dinilai kurang sesuai.
Dewasa ini dibedakan antara pendekatan Client-Centered Counseling yang bercorak ortodoks (seluruhnya sesuai dengan paham Rogers), dan pendekatan yang beraliran Client¬ Centered, namun juga memperbolehkan konselor untuk mengadakan strukturalisasi terhadap wawancara konseling dan memberikan informasi, petunjuk, usul dan sugesti mengenai apa yang sebaiknya diusahakan oleh konseli. Jadi, menurut pendekatan yang merupakan pengembangan dari Client-Centered Counseling yang ortodoks, konselor tidak membiarkan konseli berjalan sendiri dan pada suatu ketika menemukan sendiri apa yang ingin dicapai, tetapi ikut mengatur proses konseling menurut fase-fase tertentu dengan mengambil pula sejumlah langkah kerja tertentu (strukturalisasi). Narasumber seperti Gendlin, Gordon, de Haas, dan Carkhuff berpendapat bahwa strukturalisasi terhadap proses konseling oleh pihak konselor tidak harus bertentangan dengan suasana komunikasi antarpribadi seperti digambarkan oleh Rogers; dan bahwa ajakan konselor untuk menggunakan pikiran rasional tidak harus bertentangan dengan kelonggaran bagi konseli untuk mengungkapkan banyak perasaan. Aliran-aliran konseling lainnya, yang tidak langsung mengembangkan warisan konsepsi Rogers, dewasa ini telah mengintegrasikan satu aspek dari pendekatan Client-Centered Counseling dalam pendekatannya, yaitu perlunya komunikasi antarpribadi yang didukung oleh sikap dasar konselor dalam menunjukkan penerimaan, pemahaman, dan penghargaan terhadap konseli sebagai sesarna man usia. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa konsepsi Rogers mempunyai pengaruh positif yang besar terhadap semua pendekatan konseling yang diterapkan dewasa ini. Hal ini tampak, antara lain, dalam penggunaan beraneka teknik konseling yang verbal, seperti Refeksi Pikiran, Refleksi Perasaan, Klarifikasi Pikiran, Klarifikasi Perasaan, dan Penerimaan, yang digunakan oleh konselor dari aliran mana pun juga, lebih-Iebih pada awal proses konseling.
Berkaitan dengan layanan konseling, corak Client-Centered Counseling yang ortodoks sulit diterapkan terhadap klient dan mahasiswa tanpa mempertimbangkan beberapa hal. klient yang mengalami kesulitan dalam refleksi diri, dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran secara verbal sampai memadai, dalam keberanian untuk mengambil inisiatif terhadap perkembangan arah hidupnya, serta cenderung menunggu petunjuk tentang apa yang sebaiknya mereka lakukan, kiranya tidak dapat dilayani dengan menggunakan pendekatan ini. Berapa besar jumlah siswa dan mahasiswa yang demikian, sukar ditentukan. Narnun, pengalaman menimbulkan dugaan bahwa jumlahnya cukup besar. Selain itu, banyak masalah yang dibawakan kepada konselor di institusi pendidikan menyangkut masalah pilihan program studi dan pekerjaan serta aneka pilihan lainnya, yang tidak melibatkan alam perasaan secara mendalam dan tidak menuntut perombakan dalam konsep diri (atau sebaiknya tidak diusahakan!). Kasus-kasus yang ,menuntut penyesuaian diri terhadap suatu situasi tertentu dalam lingkungan sekolah ,keluarga atau pergaulan social, kiranya dapat diselesaikan secara tuntas tanpa mengajak siswa, dan mahasiswa menjalani.proses konseling menurut konsepsi Rogers., Oleh Karen itu; pengarang berpendapat bahwa. penerapan C1ient-Centered Counseling yang ortodoks dalam kenyataan akan jarang dilaksanakan dalam institusi pendidikan di Indonesia pada saat ini. Ini pun masih lepas dari pertimbangan, apakah jajaran konselor di sekolah cukup terlatih dalam menerapkan pendekatan ini sebagaimana mestinya!

4 komentar:

zahrana mengatakan...

ass. bapak ini semua nya di buat peta konsep?
khaeriyah, kls BPI-B

bija to duri mengatakan...

thanks atas artikelx
n kalau bisa dipaparkan juga kelemahannya teori CCT ditijau dari penerapannya di indonesia

Acun rt mengatakan...

Bpk miharja bgmn bisa menghubungi bpk.sy tertarik dgn program aleogama psikotes pendidikan.

icesisjacquart mengatakan...

SUNNIREN'S SUNNIREN'S SUNNIREN'S SUNNIREN'S
SUNNIREN'S SUNNIREN'S fallout 76 black titanium SUNNIREN'S SUNNIREN'S SUNNIREN'S SUNNIREN'S apple watch titanium vs aluminum SUNNIREN'S SUNNIREN'S titanium bolts SUNNIREN'S titanium hair SUNNIREN'S SUNNIREN'S titanium rimless glasses

Posting Komentar