TEORI KONSELING TRAIT-FACTOR

Jumat, 19 Februari 2010

materi 9-10 *)


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Trait-Factor.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Trait-Faktor
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling T-F
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling T-F

Pengantar
Istilah Trait~Factor Counseling merupakan corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan beraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi dan/atau bidang pekerjaan. Pelopor pengembangan corak konseling ini yang paling terkenal ialah E.G. Williamson, yang lama bertugas sebagai Pembantu Rektor urusan akademik dan kemahasiswaan pada universitas di Minnesota. Corak konseling ini dikenal juga dengan nama directive counseling atau Counselor-Centered Counselling, karena konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi kebaikan konseli senditi.Corak konseli ini menilai tinggi kemampuan manusia untuk berpikir rasional dan memandang masalah konseli sebagai problem yang harus dipecahkan dengan mengunanakan kemampuan itu (problem-solving approach). Dalam segi teoretis dan dalam segi pendekatannya, corak konseling ini bersumber pada gerakan bimbingan jabatan sebagaimana dikembangkan di Amerika Serikat sejak awal abad yang ke-20.
Dalam buku yang berjudul Vocational Counseling (l965) Williamson menguraikan sejarah perkernbangan bimbingan jabatan dan proses lahirnya konseling berpegang pada teori Trait-Factor. Pada akhir abad yang ke-19 Frank Parson mulai mencari suatu cara untuk membantu orang-orang muda dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan potensi rnereka, sehingga dapat cukup berhasil di bidang pekerjaan itu. Dalam buku Choosing a Vocation (1909), Frank parsons menunjukan tiga langkah yang harus diikuti dalam rnemilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu: pertama, pemahaman diri yang jelas mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri-ciri yang lain. Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat rnencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan kesempatan untuk maju dalam semua bidang pekerjaan itu. Ketiga, berpikir secara rasional mengenai hubungan antarakedua kelompok fakta di atas. Jadi, langkah yang pertama menggunakan analisis diri; langkahyang kedua memanfaatkan informasi jabatan (vocational, information); langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk berpikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri¬-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan/jabatan, dengan tuntutan kualifikasi dan kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan atau jabatan. Dengan demikian, orang muda bukannya mencari pekerjaan demi asal punya pekerjaan (the hunt of a job), melainkan memilih secara sadar suatu pekerjaan yang berfungsi sebagai jabatan (the choice of a vocation). Namun, prosedur yang digunakan oleh Frank Parsons untuk menemukan fakta dalam rangka langkah kerja yang pertama dan yang kedua ternyata tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi analisis psikologis dan sosial secara ilmiah. Misalnya, ahli psikologi industri yang bernama Munsterberg menekankan, bahwa analisis psikologis terhadap seorang yang dilayani menurut model Parsons menjadi tugas seorang psikolog yang bekerja dalam laboratorium penelitian psikologis. Misalnya pula, Witner memperjuangkan penerapan ilmu psikologi dalam mendiagnosis berbagai kesulitan belajar yang dialami oleh seorang siswa, yang kemudian dikembangkan sebagai metode klinis, yaitu pemeriksaan psikologis terhadap orang secara perseorangan. Pemikiran Witner direalisasikan oleh Viteles, yang membuka sebuah klinik psikologis. Klinik ini merupakan institusi di mana semua orang. baik dewasa maupun remaja, memperoleh bantuan dalam menemukan segala segi kemampuannya, dan mendapat nasihat tentang pekerjaan yang cocok bagi mereka. Di samping itu, dalam klinik itu diadakan penelitian berupa analisis jabatan (job analysis) untuk dapat menentukan kualifikasi/persyaratan pada pribadi seseorang yang harus dipenuhi. supaya dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan. Tekanan pada studi psikologis terhadap masing-masing orang dalam suatu klinik psikologis, dengan menggunakan alat-alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menjadi ciri khas dari aliran konseling yang kemudian disebut Konseling Klinikal. Corak konseling yang berpegang pada teori Trait-Factor berkembang dalam rangka konsepsi aliran Konseling Klinikal. Oleh karena itu, pendekatan konseling Trait¬ Factor dalam beberapa buku dinamakan Konseling Klinikal.
Alat yang digunakan untuk mempelajari keadaan seseorang sehingga menghasilkan suatu analisis bagi masing-masing pribadi, adalah tes-tes psikologis yang mula-mula digunakan oleh para ahli psikologi industri dalam rangka seleksi aplikan untuk bidang-¬bidang pekerjaan tertentu. Berdasarkan identifikasi berbagai kemampuan yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang setelah dites, dan berdasarkan penelitian terhadap tuntutan pekerjaan di lapangan untuk mengetahui kemampuan mana yang harus dimiliki seseorang supaya berhasil dalam suatu jenis pekerjaan tertentu, para ahli psikologi industri itu menyusun tabel-tabel prakiraan sukses atau gagalnya seorang aplikan dalam jenis pekerjaan tertentu. Cara berpikir yang demikian mulai diikuti juga oleh konselor jabatan, dengan menekankan penggunaan suatu tes psikologis sebagai alat untuk mengidentifikasi ciri-ciri kepribadian, seseorang yang mempunyai relevansi terhadap suatu jabatan/ pekerjaan. Dalam hal ini aliran konseling jabatan berpegang. pada teori kepribadian yang dikenal dengan nama teori Trait-Factor. Yang dimaksudkan dengan Trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berperilaku, seperti inteligensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berperilaku). Ciri-ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Dengan demikian,misalnya, seseorang dapat diidentifikasikan dan diketahui sebagai orang yang sangat inteligen, kurang iba hati, dan agak agresif. Ciri-ciri itu diandalkan dapat diketahui melalui berbagai tes psikologis.
Yang dipersoalkan ialah: ciri-ciri itu berapa jumlahnya? Semua ciri itu bersifat dasar dan berdiri sendiri, ataukah berkaitan satu sama lain? Beberapa ahli psikologi telah mencoba untuk menemukan seperangkat ciri dasar yang terbatas jumlahnya,dengan menganalisis data hasil testing psikologis melalui teknik statistik yang disebut Factor Analysis.Ciri-ciri dasar yang mereka temukan disebut factors, misalnya Catteli berpendapat telah menemukan 16 faktor, yang merupakan ciri-ciri dasar yang dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara memadai. Teori Trait-Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan sejumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing, psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu. Konseling Trait-Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan alat tes psikologis untuk menganalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri atau dimensi/aspek kepribadian tertentu,Yang , diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam memangku jabatan dan mengikuti suatu program studio Dalam hal ini program studi di institusi pendidikan juga dipandang sebagai jabatan. sehingga akan diikuti prosedur yang sama terhadap pilihan bidang pekerjaan dan bidang studio Dengan demikian, aliran konseling jabatan telah memperluas diri menjadi Konseling Jabatan-Akademik, yang dewasa ini sering disebut Konseling Karier.
Williamson merumuskan pula sejumlah asumsi yang mendasari Trait-factor Counseling dalam suatu karangan yang dimuat dalam Theories of Counseling (Steffire, 1965, Bab V), sebagai berikut:
(a) Setiap individu mempunyai sejumlah kemampuan dan potensi seperti taraf inteligensi umum, bakat khusus, taraf kreativitas, wujud minat serta keterampilan yang bersama-sama membentuk suatu pola yang khas untuk individu itu. Kemampuan dan vadasi potensi itu merupakan ciri-ciri kepribadian (traits), yang telah agak stabil sesudah masa remaja lewat dan dapat diidentifikasikan melalui tes- tes psikologis. Data hasil testing memberikan gambaran deskriptif tentang individualitas seseorang yang lebih dapat diandalkan daripada hasil intropeksi atau refleksi terhadap diri sendiri.
(b) Pola kemampuan dan potensi yang tampak pada seseorang menunjukkan hubungan yang berlain-lainan dengan kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada seorang pekerja di berbagai bidang pekerjaan. Juga wujud minat yang dimiliki seseorang menunjukkan hubungan yang berlain-lainan dengan pola minat yang ditemukan pada orang berkarier di berbagai bidang pekerjaan. Dengan demikian, dibutuhkan informasi jabatan (vocational information), yang tidak hanya mendeskripsikan tugas-tugas yang dilakukan, tetapi menggambarkan pula pola kualifikasi dalam kepribadian pekerja, yang harus dipenuhi supaya mencapai sukses dalam suatu .bidang pekerjaan. lnformasi jabatan yang terandalkan hanya,dapat diperoleh melalui aneka usaha penelitian ilmiah, bukan berdasarkan kesan pribadi dari calon pekerja atau dari pekerja yang sudah bertugas. Justru analisis jabatan (job analysis) dalam bentuk identifikasi kualifikasi yang dituntut (human capacities), memungkinkan penemuan hubungan yang berarti dengan kemampuan, minat, dan keterampilan yang diidentifikasikan pada seorang calon pekerja melalui testing psikologis. Sejumlah kualifikasi yang diketahui berdasarkan penelitian ilmiah itu justru menjadi norma objektif yang dapat digunakan sebagai patokan untuk meramalkan, apakah seorang calon pekerja dapat berhasil baik atau tidak. lni semua memberikan dasar pada langkah ketiga menurut model Parsons dan tidak hanya tinggal kesan subjektif tentang kecocokan seseorang bagi bidang pekerjaan tertentu.
(c) Sesuai dengan pola berpikir pada butir (b), kurikulum suatu program studi menuntut sejumlah kualifikasi tertentu. Calon (maha) siswa akan belajar dengan lebih mudah dan dengan hasil yang lebih memuaskan, kalau pola kemampuan dan minatnya sesuai dengan pola kualifikasi tertentuyang ditumut dari seorang (maha) siswa yang mengikuti program studi tertentu. Dengan demikian informasi pendidikan (educational information) yang dibutuhkan bukan hanya mendeskripsikan isi dari suatu program studi, tetapi juga menggambarkan pola kualifikasi (human capacities) yang dituntut. Informasi ini harus bersifat objektif berdasarkan hasil penelitian, dan tidak boleh tinggal informasi yang berupa kesan subjektif dari orang-perorangan atau beberapa orang saja. Diagnosis terhadap pola kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang harus mendahului penerimaan dan penempatan dalam program studi tertentu. Diagnosis atau analisis psikologis ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan aneka alat tes yang terandalkan. Penentuan kecocokan atau ketidak¬cocokan antara data tentang tuntutan program studi dan data tentang individu, lebih dapat diandalkan daripada hanya prakiraan kecocokan atas dasar pandangan pribadi tentang diri sendiri dan sekadar kesan ten tang tuntutan program studio
(d) Setiap individu mampu, berkeinginan, dan berkecenderungan untuk mengenal diri sendiri serta memanfaatkan pemahaman diri itu dengan berpikir baik-baik, sehingga dia akan menggunakan keseluruhan kemampuannya semaksimal mungkin dan dengan demikian mengatur kehidupannya sendiri secara memuaskan.

Mengenai martabat kehidupan manusia, Williamson berpendapat bahwa manusia berpotensi untuk melakukan yang baik dan yang jahat; namun, makna kehidupan adalah mengejar yang baik dan menolak serta mengontrol yang jahat. Dalam perkembangannya, manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk dapat mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya secara memadai. Konselor di, institusi pendidikan berusaha dengan sejujur-jujurnya. untuk mempengaruhi arah perkembangan itu; konseli minta bantuan konselor karena dia dari dirinya sendiri belum dapat menemukan arah perkembangannya sendiri. Karena konseli belum mengenal diri sendiri, konselor mendampinginya mengumpulkan data ekstrinsik tentang dirinya untuk melengkapi persepsi konseli terhadap diri sendiri. Konseli yang menghadap konselor atas prakarsanya sendiri akan lebih mudah dilayani, tetapi Williamson cenderung menerima kemungkinan konselor memanggil (maha) siswa untuk diajak berbicara, meskipun konseli tidak boleh dipaksa untuk melanjutkan hubungan dengan konselor. Dengan membantu konseli berpikir secara tepat, berbagai permasalahan dapat diatasi (problem solving). Konselor secara jelas ikut mengatur proses pemikiran (strukturalisasi) dan terlibat dalam menyampaikan informasi serta melakukan kegiatan diagnostik. Proses konseling berlangsung melalui lima fase, yaitu penciptaan hubunganyang serasi dalam suasana komunikasi pribadi yang memuaskan (a warm and friendly relationship); pengembangan pemahaman diri; penyusunan suatu rencana bertindak; pelaksanaan rencana itu; konsultasi dengan tenaga pembina (maha) siswa yang lain bila perlu.
Konselor yang berpegang pada pendekatan Trait-Factor mengikuti rangkaian langkah kerja yang agak mirip dengan pelaksanaan studi kasus dan pelayanan dokter terhadap seorang pasien, yaitu: analisis atau pengumpulan data yang relevan; sintesis at au organisasi dari data itu untuk memperoleh gambaran yang selengkap mungkin tentang konseli; diagnosisatau kesimpulan tentang semua unsur pokok dalam masalah konseli dan sebab-musababnya; prognosis atau perkiraan tentang perkembangan konseli selanjutnya serta berbagai implikasi dari hasil diagnosis; konseling atau wawancara perseorangan untuk memikirkan penyelesaian terhadap problem yang dihadapi; tindak lanjut (follow-up) atau bantuan kepada konseli bila timbul masalah lagi dan evaluasi terhadap efektivitas konseling.
Sebagai contoh diambil kasus sebagai berikut: Seorang siswa kelas III SMU belum dapat menentukan pilihan program studi perguruan tinggi. Disepakati akan dikumpulkan data tentang siswa yang relevan, yaitu taraf inteligensi, bakat khusus, dan minat melalui testing psikologis (analisis). Data hasil testing yang masuk menyatakan bahwa siswa bertaraf inteligensi tinggi, berbakat khusus dalam bidang studi matematika, cukup mampu dalam pengamatan ruang, dan mempunyai minat yang mengarah ke pekerjaan sosial; maka tampak suatu pola kemampuan dan minat tertentu (sintesis). Siswa dahulu mengatakan bahwa dia pernah memikirkan. program studi teknik sipil, arsitekstur, dan keguruan dibidang matematika. Sebenarnya ada kecocokan antara milik/bekal kemampuan kognitif dengan kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang studi itu, tetapi hanyalah terdapat kecocokan dalam arah minat dengan bidang keguruan. Dengan demikian inti problemnya adalah menentukan/memilih suatu bidang studi yang menuntut pola kualifikasi yang sesuai, baik dengan kemampuan di bidang kognitif maupun dengan arah minat (diagnosis). Implikasi dari hasil diagnosis itu adalah supaya siswa meninjau kecocokan antara pola kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang studi di atas, dengan pola kemampuan dan minat yang telah diidentifikasikan pada dirinya sendiri (prognosis). Peninjauan itu dilaksanakan dalam wawancara dengan konselor, sampai siswa akhirnya memilih program studi Pendidikan Matematika. Konseli menghadap kembali kalau ternyata timbul kesulitan dalam pelaksanaan keputusannya (follow-up). Konseling menurut pendekatan Trait-Factor juga dapat diterapkan terhadap masalah lain bila akan digunakan berbagai macam tes psikologis (konseling klinikal). Akan . tetapi, dalam praktek lapangan di institusi pendidikan corak konseling ini paling sering diterapkan terhadap permasalahan pilihan bidang studi dan/atau bidang pekerjaan.
Williamson sendiri sudah mengakui bahwa konfigurasi kualifikasi yang dituntut dari seorang pekerja yang sudah bertugas sebenarnya bukan hanya meliputi kemampuan kognitif dan pola minat, melainkan juga sifat-sifat kepribadian, sikap serta motivasi. Ciri-ciri kepribadian yang terakhir itu belum dapat diketahui secara pasti, sampai berapa jauh merupakan kualifikasi yang dituntut dalam berbagai bidang pekerjaan. Pun pula, tes-tes psikologis yang mengidentifikasikan ciri-ciri itu pada seseorang belum dapat diandalkan semuanya. Di samping itu, hubungan atau korelasi antara data hasil testing terhadap semua ciri kepribadian itu dengan konfigurasi kualifikasi yang menyangkut ciri kepribadian Yang sama, belumlah diketahui secara pasti. Dengan demikian, taraf kecocokan antara pola berbagai ciri kepribadian yang telah diidentifikasikan itu dan pola kualifikasi yang dituntut pada seorang pekerja di bidang pekerjaan tertentu, juga belum dapat diketahui secara pasti. Meskipun Williamson mengakui kelemahan-kelemahan itu, namun dia tetap mengajukan keberatan terhadap penggunaan analisis diri (self-analysis) dan observasi subjektif terhadap kualifikasi yang dituntut dalam suatu bidang pekerjaan. Misalnya, dia mencela metode yang dianjurkan oleh Rosengarten (1924), yaitu siswa menulis dalam lajur sebelah kiri ciri-ciri kepribadiannya menurut pandangannya sendiri (self-analysis) dan menulis dalam lajur sebelah kanan keseluruhan kualifikasi yang dianggapnya menjadi tuntutan .dalam bidang pekerjaan tertentu (observasi subjektif). Kemudian siswa membandingkan kedua lajur itu dan menentukan adanya kecocokan atau tidak adanya kecocokan. Dikatakan oleh Williamson bahwa metode ini mudah digunakan, tetapi tidak terandalkan, karena data itu tidak harus sesuai dengan kenyataan dan penentuan kecocokannya dapat sangat terpengaruh oleh keinginannya sendiri (wishful thinking). Williamson mengharapkan supaya testing psikologis dan penelitian terhadap konfigurasi kualifikasi di lapangan akan mengalami kemajuan, sehingga data yang mendasari pilihan suatu bidang pekerjaan dan/atau bidang studi lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping kelemahan-kelemahan yang dikemukakan di atas, masih dapat ditunjukkan beberapa kelemahan yang lain, sejauh pendekatan Trait-Factor menyangkut pilihan bidang studi dan/atau pekerjaan. Kelemahan tersebut itu adalah sebagai berikut.
(a) Kurang diindahkan adanya pengaruh dari perasaan, keinginan, dambaan, aneka nilai
budaya (cultural values), nilai-nilai kehidupan (personal values), dan cita-cita hidup, terhadap perkembangan jabatan anak dan remaja (vocational de.velopment) serta , pilihan program/bidang studi dan bidang pekerjaan (vocational choice).
(b) Diandaikan bahwa pilihan jabatan dan pilihan program studi terjadi sekali saja dan ini pun bersifat keputusan terakhir atau definitif, dengan berpikir secara rasional. Padahal, pilihan seperti ini tidak dibuat sekali saja, tetapi dibuat secara bertahap¬-tahap dari pilihan intermediar sampai pada pilihan definitif dan bukan hanya berdasarkan proses berpikir rasional saja. Semua ini berkaitan dengan munculnya pandangan yang lebih baru mengenai proses perkembangan jabatan (vocational development),sebagaimana akan dibahas dalam Bab 13.
(c) Kurang diperhatikan peranan keluarga dekat, yang ikut mempengaruhi rangkaian pilihan anak dengan cara mengungkapkan harapan, dambaan dan memberikan pertimbangan untung-rugi sambil menunjuk pada tradisi keluarga; tuntutan mengingat ekonomi keluarga; serta keterbatasan yang konkret dalam kemampuan finansial, dan sebagainya.
(d) Kurang. diperhitungkan perubahan/pergeseran dalam kehidupan masyarakat, yang ikut memperluas atau membatasi jumlah pilihan yang tersedia bagi seseorang. Misalnya, kejenuhan di bidang pekerjaan tertentu harus menjadi bahan pertimbangan sebelum memutuskan; demikian pula, kekurangan akan sumber tenaga kerja di bidang-bidang lain membuka prospek baru. Sistem sosial koneksi, praktek diskriminasi, dan berbagai kebijakan seleksi ikut memperluas atau mempersempit ruang gerak.
(e) Kurang disadari bahwa konstelasi kualifikasi yang dituntut untuk mencapai sukses di suatu bidang pekerjaan atau program studi dapat berubah selama tahun-tahun yang akan datang. Selain itu, bersukses dalam suatu jabatan bukan hanya menyangkut balas jasa dan peningkatan status, melainkan pula rasa puas dalam hati sendiri dan hubungan antar pribadi yang memuaskan bagi berbagai pihak.
(f) Pola ciri~ciri kepribadian tertentu belum pasti sangat membatasi jumlah kesempatan yang terbuka bagi seseorang, karena orang dari berbagai pola ciri kepribadian dapat mencapai sukses di bidang pekerjaan yang sarna.
Meskipun corak konseling Trait-Factor mengandung sejumlah kelemahan sebagaimana dijelaskan di atas, pandangan Williamson mengenai martabat kehidupan manusia dan usaha konselor di suatu institusi pendidikan untuk mempengaruhi arah perkembangan para (maha) siswa secara positif, tetap menarik bagi seorang konselor yang bertugas di institusi pendidikan. Kekurangan pengalaman hidup dan kesukaran untuk mengambil suatu kebijaksanaan, yang kedua-duanya kerap tampak pada banyak konseli yang dilayani di sekolah, mendorong para konselor untuk menerapkan pendekatan ini, lebih dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut pilihan karier. Dalam hal ini dapat diterapkan suatu pendekatan yang mengambil inspirasi pada konseling Trait-Factor sebagaimana dikembangkan oleh Williamson, yaitu sebagai berikut: konseli dibantu untuk mengumpulkan dan mengolah data tentang diri sendiri (data psikologis): serta data tentang lingkungan hidup, yang meliputi data dan akta konkret tentang lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat,dan lingkungan bidang studi dan/atau jabatan yang sedang ditinjau (data sosial). Data dan fakta itu dalam kaitan satu sama lain menghasilkan sejumlah alternatif atau kemungkinan, yang kemudian dipertimbangkan pro dan kontranya. Akhirnya .dipilih alternatif yang paling masuk akal, paling bijaksana dan realistis karena baik bisa/dapat maupun ingin dipilih; atau mungkin ditemukan alternatif baru yang mengambil unsur~unsur dari berbagai alternatif yang lain (kompromi). Dengan demikian,keharusan untuk berpikir rasional tidak dikesampingkan, tetapi sudah tidak merupakan proses berpikir untuk menemukan kecocokan seperti mula-mula digambarkan dalam konseling Trait-Factor. Secara praktis, data dan fakta yang dibutuhkan dapat dikumpulkan dalam urutan sebagai berikut.
(a) Data tentang diri sendiri: kemampuan intelektual; bakat khusus; minat; harapan; berbagai perasaan; nilai-nilai kehidupan (personal values); cita-cita; keterampilan¬keterampilan; serta ciri-ciri kepribadian yang lain, yang bersifat nonkognitif. Sejauh mungkin data itu dicari dengan melalui alat-alat tes dan nontes; bilamana alat yang terandalkan tidak tersedia, data itu dikumpulkan berdasarkan refleksi diri (self¬analysis) dengan menyadari kelemahan yang terkandung di dalamnya. Namun, beberapa data paling diketahui oleh konseli sendiri, seperti nilai-nilai kehidupan dan cita-cita hidup.
(b) Fakta tentang keluarga dekat; aneka harapan keluarga; kewajiban moral-sosial terhadap keluarga; kemampuan ekonomi keluarga, dan sebagainya.
(c) Fakta tentang lingkungan hidup: ciri/corak khas dari setiap program studi dan/atau setiap bidang pekerjaan; konstelasi kualifikasi yang secara minimal dituntut; keadaan konkret masyarakat yang mempersempit atau mernperluas ruang gerak konseli yang menghadapi keharusan memilih. Sejauh mungkin fakta itu bersifat kenyataan yang disahkan dalam hasil penelitian; namun data sosial semacam ini tidak selalu tersedia atau sudah tidak up-to-date.
Pendekatan ini dapat digunakan terhadap semua kasus yang mengandung unsur-¬unsur sebagai berikut: termasuk ragam konseling jabatan dan/atau konseling akademik (konseling karier), di mana konseli menghadapi keharusan untuk memilih di antara beberapa alternatif; konseli telah menyelesaikan minimal jenjang pendidikan SLTE dan sudah mulai tampak stabil dalam berbagai ciri kepribadian; konsel tidak menunjukkan kelemahan serius dalam beberapa segi kepribadiannya, misalnya selalu ragu-ragu dalam keputusan tentang apa pun juga atau sangat dikuasai oleh alam perasaannya sendiri. Namun, harus selalu diperhatikan apakah pilihan yang akan dibuat bersifat intermediar atau definitif sehingga sukar diubah kelak.
Sebagai contoh diambil kasus sebagai berikut: Ada seorang siswa SMU, kelas III, pro¬gram studi IPA. Dia mengambil program studi itu karena ingin supaya tetap terbuka kesem¬patan baginya untuk kelak melanjutkan ke Fakultas Kedokteran atau Fakulas Pertanian. kalau kiranya bisa. Data yang akan dikumpulkan dengan bantuan konselor meliputi:
(a) Data tentang diri sendiri: kemampuan intelektual bertaraf lebih dari cukup (berdasarkan hasil testing); berbakat khusus di bidang studi matematika (berdasarkan hasil penilaian guru selama beberapa tahun); berminat terhadap matematika dan memelihara tanaman (berdasarkan ,analisis diri, yang diperkuat dalam hasil testing); nilai kehidupan menekankan pengabdian kepada sesama (berdasarkan analisis diri, yang diperkuat oleh beberapa guru pada skala penilaian); cita-cita masa depan terpusat pada usaha pembangunan dan kepemimpinan (berdasarkan data kartu pribadi mengenai keterlibatannya dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai pemimpin, disertai keyakinan sendiri); sifat-sifat kepribadian yang mencolok adalah sabar, ringan tangan, dan besar hati (berdasarkan analisis diri, diperkuat oleh penilaian sejumlah guru pada skala penilaian); keterampilan tidak ada yang mencolok, tetapi diakuinya sendiri tidak merasa malu bila tangannya menjadi kotor; harapannya ialah melanjutkan ke perguruan tinggi dan membuat orang tuanya merasa bangga.
(b) Fakta tentang keluarga dekat: orangtua mengharapkan dia melanjutkan studi, tetapi jangan sampai terlalu lama karena harus ikut membiayai pendidikan adik-adik; kemampuan ekonomi keluarga sedang saja, sehingga selama studinya dia harus tetap tinggal di rumah orang tua nanti; program studi diserahkan kepada anak, asal dia dapat menekuninya.
(c) Fakta tentang program studi, yang mempersiapkan untuk karier tertentu yang pernah dibayangkan, yaitu Kedokteran Umum, Psikologi, Teknologi Pertanian, Ilmu Pasti. Kedokteran Umum menuntut beberapa kualifikasi yang kiranya dapat dipenuhi, tetapi secara finansial sangat berat, Psikologi menuntut pola kualifikasi yang tidak berbeda jauh dengan data dalam butir (a), tetapi program studi strata satu (S1) tidak memberikan harapan dapat segera bekerja dengan mendapat imbalan yang cukup memadai baginya. Teknologi Pertanian memungkinkan segera bekerja dan memulai usaha sambilan untuk menambah penghasilan serta pola kualifikasinya pun tidak jauh berbeda dengan data mengenai diri sendiri. Ilmu Pasti pun kelihatan sesuai, apalagi kalau dia menamatkan program studi Pendidikan Matematika di dan menjadi guru di suatu sekolah serta memberikan tes privat. Pilihan program studi di PT tidak dikaitkan dengan program studi yang diambil di SMU, menurut ketentuan yang berlaku pada saat itu.

Dalam pembicaraan selanjutnya menjadi jelas, bahwa siswa ini harus memberikan tekanan pada fakta yang tercantum dalam butir (b) di atas. Setelah masing-masing alternatif program studi, sebagai persiapan untuk karier tertentu, ditinjau pro dan kontranya untuk dapat menjawab dua soal, yaitu "Bisakah?/Mungkinkah?" (Possible?) dan "Inginkah?" (Desirable?), akhirnya diputuskan bahwa:
(a) Kedokteran umum tidak mungkin, meskipun sebenarnya ingin. Maka tidak jadi.
(b) Psikologi tidak diinginkan, meskipun sebenarnya bisa. Maka tidak jadi.
(c) Teknologi Pertanian bisa dan diinginkan. Namun dia harus studi di PTN di kota tempat tinggalnya; tidak ada PTS yang menawarkan program studi itu. Maka ditentukan sebagai pilihan yang kedua.
(d) Ilmu Pasti bisa dan diinginkan. Di kota tempat tinggalnya ada Negeri dan Swasta yang menawarkan program studi Pendidikan Matematika. Maka pilihan yang pertama menjadi Pendidikan Matematika, SI, dengan preferensi di Negeri.

Ditentukan dua pilihan program studi atas dasar pertimbangan, bahwa belum tentu dia diterima untuk pilihannya yang pertama. Daripada merasa frustasi besar, dia secara mental sudah siap untuk diterima dalam pilihannya yang kedua. Untuk siswa ini kedua pilihan itu bercirikan definitif, meskipun keputusan tentang suatu spesialisasi dapat diambil kemudian. Segi yang tidak ditinjau dalam kasus ini ialah apakah suatu alternatif pilihan probable, dalam arti siswa itu dapat diramalkan akan berhasil baik dalam program studi Teknologi Pertanian dan Pendidikan Matematika. Untuk itu diperlukan data yang memberikan indikasi tentang besar-kecilnya probabilitas akan berhasil baik, setelah diterima di salah satu program studio Data semacam itu di Indonesia dewasa ini masih jarang tersedia. Namun, mengingat data psikologis yang tersedia, siswa ini boleh mengharapkan akan berhasil baik kalau dia tetap bermotivasi kuat.
Perlu dicatat bahwa pengumpulan data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat serta lingkungan hidup sangat bermanfaat untuk dapat menentukan suatu norma atau patokan yang menjadi landasan untuk kelak dapat mengambil suatu keputusan tegas. Biarpun norma atau patokan itu di sini tidak dirumuskan secara eksplisit seperti kerap terjadi dalam konseling yang tidak menyangkut suatu pilihan program studi atau bidang pekerjaan, namun tinjauan mengenai segi pro dan segi kontra pada setiap alternatif pilihan lazimnya berlandaskan pada suatu norma atau patokan yang berkaitan dengan data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat serta lingkungan hidup. Dengan kata lain, himpunan data dan fakta yang disebutkan dalam uraian di atas menghasilkan suatu pegangan dasar dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya. Selain itu patut diperhatikan bahwa dalam contoh yang disajikan dalam uraian di atas konseli sudah mempunyai beberapa alternatif program studi untuk ditinjau, antara lain meninjau kualifikasi yang dituntut. Dalam kasus yang demikian tidak perlu lagi membuat suatu inventarisasi tentang alternatif program studio Berbedalah keadaan konseli yang belum memikirkan alternatif yang dapat terbuka baginya, mengingat data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat., sehingga harus diadakan inventarisasi alternatif lebih dahulu untuk melengkapi data sosial, agar proses pengambilan keputusan selanjutnya berjalan lancar. Akhirnya, harap diperhatikan bahwa pendekatan sebagaimana dijelaskan di atas menyangkut suatu kasus pilihan di antara beberapa alternatif (a choice case) mengenai program studi/bidang studi dan/atau bidang pekerjaan, bukan kasus pilihan di antara beberapa alternatif di luar dua bidang itu. Istilah "probable" dalam urain di atas dan istilah "feasible" tidak menunjukkan pada sesuatu, yang sangat berbeda; istilah yang pertama menyangkut hasil yang boleh diharapkan bila dipilih alternatif program studi atau bidang pekerjaan tertentu, sedangkan istilah yang kedua menyangkut hasil yang boleh diharapkan bila dipilih suatu alternatif tertentu dalam lingkup permasalahan yang tidak berkaitan dengan bidang studi atau bidang pekerjaan.

Model Pelaksanaan Trait-Factor Counseling
Kasus
Haryanto adalah seorang siswa SMU Negeri di Yogyakarta, kelas III, program studi IPA. Pada bulan November dia menghadap konselor di sekolah untuk membicarakan masalah kelanjutan studi setelah tamat sekolah, pada bulan April tahun berikutnya. Dalam wawancara menjadi jelas bahwa Haryanto merasa bingung sekali karena tidak mengetahui bagaimana caranya mengatasi kesulitanyang dihadapinya. Adapun kesulitan Haryanto adalah sebagai berikut: dia berkeinginan sekali melanjutkan ke fakultas teknik dan nanti bekerja sebagai insinyur sipil. Dia yakin mampu menyelesaikan studi di fakultas teknik karena hasil belajar di SMU dalam seluruh bidang studi, yang menunjang studi di fakultas teknik, selama ini tergolong baik Hasil ini memang sesuai dengan hasil tes kemampuan belajar yang ditempuh ketika Haryanto mencalonkan diri sebagai siswa di SMU ini. Sejak masuk SMP Haryanto senang membaca buku-buku tentang teknik yang dipinjam di perpustakaan sekolah, khususnya teknik bangunan suatu jalan raya. Menurut pendapat Haryanto, kepribadiannya cocok untuk bekerja sebagai insinyur pembangunan di lokasi mana pun juga. Atas pertanyaan konselor Haryanto menjelaskan bahwa keluarganya mendukungcita-cita tersebut, namun tidak mampu untuk membiayai studi di fakultas teknik sampai mencapai gelar insinyur. Dia diharapkan akan cepat bekerja supaya dapat membantu membiayai pendidikan. adik-adiknya. Nah, keadaan ekomomi keluarga dan harapan orang tua inilah. Yang menimbulkan kesulitan besar, sehingga Haryanto sudah lama menghadapi masalah: bagaimana saya ini sesudah tamat? Karena masalah yang belum terpecahkan ini, Haryanto semakin merasa sukar untuk berkonsentrasi dalam belajar. Dia bahkan merasa minder sebab teman/rekan sekelas semuanya berkata akan melanjutkan ke PT yang banyak terdapat di Yogyakarta.
Langkab-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Haryanto: lihat bagan dibagian A.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Haryanto.
Masalah yang ingin dibicarakan oleh Haryanto ialah: tidak mengetahui akan melanjutkan studi ke mana karena keluarganya tidak mampu membiayai studi di fakultas teknik. Dia merasa sangat bingung karena persoalan ini; merasa minder kalau tidak dapat melanjutkan.

(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu menghimpun data yang ternyata tersedia:
(a) Haryanto sendiri. Kemampuan belajar: cukup tinggi. Bakat khusus: matematika dan menggambar mistar. Cita-cita hari depan: menjadi insinyur sipil dengan belajar di fakultas teknik suatu PT. Minat: teknik pembangunan jalan raya. Sifat kepribadian yang mencolok: mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Nilai kehidupan (setelah ditanyakan langsung): pengabdian pada kebutuhan bangsa dan Negara, Perasaan: bingung, minder.
(b) Keluarga Haryanto. Orang tua sebenarnya mendukung cita-citanya. tetapi terbentur pada persoalan biaya seandainya dia belajar di fakultas teknik. Dia diharapkan lekas bekerja untuk membantu pendidikan adik-adiknya.
(c) Bidang pekerjaan yang diinginkan: sebenarnya mempunyai prospek masa depan yang baik, lebih-lebih bila Haryanto bersedia ditugaskan di luar Pulau Jawa. Bidang-bidang studi di PT yang sesuai dengan data tentang Haryanto sendiri dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif-alternatif: l) di PTN Universitas, S1, JurusanTeknik Sipil; 2) di PTS Universitas, S1, Jurusan Teknik Sipil; 3) di PTN Universitas, Program D3 Politeknik, Teknik Sipil; 4) di PTN , S1, dalam Pendidikan Teknik Bangunan; 5) di PTN , D3, datam Pendidikan Teknik Bangunan; 6) di Universitas Terbukas Program D2 Keterampilan Teknik; 7) alternatif lain yang relevan, seandainya diketahui tersedia. Semua alternatif itu dikumpulkan dalam rangka inventarisasi kemungkinan yang terbuka baginya.
(4) Membantu Haryanto mengintegrasikan semua data di atas satu sama lain dan mempertimbangkan pro dan kontra dari masing- masing alternatif, agar menjawab dua pertanyaan: "bisakah?/mungkinkah" serta "inginkah?". Misalnya dipertimbangkan sebagai berikut:
(a) Semua program studi Sl kelihatannya tidak mungkin (tidak bisa),karena masa studi terlalu lama dan biaya tidak tersedia, meskipun program-prograrn studi itu sebenarnya diinginkan. Namun, dapat dicari informasi apakah bagi Haryanto tersedia kemungkinan mendapatkan beasiswa atau mengambil kredit mahasiswa di bank dengan syarat lunak. Seandainya kemungkinan itu ada, seluruh program studi itu dapat dipertimbangkan lagi (Untuk mencari informasi itu proses konseling dihentikan dulu.) Dalam wawancara berikutnya. Haryanto melaporkan bahwa bagi dia tidak tersedia kemungkinan itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa semua program studi Sl tidak dapat dipilih (tidak mungkin dipilih; tidak bisa dipilih).
(b) Semua program studi D3 dimungkinkan karena masa studi tidak terlalu lama, biaya tidak terlalu tinggi dan tersedia kesempatan untuk lekas bekerja. Namun program studi manakah yang diinginkan mengingat cita-cita semula adalah menjadi insinyur sipil? Berarti harus ada perubahan dalam cita-cita Haryanto, alias aspirasinya harus diturunkan. Di antara altematif-alternatif yang ada, Haryanto ternyata paling menginginkan program D3 Pendidikan Teknik Bangunan di , karena sebagai guru dia dapat juga mengabdi.
(c) Universitas Terbuka, program D2 Keterampilan Teknik sebenarnya mungkin, tetapi Haryanto tidak begitu ingin karena dianggap di bawah kemampuan otaknya. Dia baru bersedia memilih alternatif ini kalau dia ternyata tidak diterima di program Politeknik dan Pendidikan Teknik yang tercantum pada butir b di atas. Akhirnya. Haryanto memutuskan untuk memilih sebagai alternatif pertama program D3 Pendidikan Teknik di ; sebagai alternatif kedua program D3 Politeknik di Universitas; dan sebagai alternatif ketiga program D2 Keterampilan Teknik di Universitas Terbuka.
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Haryanto: lihat bagan di bagian A.
Patut dicatat di sini bahwa dalam kasus ini konseli belum memikirkan sejumlah alternatif program studi di PT; ini berbeda dengan kasus yang disajikan dalam Bab 9, A, 2 dan sudah ditunjukkan di situ. Maka pada akhir fase 3 diadakan inventarisasi alternatif lebih dahulu untuk melengkapi data sosial, agar proses pengambilan keputusan selanjutnya berjalan lancar; dalam inventarisasi itu belum digunakan nama program karena nama itu masih dapat berubah. Digunakan nama jurusannya atau bidang studinya.

0 komentar:

Posting Komentar