KONSELING PENDEKATAN KOGNITIF

Jumat, 19 Februari 2010

materi 5



Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman mengenai pendekatan KOGNITIF dalam konseling

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tokoh, pokok pikiran dan asumsi masalah, serta tujuan konseling dalam konseling analisis transaksional.
2. Menjabarkan konseling sistematika Carkhuff.


a. Analisis Transaksional
Analisis Transaksional (Transactional Analysis) dipelopori oleh Eric Berne dan diuraikan dalam beberapa buku yang dikarang oleh Berne sendiri, seperti Games People Play (1964), atau dikarang oleh orang lain, seperti Thomas A. Harkis dalam buku I'm Ok - You're Ok (l969). Analisis Transaksional menekankan pada pola interaksi antara orang-¬orang, baik yang verbal maupun yang nonverbal (transactions).
Corak-konseling ini dapat, diterapkan dalam konseling individual, tetapi dianggap paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama diberikan pada manipulasi dan siasat yang digunakan oleh orang dalam berkomunikasi satu sama lain (games people play).
Dibedakan antara tiga pola berperilaku atau keadaan diri (ego states), yaitu orang tua (parent), orang dewasa (adult), dan anak (child). Keadaan orang tua (parent ego state) adalah berperilaku yang dianjurkan oleh pihak orang atau instansi sosial yang berperanan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung, sekolah, dan badan keagamaan. Dalam keadaan ini seseorang berpesan kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain seperti yang dialami sendiri dari pihak orang atau instansi yang memiliki wewenang terhadapnya. Keadaan - orang dewasa (adult ego state) adalah bagian kepribadian yang berhadapan dengan realitas sebagaimana adanya dan mengolah fakta serta data untuk membuat keputusan-keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan bertindak menurut apa yang dianggap tepat. Keadaan anak (child ego state) adalah bagian kepribadian yang didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang disukai, seperti dapat disaksikan dalam perilaku tindakan anak kecil. Dalam keadaan ini orang berperilaku secara bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang, hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya sendiri. Tiga keadaan diri ini tidak terikat pada umur atau fase perkembangan tertentu, sehingga seorang yang berumur dewasa berada dalam salah satu dari tiga keadaan diri itu dan dapat berpindah dari keadaan diri yang satu ke keadaan diri yang lain.
Selama proses konseling orang belajar mengidentifikasikan tiga keadaan diri pada dirinya sendiri, dan menyadari keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukan pola interaksi dengan orang-orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola interaksi sosial sesuai dengan berbagai keadaan diri (transactions), dan membantu untuk menganalisis diri sendiri sehingga disadari keadaan diri mana yang dominan dalam perilakunya. Dalam berhadapan dengan orang lain pada suatu saat orang dapat berbicara dalam keadaan diri tertentu dan mengharapkan tanggapan dari pihak yang lain dalam keadaan diri yang sama, misalnya suami bertanya kepada istri, "Makan malam nanti pukul berapa?" dan mendapat jawaban, "Pukul 7," (orang dewasa bicara dengan orang dewasa). Bilamana suami mendapat jawaban dari istri, "Jangan memburu-buru saya! Kamu tidak pernah memberikan waktu kepada saya untuk menghidangkan makanan yang lezat!", dia tidak mendapat tanggapan dari istrinya dalam keadaan orang dewasa, tetapi dalam keadaan anak. Dengan demikian komunikasi mereka pada saat itu tidak lancar dan dapat menghasilkan rasa sakit hati di kedua belah pihak. Istri itu mungkin mengharapkan tanda simpati dari suami atas jerih-payahnya sebagai ibu rumah tangga (a positive stroke), namun cara yang ditempuh untuk mendapatkan tanda penghargaan itu dengan menimbulkan rasa kasihan dalam hati suami. Dengan kata lain, dia memanipulasikan suaminya (playa game) yang mengganggu kontak antarpribadi sebagai suami dan istri. Jadi, tujuan dari konseling menurut pendekatan Analisis Transaksional ialah supaya konseli menjadi sadar akan seluruh hambatan yang, diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat.
Harris mendeskripsikan empat sikap hidup terhadap diri sendiri, dan! orang lain, yaitu:
(1) I am okay - you are okay: sikap hidup seseorang yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan membina kontak sosial yang memuaskan.
(2) I am okay - you are not okay: sikap hidup seseorang yang melimpahkan kesukaran¬-kesukarannya sendiri pada orang lain dan menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain.
(3) I am not okay - you are okay: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan tak berdaya, dibanding dengan orang lain. Dia cenderung untuk mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk mendapatkan pengakuan dan simpati.
(4) I am not okay - you are not okay: sikap hidup seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya dibawa oleh pasang-surut kehidupan.

b. Sistematika Carkhuff
Sistematika ini merupakan pola pendekatan tersendiri. yang dikembangkan oleh Robert R Carkhuff dan diuraikan serta dipertanggungjawabkan dalam banyak publikasi, antara lain dalam buku yang berjudul The Skills of Helping (1979) dan The Art of Helping IV (1980), Sistematika ini dapat dipandang sebagai suatu pola eklektik dalam konseling karena merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil dari beberapa konsepsi serta pendekatan terhadap konseling, namun berbeda dengan Konseling Eklektik yang dikembangkan oleh Frederick Thorne.
Dalam sistematika Carkhuff proses konseling dipandang sebagai suatll proses belajar, baik bagi konseli sebagai orang yang dibantu (helpee) maupun bagi konselor sebagai orang yang membantu (helper). Konseli akan belajar bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi suatu masalah dengan berpikir dan bertindak secara lebih konstruktif; bahkan, konseli belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu pada saat sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi kesulitan/ persoalan yang lain di kemudian hari. Konselor akan belajar, melalui penghayatan pengalamannya membantu orang-orang tertentu, meningkatkan kemampuannya untuk membantu orang lain dengan memperoleh semakin banyak keterampilan praktis (skills) dalam berwawancara konseling.
Dalam sejarah perkembangan teori-teori konseling, Carkhuff menemukan dua konsepsi pokok serta dua pola dasar pendekatan dalam konseling, yaitu konsepsi serta pendekatan yang menekankan memahami (insight approach) dan konsepsi serta pendekatan yang mengutamakan bertindak (action approach); Kedua pola pendekatan dipandang sebagai pola yang berat sebelah dan kurang menjamin keberhasilan dalam konseling, karena memahami tidak dituangkan dalam suatu program kerja nyata, dan bertindak tidak didasarkan pada pengertian serta keyakinan yang harus menjamin kelangsungan dari berbagai tindakan yang diambil. Supaya orang mengubah diri dan mengubah perilakunya, dibutuhkan baik memahami maupun bertindak. Oleh karena itu, kedua pola pendekatan harus dipadukan dalam suatu pendekatan sistematis yang menjamin efisiensi dan efektivitas dari proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata dalam perilaku konseli. Orang yang menjalani proses konseling akan melawati tiga fase pokok dalam proses itu, yaitu eksplorasi (exploration), pemahaman diri (understanding), dan bertindak (action).
Untuk membantu konseli melewati tiga fase itu secara tuntas, konselor harus memiliki keterampilan berwawancara konseling. Keterampilan ini harus berakar dalam kondisi-kondisi internal yang harus dipenuhi oleh konselor; kondisi-kondisi itu oleh Carkhuff disebut dimensi-dimensi pada konselor. Penelitian terhadap dimensi itu ternyata menunjukkan suatu garis perkembangan, mulai dari pengertian terhadap pengalaman pikiran dan perasaan konseli (emphatic understanding), yang dilengkapi dengan penerimaan tak bersyarat (unconditional positive regard) dan keikhlasan (genuiness), sebagaimana tampak dalam karya-karya tulis Carl Rogers.
Tiga dimensi itu dikembangkan lebih lanjut sebagai ketujuh kondisi yang memperlancar proses komunikasi antarpribadi (facilitative conditions), yaitu pengertian yang tepat terhadap konseli (accurate emphathy); penghargaan (respect), kejujuran dan keterbukaan (genuineness). kemampuan berbicara secara konkret dan spesifik (concreteness. specificity). kemampuan dan kerelaan untuk membuka diri sejauh menyangkut kepentingan konseli (selfdisc1osure), kemampuan untuk menghadapkan konseli dengan dirinya sendiri (confrontation), dan kemampuan menanggapi keadaan konseli dengan segera (immediacy).
Semua dimensi itu kemudian dikelompokkan sebagai dimensi mendengarkan (responsive dimension) untuk membantu konseli memahami diri dan situasi kehidupannya. yang meliputi empati, penghargaan dan kemampuan berbicara secara spesifik; dan dimensi memprakarsai (initiative dimension) untuk membantu konseli menyusun suatu rencana kerja dan bertindak sesuai dengan rencana itu, yang meliputi keikhlasan, kemampuan membuka diri sejauh menyangkut kepentingan konseli, kemampuan menghadapkan konseli pada dirinya sendiri, kemampuan menanggapi dengan segera dan berbicara secara konkret. Lalu dua dimensi mendengarkan dan memprakarsai itu oleh Carkhuff diwujudkan dan dijabarkan menjadi keterampilan-keterampilan tertentu (skills) yang digunakan oleh konselor untuk membantu konseli melewati fase-fase pokok dalam konseling. Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan untuk menaruh perhatian dan menciptakan suasana berkomunikasi antarpribadi (attending skills); keterampilan memperoleh pemahaman yang tepat mengenai konseli dan mengkomunikasikan pemahaman itu secara memadai (responding skills); keterampilan membantu konseli untuk lebih memahami diri sendiri dan situasi kehidupannya, dengan melihat semua implikasi dari situasi yang menyangkut dirinya secara pribadi (personalizing skills): keterampilan membantu konseli menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan mengambil urutan langkah konkret untuk mencapai semua tujuan itu (initiating skills).
Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi, pemahaman diri, dan bertindak, didahului oleh suatu fase petsiapan, di mana konseli melibatkan diri dalam proses konseling (involvement).Sistematika konseling sebagaimana digambarkan oleh Carkhuff nampak dalam bagan di bawah. ini, yang sekaligus menjadi gambaran model konseling menurut Robert Carkhuff.

0 komentar:

Posting Komentar