teori konseling klinikal

Sabtu, 27 Maret 2010

pertemuan ke 16
Teori Konseling Klinikal *)
Diasuh oleh; S. Miharja, S.Ag., M.Pd.

Standar kompetensi
Mahasiswa dapat mengetahui, membedakan, dan menerapkan teori konseling klinikal dalam kegiatan bimbingan dan konseling.

Kompetensi dasar
a. Mampu mengutarakan tokoh kunci konseling klinikal,
b. Menjabarkan mengani pandangan tentang hakekat manusia, asumsi dasar konseling, tujuan konseling, langkah-langkah konseling, teknik konseling, dan alat pengumpulan data konseling klinikal

A. PENGANTAR
Konseling klinikal sudah dirintis oleh Donald G Paterson, 1920. Perhatian penelitiannya pada perbedaan individu dan pengembangan tes. Walaupun demikian, istilah konseling klinikal sering dikaitkan dengan nama Edmund Griffith Wiliamson yang popular dengan konseling direktifnya. Tujuan utama konseling direktif Wiliamson adalah membantu klien mengganti tingkah laku emosional dan impulsif dengan tingkah laku yang rasional. Lepasnya tegangan-tegangan / tension dan diperolehnya insight dipandang sebagai suatu hal yang urgen.
Konseling klinikal berkembang diawali dari konsep konseling jabatan / vocational counseling, yang menitikberatkan pada kesesuaian pendidikan dengan jabatan / vocational. Konseling jabatan pertama-tama dirintis dan diperkenalkan oleh Frank Parson, 1909 yang menekankan tiga aspek penting diantaranya, ialah: (1) Pemahaman yang jelas tentang potensi-potensi yang dimiliki individu termasuk didalamnya ialah tentang bakat, minat, kecakapan, kekuatan-kekuata maupun kelemahan-kelemahannya, (2) Pengetahuan tentang syarat, kondisi, kesempatan, dan tentang prospek dari berbagai jenis pekerjaan atau jabatan atau karier, (3) Penyesuaian yang tepat antara kedua aspek tersebut.
Tonggak yang telah dipancangkan oleh Frank Parson ini adalah merupakan sebagai suatu landasan ilmiah dari studi Paterson dalam rangka mengembangkan alat ukur objektif yang mempunyai tujuan mengetahui kemampuan dan kecakapan yang dimiliki oleh individu. Oleh karena maksud dari konsep dasar ini adalah mengembangkan pendekatan empiris dalam konseling dengan cara menyajikan hubungan nyata antara karakteristik klien dengan jenis pekerjaan dan pendidikan. Maka dari itu dalam konseling klinikal digunakan alat ukur objektif, apakah itu berupa tes maupun non-tes sebagai alat utama.
Istilah klinikal, apakah dalam arti diagnosis klinikal maupun konseling klinikal adalah merupakan kerangka acuan kerja, yang mendasarkan pada konsep bahwa konselor bukanlah semata-mata penata dan pelaksana tes, tetapi dia juga bekerja menghadapi individu sebagai pribadi seutuhnya. Jadi ini berarti bahwa konseling klinikal didasari pada pandangan tertentu tentang hakikat manusia.

B. PANDANGAN TENTANG HAKEKAT MANUSIA
Secara terperinci pandangan tentang hakikat manusia dalam konseling klinikal adalah diuraikan sebagai berikut:
a. Pada hakikatnya manusia berusaha untuk menjadikan dirinya sendiri. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan dirinya sendiri dan kemajuan umat manusia. Manusia dilahirkan memiliki potensi positif dan juga memiliki potensi yang negatif. Sedangkan tujuan hidup manusia adalah untuk mencari kebaikan dan menghindari keburukan. Ini berarti bahwa seorang konselor harus selalu bersikap optimis, bahwa melalui pendidikan, manusia itu dapat berkembang dan menemukan dirinya sendiri, maupun untuk belajar memecahkan masalah yang sedang dihadapinya terutama apabila dia belajar menggunakan kecakapan-kecakapannya.
b. Manusia secara potensial memiliki kecenderungan yang negatif, dalam artian tidak bisa mengendalikan diri, karena itu dia tidak memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara optimal, dia memerlukan orang lain.
c. Hakikat dari kehidupan yang baik dan kesempurnaan pribadi adalah dengan cara mengembangkan diri yang dilandasi penuh rasa kasin sayang.
d. Manusia harus berusaha untuk menemukan dirinya sendiri, dalam artian mencapai kehidupan yang baik.
e. Manusia haruslah berusaha untuk menciptakan hubungan yang baik antara sirinya sendiri dengan lingkungannya.
f. Kepribadian seseorang merupakan suatu bentuk kesatuan dari berbagai potensi yang melahirkan tingkah laku yang teratur dan terarah.
g. Manusia memiliki kepribadian yang unik, artinya mempunyai kepribadian yang berbeda antara seseorang dengan orang lainnya.
h. Manusia mencapai kesempurnaan diri yang bersumber pada perbedaan pola kecakapan dan potensi yang dimilikinya.

C. ASUMSI DASAR KONSELING KLINIKAL
Proses konseling itu berlangsung dilandasi oleh beberapa asumsi dasar tentang pola hubungan antara konselor dengan klien dan bagaimana keterlibatan serta peranan mereka didalamnya. Hubungan konseling klinikal antara lain dilandasi oleh beberapa asumsi dasar sebagai berikut di bawah ini (a) Walaupun konseling itu bertujuan untuk membantu individu / klien mencapai tingkat perkembangan yang optimal, tetapi kehidupan sosial individu dengan segala hambatan dan kekurangannya dalam memcapai tujuan tidaklah diabaikan. (b) Konseling tidak hanya menghargai keunikan atau kekhasan individu, tetapi juga mengakui akan adanya ketergantungan individu yang satu terhadap individu yang lainnya. Karena individu itu akan bermakna apabila ada kaitannya dengan individu lainnya. (c) Konseling menganggap kesukarelaan dari individu untuk menerima konseling adalah penting. Tetapi keterbatasan untuk menerima konseling secara sukarela pada individu tetap dan selalu ada, karena konselor memilikitanggung jawab untuk mendorong klien yang memerlukan dan bahkan yang dianggap perlu memperoleh konseling. (d) Konseling itu diperlukan oleh klien jika klien menghadapi suatu masalah yang tidak dapat diatasi atau tidak dipecahkan sendiri. Jadi, konseling klinikal ini bersipat remedial dan juga menangani klien yang mengalami keterlambatan dalam perkembangannya. (e) Hubungan konseling adalah bersipat netral; terhadap morma dan nilai-nilai.Artinya konselor tidak boleh mengambil sikap tertentu terhadap norma dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Walaupun demikian, hubungan konseling tidaklah terlepas dari pengaruh pola berpikir konselor, karena ia mempunyai tujuan tertentu. (f) Tujuan utama dari konseling ialah membantu individu untuk dapat memahami dirinya secara rasional.Ini berarti bahwa tujuan konseling adalah untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh individu, dengan melihat secara objektif berbagai kesulitan yang berasal dari lingkungan dalam kaitannya dengan kesulitan yang dihadapi oleh individu itu sendiri.

D. TUJUAN KONSELING KLINIKAL
Tujuan dari pelaksanaan pelayanan konseling klinikal dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Klien yang perlu mendapat bantuan adalah siswa yang menghadapi masalah yang tidak dapat memecahkan masalahnya sendiri. Untuk dapat mrmbantu siswa dalam memecahkan masalahnya, konselor harus memahami dengan seksama seluk beluk dan liku-liku masalah yang dihadapi oleh siswa sebagai suatu dasar bagi konselor dalam menentykan teknik atau pendekatan yang tepat. (b) Karena pada dasarnya konseling klinikal adalah merupakan suatu proses personalisasi dan individualisasi, maka tujuan dari konseling adalah untuk membantu siswa mempelajari, memahami dan menghayati dirinya sendiri serta lingkungannya (proses individuasi), serta melancarkan terjadinya proses pengembangan diri, pemahaman diri, perwujudan ciata-cita, dan penemuan identitas diri (proses personalisasi). (c) Tujuan lain adalah agar individu mampu belajar melihat dirinya sendiri sebagaimana adanya dan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya secara optimal. Untuk mencapai tujuan ini, pola hubungan yang penuh dengan akeakraban, bersahabat, perhatian, dan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain perlu ditanamkan dalam proses hubungan konseling.

E. LANGKAH-LANGKAH KONSELING KLINIKAL
Pertama, Analisis. Langkah analisis adalah merupakan langkah untuk memahami kehidupan individu, yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Kegiatan pengumpulan data dimaksud adalah berkenaan dengan bakat, minat, motof-motif, kehidupan emosional serta karakteristik yang dapat menghambat atau mendukung penyesuaian diri dari individu.
Alat-alat yang bisa dipakai untuk mengumpulkan data dalam rangka langkah analisis ini, diantaranya: Kartu pribadi / commulative record, Nilai rapor, Hasil pemeriksaan psikologis, Catatan anekdot, Biografi, Pedoman wawancara, dan Pedoman observasi.
Sedangkankan sumber-sumber data yang bisa dipakai dalam mengumpulkan data dalam rangka analisis, di antaranya: Siswa bersangkutan, Teman siswa, Guru mata pelajaran, Wali kelas, Kepala sekolah, Orang tua / wali siswa, Pegawai sekolah, Petugas bimbingan dan konseling, Buku rapor, Daftar absen siswa, Catatan anekdot, Observasi langsung, Hasil angket, dan lain-lain.
Kedua, Sintesis. Sintesis adalah langkah menghubungkan dan merangkum data. Ini berarti bahwa dalam langkah sintesis konselor mengorganisasikan dan merangkum data sehingga tampak dengan jelas gejala atau keluhan-keluhan siswa, serta hal-hal yang melatar belakangi masalah siswa. Rangkuman data haruslah dibuat berdasarkan data yang diperoleh dalam langkah analisis.
Ketiga, Diagnosis. Diagnosis adalah langkah menemukan masalahnya atau mengidentifikasi masalah. Langkah ini meliputi proses interpretasi data dalam kaitannya dengan gejala-gejala masalah, kekuatan, dan kelemahan siswa. Dalam proses penafsiran data dalam kaitannya dengan perkiraan penyeba masalah konselor / pembimbing harus menentukan penyebab masalah yang paling mendekati kebenaran atau menghubungkan sebab-akibat yang paling logis dan rasional. Inti masalah yang diidentifikasi oleh konselor atau pembimbing dalam langkah diagnosis mungkin saja lebih dari satu.
Keempat, Prognosis. Prognosis yaitu langkah meramalkan akibat yang mungkin timbul dari masalah itu dan menunjukan perbuatan-perbuatan yang dapat dipilih.Atau dengan kata lain prognosis adalah suatu langkah mengenai alternatif bantuan yang dapat atau mungkin diberikan kepada siswa sesui dengan masalah yang dihadapi sebagaimana yang ditemukan dalam rangka diagnosis.
Kelima, Konseling atau treatment. Langkah ini adalah merupakan pemeliharaan yang berupa inti pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai bentuk usaha, diantaranya: menciptakan hubungan yang baik antara konselor dan klien, menafsirkan data, memberikan berbagai imformasi, serta merencanakan berbagai bentuk kegiatan bersama klien.
Konselor harus selalu ingat bahwa memberikan bantuan melalui hubungan konseling tidaklah selalu terpaku dengan sala satu teknik atau pendekatan konseling, karena pada kenyataannya tidaklah ada sala satu teknik atau pendekatan yang baku berlaku bagi semua klien. Setiap teknik atau pendekatan mungkin hanya dapat diterapkan kepada klien / siswa yang menghadapi masalah khusus.
Hal-hal yang mungkin bisa dilakukan oleh konselor untuk memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalahnya melalui konseling klinikal, di antaranya: (a) Memperkuat komformitas, (b) Mengubah lingkungan, (c) memilih lingkungan yang memadai, (d) Mempelajari keterampilan yang diperlukan, (e) Mengubah sikap.

F. TEKNIK KONSELING
Sedangkan pemberian bantuan melalui konseling klinikal menurut E.G. Williamson dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik konseling, sebagai berikut:
Pertama, Pembentukan rapport. Komunikasi antara konselor dengan klien akan lebih mudah apabila sudah terbentuk hubungan baik / rapport. Karena rapport itu merupakan dasar untuk untuk membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dengan klien. Tanpa rapport yang baik tidak mungkin dilakukan kerja sama antara konselor dan klien. Dalam membentuk rapportyang baik konselor menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa klien. Klien harus dibiarkan bicara dengan caranya sendiri dan pada waktu bersamaan konselor memisahkan semua informasi yang relevan dengan diagnosis. Dalam membentuk rapport ini klien mungkin membutuhkan suatu dukungan / support atau simpati-simpati tertentu yang pada dasarnya untuk memastikan bahwa konselor ada bersamanya, menerima dan mengerti dirinya atau dengan kata lain konselor atau pembimbing bersikap baik, menerima dan memperlakukan klien sebagaimana adanya atau sebagai seorang pribadi.
Kedua, Membantu klien meningkatkan pemahaman diri, menerima dan memperlakukan klien sebagaimana adanya atau sebagai seorang pribadi.
Ketiga, advice. Memberikan advice atau marencanakan program apa yang akan dilakukan / program kegiatan. Disini konselor harus bertitik tolak dari tujuan, maupun pandangan dan sikap klien yang kemudian dikaitkan dengan data yang diperoleh dari hasil diagnosis terdahulu. Ada tiga metode yang dapat dipergunakan konselor didalam memberikan nasihat kepada klien diantaranya: (a) Secara langsung, konselor secara langsung dan terbuka mengemukakan pendapatnya pada klien. (b) Secara tak langsung, konselor mengatakan pendapatnya secara tidak langsung yang sekaligus dapat mempengaruhi klien untuk melihat sendiri hasil dari berbagai kemungkinan tindakan yang mungkin dipilihnya. (c) Menerangkan, metode menerangkan ini adalah yang paling baik dan memuaskan. Konselor secara hati-hati dan pelan menerangkan hasil diagnosis dan menunjukkan berbagai kemungkinan untuk mengembangkan potensi klien.
Keempat, Melaksanakan rencana. Sesuai dengan apa yang telah dipilih dan telah dipitiskan oleh klien, konselor membantu klien dalam melaksanakan keputusan atau rencana kegiatan yang telah dipilih, misalnya: membantu program belajar (program harian, mingguan, bulanan, dan semesteran.
Kelima, Mereferal ke ahli lain. Apabila ternyata untuk melaksanakan rencana atau keputusan itu konselor tidak bisa (tidak memiliki kemampuanatau diluar batas kemampuan dan wewenangnya melakukan sendiri, konselor dapat mereferaal (merujuk klien tersebut kepada ahli lain yang berwenang, memiliki kemampuan sesuai dengan yang dihadapi klien.
Keenam, Follow-up. Langkah follow-up atau tindak lanjut adalah merupakan suatu langkah penentuan efektif tidaknya suatu usaha konseling yang telah dilaksanakannya. Langkah ini merupakan langkah membantu klien melakukan program kegiatan yang dikehendaki atau membantu klien kembali memecahkan masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah semula.


G. ALAT PENGUMPULAN DATA KONSELING KLINIKAL
1. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja, melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala-gajala yang diselidiki. Observasi itu sendiri mempunyai pengertian yang sempit dan juga pengertian yang luas. Dalam arti yang sempit observasi berarti mengamati secara langsung terhadap gejala yang ingin diselidiki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa observasi adalah proses mengamati tingkah lakusiswa dalam suatu situasi tertentu.Situasi yang dimaksud bisa situasi yang sebenarnya (alamiah, dan bisa situasi yang sengaja diciptakan (eksperimental. Alat pengumpul data yang bisa di gunakan dalam melakukan observasi adalah dengan menggunakan catatan anekdot atau lebih popular disebut blanko observasi. Blanko observasi dapat digunakan oleh pembimbing sebagai alat bantu dalam mencatat dan mendeskripsikan tingkah laku siswa yang sedang diamati. Hal yang perlu diperhatikan dalam observasi oleh pembimbing ialah mencatat hanya apa yang nyata-nyata terjadi, dan tidak mencampuradukkan dengan berbagai komentar atau interpretasinya terhadap tingkah laku siswa yang diamatinya.
Fungsi observasi dalam konseling untuk memperoleh informasi melalui interviu dengan klien itu sendiri, atau juga berdasarkan imformasi yang diperoleh dari orang lain yang secara langsung mengenai diri klien. Imformasi-imformasi yang diungkapkan itu tidak saja berupa apa yang dikatakannya dan diperbuat, tetapi juga dari cara bagaimana mengungkapkannya serta melakukannya. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa fungsi dari observasi dalam kaitannya dengan konseling disamping untuk memperoleh gambaran dan pengetahuan serta pemahaman mengenai diri klien, juga berfungsi untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui interviu (wawancara.
Para ahli sering mengelompokan jenis-jenis observasi sesuai dengan tujuan dan lapanganya. Teknik observasi atas tiga macam yaitu: Participant observation, systematic observation, and observation in standardized experimental or test situation. Observasi partisipasi pada umumnya dipergunakan untuk penelitian yang bersifat eksplorati. Suatu observasi disebut observasi partisipasi bila observer turut mengambil bagian dalam observasi. Observasi sistematik sering pula diberi nama observasi berkerangka. Sebelum mengadakan observasi terlebih dahulu dibuat kerangka tentang berbagai faktor dan ciri-ciri yang akan diobservasi. Observasi eksperimental ialah suatu observasi yang memiliki ciri-ciri, yaitu:1. situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observer tidak mengetahui maksud diadakannya observasi, 2. dibuat variasi situasi untuk menimbulkan tingkah laku tertentu, 3. observasi dihadapkan pada situasi yang seragam, 4. situasi ditimbulkan atau dibuat sengaja, 5. faktor-faktor yang tidak diinginkan pengaruhnya dikontrol secermat mungkin, dan 6. segala aksi-reaksi dari observasi dicatat secara teliti dan cermat.
Alat pencatat observasi acap disebut pedoman observasi, perlu dipersiapkan sebelumnya dengan sebaik-baiknya. Pedoman observasi dimaksud, banyak sekali mampaatnya dalam membantu konselor memcatat hal-hal yang diobservasi. Beberapa alat pembantu observasi diantaranya: (1) Catatan anekdot. Catatan anekdot ialah menggambarkan prilaku seseorang atau sekelompok orang dalam situasi seperti adanya. Gambaran ini diambil secara sistematis dan diharapkan tidak bercampur baur dengan berbagai macam interpretasi, walaupun dalam kenyataannya biasanya sering bercampur antara kejadian dan interpretasi. Ada tiga tipe catatan anekdot, diantaranya sebagai berikut: (1) Catatan anekdot tipe deskriptif Ialah suatu catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku yang terjadi tanpa dibarengi oleh komentar atau interpretasi konselor. (2) Catatan anekdot tipe interpretative islah catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku nyata terjadi tanpa disertai interpretasi konselor terhadap tingkah laku tersebut. (3) Catatan anekdot tipe evaluative ialah catatan anekdot yang mendeskripsikan tingkah laku dan dapat dipergunakan untuk mengadakan avaluasi terhadap perkembangan tingkah laku klien yang bersangkutan.
Daftar cek ialah suatu daftar yang berisi asfek-asfek yang mungkin terdapat dalam suatu situasi, tingkah laku maupun kegiatan individu yang sedang menjadi fokus perhatian atau yang sedang diamati. Jadi, yang dimaksud daftar cek adalah merupakan suatu daftar yang mengandung atau mencakup faktor-faktor yang ingin diselidiki atau diamati. Fungsi daftar cek dalam rangka observasi yang berkaitan dengan proses hubungan konseling adalah sebagai alat pencatat hasil observasi situasi, tingkah laku, ataupun kegiatan individu yang diamati. Daftar cek bermanfaat untuk mendapatkan faktor-faktor yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Hasil dari observasi dapat segera dicatat dalam daftar cek yang telah disediakan sebelumnya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa dengan mempergunakan daftar cek konselor hanya tinggal menandai fakto-faktor tingkah laku yang cocok atau tidak cocok dengan daftar cek itu. Karakteristik daftar cek yang baik. Karakteristik daftar cek yang baik ialah suatu daftar cek yang dapat berfungsi sebagai suatu alat pencatat yang baik dari hasil observasi, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut: Direncanakan secara sistematis; Sesuai dengan yang ingin dicapai atau yang dirumuskan terlebih dahulu; Berupa format yang episien dan efektif; Dapat diperiksa validitas, Reabilitas, dan ketepatannya; Hasil pengecekan diolah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai; Bersifat kuantitatif.

2. Teknik Komunikasi
Komunikasi adalah merupakan kegiatan manusia berhubungan satu sama lain yang demikian otomatis. Sehingga sering terlupakan bahwa keterampilan berkomunikasi adalah hasil belajar manusia. Keinginan untuk berhubungan satu sama lain adalah disebabkan pada hakikatnya adalah naluri manusia itu selalu ingin hidup berkawan atau berkelompok. Dengan adanya naluri pada manusia itu, maka komunikasi dapat dikatakan sebagai bagian yang hakiki dari kehidupan manusia bermasyarakat. Istilah komunikasi bersumber dari bahasa latin yaitu communicare yang berarti mamberitahukan, berpartisipasi, menjadikan milik bersama. Apabila dirumuskan secara luas, maka komunikasi mengandung pengertian-pengertian, memberitahu dan menyebarkan informasi, berita, pesan, pengetahuan, pikiran-pikiran, nilai-nilai, dengan tujuan untuk manggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama. Berkaitan dengan pengumpulan data dalam konseling, maka salah satu prinsip dalam teknik komunikasi ialah konselor mengkomunikasikan maksud pengumpulan data kepada klien. Mengkomunikasikan hal semacam ini tidak dapat dilakukan dalam observasi.
Alat-alat pengumpulan data yang dapat digunakan dalam teknik komunikasi bisa berupa testing maupun non-testing. Alat pengumpulan data yang bersipat testing itu didalam pelaksanaannya terutama tes psikologis memerlukan tenaga professional dalam bidangnya sehingga untuk ini diperlukan tenaga ahli.
Jenis-jenis pengumpulan data non-testing antara lain wawancara, daftar cek masalah, angket, dan sosiometri. (1) Wawancara. Ialah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara Tanya jawab antara interviewer (penanya dengan interviewee (responden = pnjawab. Atau dengan kata lain dalam wawancara terhadap unsur-unsur sebagai berikut: a. pertemuan tatap muka (face to face, b. cara yang dipergunakan ialah cara lisan, dan c. pertemuan tatap muka itu mempunyai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan wawancara yang baik, kiranya perlu disusun suatu pedoman wawancara yang rinci dan sistematis. (2) Daftar cek masalah. Ialah seperangkat pertanyaan yang menggambarkan jenis-jenis masalah yang mungkin dihadapi klien. Atau dengan kata lain daftar cek masalah ialah daftar kemungkinan masalah yang disusun untuk merangsang atau memancing pengungkapan masalah yang pernah dan sedang dialami, atau masalah yang dirasakan, dan yang tidak dirasakan oleh seseorang. (3) Angket atau kuesioner. Ialah seperangkat pertanyaan pada responden, yang digunakan untuk mengubah berbagai keterangan yang langsung diberikan oleh responden menjadi data, serta dapat pula digunakan untuk mengungkapkan pengalaman yang telah dialami saat ini. (4) Sosiometri. Ialah alat yang digunakan untuk mengungkap hubungan sosial siswa dalam kelompoknya, dapat meneliti kesukaran seseorang terhadap teman sekelompoknya dalam kegiatan belajar, bermain, bekerja dll.
Jenis pengumpul data testing antara lain THB, TPA, TKK, TM, TKV, dan tes kepribadian. (1) Tes hasil belajar. Mengukur apa yang telah dipelajari diberbagai bidang pelajaran. (2) Tes kemampuan intelektual. Mengukur taraf kemampuan berpikir, terutama berkaitan dengan potensi untuk mencapai taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah. (3) Tes kemampuan khusus. Mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam bidang studi tertentu, program pendidikan vokasional tertentu atau bidang pekerjaan tertentu. (4) Tes minat. Mengukur kegiatan macam apa paling disukai seseorang. (5) Tes perkembangan vokasional. Mengukur taraf perkembangan orang muda dalam hal kesadaran memangku suatu pekerjaan atau jabatan. (6) Tes kepribadian. Mengukur ciri-ciri kepribadian yang bukan bersifat kogniitif, seperti karakter, temperamen, emosi, kesehatan mental, relasi sosial, penyesuaian diri, dll.

3. Teknik studi dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber data. Cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen sebagai sumber data berkaitan dengan proses hubungan konseling klinikal dapat berupa (a) buku prestasi (rapor), (b) buku induk (legger), (c) catatan kesehatan, dan (d) rekaman kegiatan.

MENIMBANG IMPLEMENTASI Kurikulum UIN

MENIMBANG IMPLEMENTASI “WAHYU MEMANDU ILMU”
(Realitas dan Tantangan ke Arah Kompetisi UIN “SGD” Bandung)
Oleh : S. Miharja, S.Ag, M.Pd.

A. PENGANTAR
Pendidikan sampai kapanpun akan terus menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan umat manusia, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk pembelajar. Melalui pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan, manusia mampu mentransformasi diri sampai pada tingkat derajat yang paling mulia dan luhur sebagai ciptaan Tuhan. Inilah panggilan setiap penyelenggara pendidikan dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Akan tetapi di era globalisasi tidak jarang proses transformasi melalui pendidikan formal sekolah seperti sekarang ini tidak berjalan sesuai dengan fitrahnya. Permasalahan yang dihadapi penyelenggara pendidikan tidak lepas dari tarik menarik tiga poros kekuatan, yakni Negara, masyarakat peminat studi, dan masyarakat umum. Masyarakat cenderung dikendalikan pengaruh negatif globalisasi, konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Di tengah-tengah fenomena ini pendidikan dituntut untuk membangun pendidikan yang berkualitas, moralis dan intelektualis. Rumusan UNESCO menuju upaya mencapai manusia utuh, terdapat empat pilar pendidikan yakni leaning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be (Conny Semiawan, 1999).
Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk mendekati 200 juta, yang mana jumlah muslimnya mayoritas mempunyai ekstra tanggung jawab pada para pemimpin dan pemikir muslim. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan bagi ummat muslim harus terus direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Hallahan dkk, 1991). Jika UIN saja memiliki 15 ribu mahasiswa, maka setidaknya terdapat 300 orang dengan kemampuan unggul umat tinggi. Jumlah ini cukup untuk mewarnai kebutuhan pimpinan dan ilmuan dari tingkat regional, apalagi nasional dan propinsi.
Dilihat dari sisi SDM peminat studi, UIN memiliki potensi tinggi untuk mencetak generasi unggul. Keterlambatan pertumbuhan pembangunan, kurangnya kreativitas dan inovasi teknologi aplikatif, merosotnya moralitas sesunguhnya optimis kita bangun SDM nya di UIN. Rumpun ilmu yang dikembangkan di UIN tidak lagi pada kelompok agama, namun sudah terpadu dengan rumpun umum bidang sains dan teknologi.
Berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2005, status lAIN Sunan Gunung Djati Bandung berubah menjadi UIN. Perubahan ini berimplikasi kepada penyempurnaan berbagai hal termasuk kurikulum dan fasilitasnya. Berkenaan dengan penyempurnaan kurikulum ini antara realitas, harapan, dan tantangan dapat kita utarakan guna kepentingan penyempurnaan itu sendiri. Perubahan status IAIN menjadi UIN tentu tidak berharap sekedar perubahan penyebutan, di dalamnya mengandung rangkaian argumentasi, tujuan, isi, metode dan keunggulan.
Jargon pandangan keilmuan yang diusung kini setelah menjadi UIN adalah “Wahyu memandu ilmu”, panduan keilmuan UIN yang mencoba mengintegrasikan dan keluar dari dikotomi antara agama dan sains. Argumentasi religius, real, dan historis telah diketengahkan di awal pendirian UIN oleh para pembesar kita. Wahyu memandu ilmu diletakkan sebagai saling koreksi dan saling mengisi antara agama dan iptek, keduanya dapat saling terpadu (Nanat, 2008) [1]. Pengukuhan atas rumusan-rumusan tersebut dinyatakan dalam rangkaian kurikulum UIN.

_______________________________________
[1] Nanat Fatah Natsir sebagai tokoh sentral beridirnya UIN “SGD” Bandung merumuskan pandangan kaitan antara wahyu dan ilmu. Ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama itu sendiri dari bahasa stagnasi dan pengaratan. Disamping itu temuan-temuan iptek pun dapat memberi peluang bagi agama untuk semakin mewujudkan konsep-konsepnya secara nyata.
Proses perintegrasian ilmu, membawa harapan baru pada pendidikan Islam Indonesia. Sejarah Islam pada permulaan abad sembilan telah membuktikan pemaduan ilmu umum, dalam hal ini filsafat terhadap agama Islam. Pemaduan ini bermula ketika penerjermahan teks-teks filsafat dari bahasa Yunani kepada bahasa Arab. Proses penerjemahan ini berhasil karena dukungan khalifah al Ma'mun (813-833) yang mendirikan Bait al-Hikmah. Proses penerjemahan ini telah melahirkan para filosof yang mendunia dan membawa pada keemasan peradaban Islam. Para filosof seperti al Kindi, ibn Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd dikenal kebesarannya baik di dunia Islam maupun di Barat. Nama mereka makin banyak dikaji di dunia intelektual Barat seiring dengan berdirinya pusat-pusat studi Islam di Barat Bahkan boleh dikatakan, semenjak Barat menguasai peradaban banyak manuscript asli mulai dari teologi, kedokteran, astronomi dan lain-lainnya di perpustakaan Barat di banding di negara Timur, seperti Indonesia dan Malaysia yang notabene penduduk mayoritasnya adalah Muslim.
Sejarah keemasan Islam yang inspiratif pada para pemikiran muslim, telah memberikan semangat akan unggulnya system penyelenggaran pendidikan di masanya. Tujuan pendidikan pada masa keemasan Islam itu bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter dan elaborasi dan inovasi puncak pencapaian ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan mereka berupa tujuan akhir dan antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan akhirnya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa.
Di tengah euphoria berubahnya IAIN menjadi UIN itu ada banyak pertanyaan yang bersifat realitas dan implementatif dari para alumni sebagai produk. Mereka merasakan jasa yang besar atas segala upaya para pemangku institusi IAIN maupun UIN hingga para alumni tersebut bisa berkarya di tengah masyarakat. Namun demikian mereka pun melontarkan sejumlah pertanyaan sebagai harapan perubahan ke UIN yang lebih kompetitif. Tentunya mereka ingin harapannya itu menjadi tantangan perwujudan bagi para pemangku kebijakan dan serta pelaksananya.
Beberapa harapan para alumni tersebut antara lain mengenai penguat kurikulum dasar, integritas pengamalan keagamaan, dan korelasi dengan pasar kerja [2]. Beberapa alumni merasakan perlunya penguatan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Pada masa IAIN jumlah sks bahasa Arab ini mencapai 8 sks, dan bahasa Inggris 6 sks yang disajikan masing-masing 2 sks per semester. Setelah menjadi UIN jumlah sks kedua bahasa internasional ini pada prodi agama bertambah mencapai 20 sks dengan penambahan wacana bahasa Inggris dan wacana bahasa Arab. Meskipun jumlah sks-nya cukup banyak, namun dirasakan mereka belum memberikan hasil yang optimal. Pada banyak kesempatan karir yang dihadapi alumni kita ada yang kecewa tidak bisa memenuhinya, karena rendahnya kemampuan bahasa internasional ini, Dalam suatu kompetisi karir, setelah disiapkan berbulan-bulan, ada alumni kita yang terpaksa gagal memenangkan kesempatan karir untuk menjadi biro kerohanian pada perusahaan kapal pesiar internasional, karena keterbatasan kemampuan bahasa internasional ini.
Harapan alumni berikutnya mengenai rendahnya penguasaan mereka dalam hafalan ayat Al Qur’an dan hadits, termasuk hafalan ayat dan hadits yang relevan dengan program studinya dan praktek ibadah. Ada alumni kita yang terpilih menjadi ketua ormas Islam di daerah, namun tidak berani menjadi imam, khatib apalagi menjadi penceramah agama hanya karena terbatasnya hafalan dan fasihnya bacaan ayat dan hadits. Mereka merasakan rasa rendah diri. Dia dipandang masyarakat memiliki kesolehan spiritual yang bagus, juga sukses menjalankan bisnis, namun integritas kepemimpinan religiusnya merasa terhalangi. Dalam kasus ini, alumni kita seperti under dog dari alumni pesantren.


____________________________
[2] Pertanyaan ini diajukan oleh beberapa alumni kita yang kini mereka menjadi kepala desa, ketua ormas Islam di daerah, dan guru BP/BK honorer.
Pada banyak kasus, alumni kita tidak sedikit yang kasab dan karirnya tidak berhubungan dengan program studi yang menjadi kompetensinya. Juga ada alumni yang memiliki prodi yang layak pasar kerja namun terjegal oleh kebijakan dikotomis pemda. Misalnya ditemukan ada alumni Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang sebenarnya dibutuhkan di sekolah sebagai guru BP/BK, namun tidak bisa diterima sebagai guru pegawai negeri karena dipandang tidak memenuhi syarat adminsitratif. Kasus serupa pernah dialami alumni PGMI. Mereka tidak bisa mememuhi kesempatan karir sebagai guru SD, namun pada tahun berikutnya diperbolehkan setelah ada protes dari alumni sendiri dan berbagai pihak terkait. Kerjasama para pemangku prodi dengan para pemangku kebijakan di pasar kerja perlu diperluas.
Fakta dari temuan-temuan tersebut dalam disiplin ilmu pendidikan menunjukkan belum terpadunya domain kognitif, afektif dan psikomotorik produk perguruan tinggi kita. Mereka mempunyai kemauan (afektif) untuk berkompetisi di dunia karir internasional, namun mereka terhalang oleh kemampuan akademis (kognitif dan psikomorik). Di antara mereka juga ada yang mempunyai wawasan simultan (kognitif) dalam kemasyarakatan, namun rendah dalam keterampilan dan pengalaman praktis melakukan amaliah ritual (psikomotorik).
Penggalan-penggalan masalah dan harapan alumni ini memang tidak bisa digeneralisasi, bukan pula untuk menyederhanakan permasalahan dan penetapan target keunggulan. Setidaknya bisa menggiring harapan itu menjadi energi awal pada penambahan alternatif implementasi kurikulum kita. Menyadari sepenuhnya, diperlukan suatu keterpautan antara pandangan idealitas dengan tuntutan realitas mengenai system akademik kita. Sikap responsif bahkan proaktif yang telah berjalan selama ini perlu terus dan terus dikuatkan. Bagaimana idealitas dan kebijakan kurikulum dan system akademik kita, lalu bagaimana pula alternatif implementasinya akan menjadi terusan dari paparan ini.




B. BAGAIMANA SYSTEM KURIKULUM ITU?
Pilar-pilar yang mendukung keberhasilan pendidikan dalam Islam setidaknya terdapat tiga hal dalam system kurikulumnya. Ketiganya mendukung keberhasilan pendidikan, di antaranya Mau’idzoh Mustamiroh (pelajaran yang berkelanjutan), Bi’ah shalihah (lingkungan yang kondusif), dan Uswatun hasanah (teladan yang baik) “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab 33:21). Kurikulumnya sendiri bersifat manhajussalim (kurikulum yang menyelamatkan), di dalamnya menuju bentangan pikiran selamat dan sejahtera di dunia hingga akhirat.
Sifat kurikulum adalah dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar. Karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan, maka langkah awal dalam kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang kita hadapi, termasuk situasi lingkungan belajar dalam artian menyeluruh, situasi peserta didik, dan para pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Para ahli kurikulum umumnya berpendapat bahwa kurikulum hanyalah alat atau instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang ditetapkan. Kurikulum bukan sebagai tujuan akhir. Dalam pendidikan, dapat dikatakan bahwa pengajar dan mereka yang belajar berinteraksi di sekitar kurikulum yang dirumuskan untuk mencapai tujuan. Seiring dengan perubahan masyarakat dan nilai-nilai budaya, serta perubahan kondisi dan perkembangan peserta didik, maka kurikulum juga mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh azas, falsafah dan tujuan pendidikan yang dianut. Mengutip pandang Prof. Nasution (1989), mengetengahkan empat faktor, landasan ataupun azas utama yang selalu mengambil peran dalam pengembangan kurikulum, yakni: pertama azas filosofis, termasuk filsafat bangsa, masyarakat dan sekolah serta pengajar; kedua azas sosiologis, menyangkut harapan dan kebutuhan masyarakat (orangtua, kebudayaan, masyarakat, pemerintah, ekonomi); ketiga azas psikologis yang terkait dengan taraf perkembangan fisik, mental, emosional dan spiritual peserta didik; keempat azas epistemologis, berkaitan dengan konsep kita mengenai hakekat ilmu pengetahuan.
Pendidikan tinggi di Indonesia sudah mempunyai semacam kebijakan mengenai perumusan pedoman kurikulum. Program sarjana (S-1) dapat menyusun 80 SKS muatan lokalnya guna memperkaya 80 SKS mata kuliah wajib. Seiring dengan perubahan kebijakan pendidikan tinggi di tanah air, yang menekankan desentralisasi dan memfokuskan pembelajaran kepada pembentukan kompetensi mahasiswa dengan cara atau pendekatan belajar aktif, peraturan itu pun menekankan bahwa kurikulum pendidikan tinggi juga diharapkan mengikuti sistem kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Menurut Jatmiko (2002), dalam sistem KBK, peranan dosen yang utama adalah sebagai fasilitator dan pengelola pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar di kelas dan di luar kelas dalam rangka membentuk dan mengembangkan berbagai kompetensi, yang mencakup: pengetahuan, pemahaman, sikap hidup, keterampilan dan nilai-nilai. Mahasiswa belajar dari dan bersama dosen tidak lagi hanya untuk menguasai materi pengajaran lalu mengingatnya kembali pada waktu ujian di tengah dan akhir semester.
Melalui penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa demi pelayanan pendidikan tinggi agama Islam yang lebih efektif, maka inovasi dan pengembangan kurikulum selalu diperlukan. Istilah inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu yang baru yang membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan pendekatan atau metode baru. Untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang diharapkan lebih berdaya guna, tentu saja kita bertolak dari apa yang ada. Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari sesuatu yang belum ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Karena itulah inovasi dan pengembangan selalu terkait erat. Dalam kesempatan singkat ini saya akan mengemukakan prinsip-prinsip umum dan khusus bagaimana mengembangkan kurikulum dalam lingkup pendidikan tinggi.
Jika pengembangan kurikulum penting untuk dikerjakan, maka pertanyaan sekarang ialah: Bagaimana prinsip kerja kita dalam mengembangkan kurikulum itu? Dalam pandangan Sukmadinata (1997), ada dua prinsip yang dikemukakan di sini, pertama prinsip umum, kedua prinsip khusus. Yang dimaksud dengan prinsip umum ini meliputi prinsip relevansi, flesibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Adapun prinsif khusus yang dimaksud antara lain Tujuan pendidikan dan pembelajaran; Isi (materi) pengajaran; Metode pembelajaran; Pemilihan media dan alat pengajaran; dan Rencana serta kegiatan penilaian.
Prinsif khusus dalam pengembangan kurikulum mengandung rancangan yang relevan dengan kebutuhan peserta didik untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Kurikulum perlu bersifat adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks pembelajaran. Pertimbangan konteks di sini mencakup aspek ruang dan waktu, sosial, budaya dan dinamika masyarakat. Kurikulum juga memungkinkan peserta didik lebih sanggup mengembangkan potensinya kelak dalam rencana belajar berikutnya (prinsip belajar sepanjang hayat). Secara praktis, kurikulum mudah digunakan dengan alat sederhana dan biaya relatif murah, terutama dalam situasi ekonomi dewasa ini. Selain itu, apa yang dipelajari mahasiswa seharusnya mampu membentuk dan meningkatkan kompetensi mereka di dalam kehidupan sehari-hari, untuk menunaikan tugas sebagai warga masyarakat terdidik. Prinsip efektivitas mengacu kepada masalah keberhasilan kurikulum itu sendiri. Mahasiswa diharapkan banyak belajar dari kurikulum yang berlaku untuk memperlengkapi hidupnya. Efektivitas sebuah kurikulum dilihat dari sejauhmana perubahan hidup dialami oleh peserta didik, sebagaimana nampak dalam kehidupan dan pengamalan spiritualnya.
Kedua, prinsip khusus, yang terkait dengan sejumlah komponen dari kurikulum itu sendiri. Kurikulum bukan hanya daftar mata kuliah atau pokok-pokok pengajaran. Lebih dari itu. bagaimana mengembangkan masing-masing komponen itu, inilah juga pekerjaan pengembangan kurikulum. Berikut adalah keterangan ringkas dari tugas-tugas itu:
1. Tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dalam mengembangkan tujuan pendidikan dan pembelajaran, ada sejumlah pertanyaan yang dapat kita jadikan acuan yakni: Apa sajakah yang menjadi sumber dalam perumusan tujuan pendidikan kita? Apakah kita juga mempertimbangkan persepsi dan harapan pemakai para lulusan? Apakah tidak sebaiknya kita mempertimbangkan kebutuhan dan tingkat pemahaman dan pengalaman mereka yang belajar yang dari genarasi ke generasi berubah? Rumusan tujuan pendidikan dan pembelajaran dalam sebuah program studi pada institusi pendidikan, lahir dan berkembang dari visi dan misi yang dimilikinya. Jadi, agar tujuan pendidikan dan pembelajaran jelas, maka sebagai dosen, kita perlu menetapkan dan memahami visi dan misi yang ada. Rumusan tujuan perlu diungkapkan dengan kata kerja yang tepat dan jelas, yang akan menggambarkan perilaku peserta didik setelah mengikuti aktivitas pembelajaran. Rumusan tujuan seharusnya tidak dikemukakan dari perspektif lembaga dan program studi ataupun dari pengajarnya.

2. Isi (materi) pengajaran.Umumnya kita merumuskan bahan pengajaran berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Bahan pengajaran atau isi perkuliahan yang akan kita diskusikan bersama peserta didik seharusnya tidak boleh menyimpang dari tujuan. Perkara lain yang juga ikut menjadi pertimbangan kita ialah: aspek apa saja yang terkandung dalam bahan itu? Apakah aspek pengetahuan yang lebih utama dalam bahan pengajaran itu dibandingkan dengan spiritualitas dan karakter? Yang mana? Dalam sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dewasa ini, sangat ditekankan bahwa yang dipelajari oleh mahasiswa dalam kegiatan studinya mencakup aspek pengetahuan, sikap hidup, keterampilan dan nilai-nilai hidup pribadi dan social (Mulyasa, 2003).

Ketika kita merumuskan dan mengembangkan isi ataupun bahan pengajaran, maka yang juga perlu kita pertimbangkan ialah masalah organisasi kurikulum. Bagaimana susunannya? Lebih lanjut dapat disimak paparan Sukmadinata (1997). Ada beberapa unsur-unsur yang menjadi bahan pertimbangan dalam mengorganisasikan sebuah kurikulum.
a. Ruang lingkup, Meliputi apa sajakah bidang studi itu atau mata kuliah itu? Sebuah program studi atau jurusan, apa saja yang dipelajari? Sebuah mata kuliah, apa sajakah muatannya? Bagaimana keluasannya atau kedalamannya?

b. Urutan dari mata kuliah yang disajikan, “sesudah ini kemudian itu“? Perumusan urutan ini biasanya dipengaruhi oleh kematangan peserta didik, latar belakang pengetahuan dan pemahaman mereka; tingkat pemikiran; minat; kegunaan bahan itu; dan tingkat familiaritas dan kesulitan bahan. Biasanya kita merumuskan bahan pengajaran menurut prinsip urutan dari yang mudah kepada yang sulit; dari yang sederhana kepada yang kompleks; dari yang keseluruhan kepada bagian-bagiannya; dari yang diketahui kepada yang belum diketahui; dari masa lalu ke masa kini atau sebaliknya; dari yang konkret kepada yang abstrak atau sebaliknya.

c. Prinsip kontinuitas. Semua yang dipelajari peserta didik dalam sebuah program studi saling terkait. Yang dipelajari pada tahun pertama, berkesinambungan dengan yang dipelajari di tahun kedua, tahun ketiga sampai selanjutnya. Prinsip ini juga bermakna bahwa apa yang dipelajari mahasiswa pada program S-1 haruslah menjadi dasar bagi studinya di tingkat pascasarjana (S-2). Jika mahasiswa menempuh program doktoral lazimnya mereka memiliki landasan-landasan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan studi yang memadai di tingkat sebelumnya. Jika tidak, hal itu dapat menimbulkan kesulitan dalam menyelenggarakan riset dan penulisan disertasi.

d. Prinsip integrasi. Sebaiknya apa yang dipelajari dalam sebuah program studi haruslah membuka kemungkinan kepada beberapa sifat, yakni: multidisipliner, atau intra-disipliner atau interdisipliner. Dengan prinsip interdisipliner, artinya sejumlah matakuliah dari berbagai disiplin teologi disajikan agar saling terkait. Intra-disipliner, artinya mata-mata kuliah yang tergolong kepada sebuah disiplin ilmu, saling terkait dan menunjang.

e. Memperhatikan prinsip keseimbangan. Bahan kuliah yang bersifat teoritis ataupun konseptual sepatutnya disajikan seimbang dengan mata kuliah praktis dalam suatu waktu kegiatan belajar (satu semester); bahan ketrampilan disajikan seimbang dengan bahan-bahan pembentukan spiritualitas dan pembangunan keberadaan diri serta pembentukan akhlak.

f. Mempertimbangkan distribusi waktu. Kapankah seharusnya mata kuliah bahasa dipelajari oleh mahasiswa program sarjana? Apakah sebelum memasuki teori-teori atau sesudahnya? Berapa lamakah semua bahan dipelajari?. Berapa bobot tiap mata kuliah? Apakah sebuah mata kuliah harus lebih berat bobotnya dibandingkan dengan yang lain dan apakah alasannya? Apakah sebuah mata kuliah harus dipelajari dua tahun berturut-turut padahal dapat dilakukan dalam satu semester? Apakah sebuah mata kuliah berbobot 3 SKS cukup dipelajari hanya dalam waktu 30 jam tatap muka tanpa ada tugas-tugas mandiri selanjutnya? Banyak lagi yang perlu kita pertimbangkan dalam soal ini.

3. Metode pembelajaran. Ada sejumlah pertanyaan yang patut kita ajukan dalam mengembangkan metode pembelajaran ini, yaitu:
a) Kecocokan metode, sehingga jangan asal memilihnya. Dengan metode apakah sebuah mata kuliah diajarkan? Mengapa demikian? Perlukah studi kasus disamping diskusi kelompok dan ceramah?
b) Variasi metode, sehingga mahasiswa yang belajar menjadi lebih kreatif. Metode yang dipilih juga mampu meningkatkan kualitas belajar bermakna (meaningful learning).
c) Apakah metode pembelajaran yang dipilih dan digunakan dapat membentuk kompetensi? Apakah sebuah metode pembelajaran mengaktifkan mahasiswa dalam belajar mandiri? Kalau kita membina dan melatih orang dewasa, sebaiknya juga kita memberi tekanan kepada potensi mereka sebagai sumber belajar yaitu pengalaman mereka (prinsip andragogis).
d) Apakah metode yang dipilih sesuai dengan metode yang dipilih dengan tingkat program? Maksudnya, kalau dosen mengelola pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi, selain memberi perhatian kepada pembentukan pengetahuan dan pemahaman serta karakter, seharusnya tekanannya juga kepada pembentukan ketrampilan studi (learning how to learn) dan riset (research skills). Apalagi di tingkat pascasarjana, metode pembelajaran lebih bertujuan memampukan mahasiswa mampu berpikir mandiri dan melakukan analisis, evaluasi dan sintesis. Tidaklah tepat bila hanya mampu menghafalkan bahan ceramah dosennya untuk diingat kembali pada waktu ujian.
e) Apakah metode yang kita pilih menimbulkan masalah finansial karena harus memberi alat-alat yang mahal? Dalam banyak pendidikan di Indonesia, memberikan ceramah dengan menggunakan OHP pun sering tidak terjangkau karena keadaan finansial dan ekonomi. Apalagi jika dosen diharuskan mempergunakan LCD.

4. Pemilihan media dan alat pengajaran dapat kita rangkai sesuai arahan Anderson (1987). Apakah media dan alat pengajaran telah tersedia? Apakah mudah disediakan? Apakah tersedia perpustakaan memadai sebagai media dan sumber pembelajaran? Apakah guru atau dosen menyusun sebuah modul, diktat atau handout? Apakah dosen membuat sejumlah bahan bacaan yang dikompilasikan? Bahan bacaan utama dan bahan rujukan untuk penelitian apakah diusulkan oleh dosen? Patut kita catatat bahwa yang termasuk pada media pembelajaran antara lain: interaksi antar pribadi; objek fisik, lokasi dan peristiwa nyata yang dapat dilihat, disentuh (visual-kinestesik); gambar-gambar; simbol tertulis termasuk literatur (visual); rekaman suara (audio); komputer (audio-visual). Alat-alat dalam pembelajaran termasuk: buku-bahan bacaan, bagan, projektor slide, OHP, poster, guru atau dosen itu sendiri, video, ceramah-kuliah, demonstrasi, permainan, dll.

5. Rencana dan kegiatan penilaian. Penilaian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum dan pembelajaran. Penilaian berguna untuk mengetahui banyak aspek yakni: sejauhmana tujuan tercapai; sejauhmana bahan pengajaran relevan; sejauhmana metode yang digunakan efektif; sejauh mana sarana, media dan alat pembelajaran menunjang; dan sejauh mana faktor kualitas pengajar berkualitas. Sebaiknya ketika kita mengadakan penilaian di pertengahan dan akhir semester semua unsur itu terlihat, dan peserta didik memberikan masukan-masukan supaya kita dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran berikutnya lebih efektif dan efisien. Bagaimanakah cara memberikan nilai akhir bagi mahasiswa?
C. BAGAIMANA SISTEM AKADEMIK UIN?
Kurikulum UIN sekarang ini nampaknya disemangati oleh unggulnya pendidikan Islam di Masa Keemasan. Seperti disebutkan dalam panduan keilmuan UIN bahwa munculnya tokoh-tokoh mendunia pada abad pertengahan seperti ibn Rusdi, Al kindi, Al Gozali, dll. Secara umum yang sering dimaksud dengan masa keemasan Islam adalah masa kekuasaan Daulah Abbasiah pada sekitar abad 8 M hingga 13 M yang diakhiri dengan hancurnya Baghdad akibat serangan bangsa Mongol. Menurut catatan Mulyadhi (2006), pada masa inilah peradaban Islam mencapai masa keemasannya dengan menjadi pemimpin bagi peradaban dunia saat itu. Pada masa ini pula lahir dan berkembang sains dan filsafat dalam Islam. Di antara tokoh-tokohnya adalah: dalam bidang kedokteran seperti, Ar Razi (932 M), Ibn Sina (1037 M) dan Az Zahrawi (1009 M); dalam bidang matematika dan sains seperti, Al Khawarizmi (penemu aljabar, 846 M), Ibn Haitam (1039 M), Al Biruni (1048 M), Jabir ibn Hayyan (dalam kimia, 815 M); dalam bidang politik dan etika seperti, Al Farabi, Ibn Khaldun, Al Gozali dan Ibn Taimiyyah.
Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistim pendidikan yang berlaku pada saat itu. Azyumardi Azra (1998), menekankan peran pendidikan sebagai faktor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistim pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal berupa madrasah (termasuk juga jami’ah). Sedang informal meliputi perpustakaan, rumah sakit, observatorium, akademi dan halaqah.
Stanton (1994) memaparkan bagaimana keemasan system pendidikan pada abad pertengahan. Pada waktu itu, madrasah merupakan the higher institution of learning setaraf dengan universitas. Namun berbeda dengan universitas Eropa dan modern, madrasah lebih menekankan pada aspek pendidikan agama (fiqih dan teologi). Madrasah pertama yang didirikan secara khusus oleh Negara dan Islam sunni adalah Nizhamiyyah (11 M) dan dilanjutkan dengan Muntansiriyyah (13 M) di Bagdad. Cabang-cabang dari madrasah Nizhamiyyah meliputi kota-kota besar Islam lainnya seperti Thus, Syiraz dan Nishapur. Madrasah-madrasah ini mendapat dukungan besar dari negara, bukan saja untuk biaya pendirian dan pemeliharaan, tetapi juga program beasiswa. Suasana madrasah telah menciptakan suatu atmosfer pendidikan yang khas dengan memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan social dari orang-orang yang tinggal di dalam lingkungannya, sebuah asimilasi mahasiswa ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. Masyarakat Islam sendiri sangat menghormati kegiatan menuntut ilmu dan tidak menuntut siswa agar segera menyelesaikan satu paket kurikulum, lalu mencari pekerjaan.
Kurikulum madrasah berawal pada masalah ushuluddin, lalu berkembang pada bidang lainnya. Kurikulum madrasah, dapat diketahui bahwa selain ilmu agama juga dipelajari disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu umum (tulis baca, jual beli, pertanian dan ilmu praktis lainnya) dan ilmu filosofis (matematika, logika dan lainnya). Metode yang umum digunakan adalah ta’liyah, atau debat tertulis dengan mengemukakan satu permasalahan yang lalu diikuti dengan jawaban (negative dan positif) serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan (mirip dengan metode skolastik dialektika di universitas klasik Eropa). Metode lainnya adalah debat lisan (jadal) yang bersifat formal, tergantung pada aturan-aturan logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan tesisnya menghadapi penantang yang coba membatalkan argumentasinya. Metode jadal sendiri dimulai dengan menyalin, menghafal dan lalu berdebat.
Tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga-lembaga pendidikan informal seperti akademi (tempat diselenggarakan kegiatan-kegiatan ilmiah) dan perpustakaan, di antaranya Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Hikmah di Mesir. Belum termasuk perpustakaan-perpustakaan pribadi dan toko-toko buku yang tersebar luas di kota-kota Islam. Koleksi perpustakaan Baitul Hikmah sendiri diperkirakan mencapai 600.000 jilid buku; observatorium dan rumah sakit. Observatorium sebagai sarana penelitian ilmiah informal dalam astronomi mencapai puncaknya pada abad 13 M dengan didirikannya observatorium Maraghah yang melahirkan para astronom seperti Nashirudin Thusi, Qutb al din Syirazi dan Najm al Din Qazwini. Sementara rumah sakit seperti al Abudi di Baghdad, dan al Nuri di Damaskus telah menjadi sedemikian besar dan maju hingga terdapat ruang-ruang khusus (spesialis) untuk penyakit berbeda termasuk penyakit jiwa; serta juga halaqah-halaqah sebagai pusat pengajaran esoterisme Islam yang berkembang pesat terutama paska invasi Mongol.
Satu catatan penting di sini adalah banyak di antara pemikir Islam terkemuka saat itu yang justru mendapat pendidikan dari jalur non formal seperti ini. Dalam kasus Ibn Sina misalnya, pihak keluarga mengundang beberapa guru privat yang menjadi inspirasi bagi Ibn Sina untuk belajar lebih lanjut secara autodidak.
Koswara (2008), sepedapat dengan filosof besar seperti John Dewey, memandang pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial yang paling efektif. Dengan membentuk individu yang berkualitas akan berpengaruh terhadap masyarakat dan negara. Oleh sebab itu pendidikan merupakan lembaga yang konstruktif dan normatif untuk meningkatkan kualitas masyarakat dalam upaya membina masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. Pendidikan sanggup mengatur dan mengendalikan perubahan sosial dan negara. Pendidikan memungkinkan berperan sebagai social engineering dan berperan pula sebagai statesment, ahli negara. Peranan pendidikan paling pertama adalah social mission, yaitu misi sosial terlebih dahulu berupa mempertahankan adat dan budaya masyarakat sebagai alat kontrol social engineering, sehingga pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat untuk memelihara budaya masyarakat dan memenuhi keutuhan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan ganda, yaitu mewariskan peradaban dan budaya kepada generasi muda dan berperan sebagai agent of social change.
Pendidikan sebagai lembaga yang mampu menjembatani masa kini menuju masa mendatang yang dicita-citakan. Dalam pendekatan pendidikan ada yang bersifat adaptif, yaitu memacu penguasaan dasar berbentuk nilai-nilai agama, adat dan budaya yang kuat terlebih dahulu yang selanjutnya individu-individu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan atau reformatoris sesuai dengan perkembangan zaman dengan harapan agar sanggup mempertahankan hidup di dunia yang serba dinamis dan tidak menentu. Seperti model pendidikan yang dilaksanakan di negara Jepang, dimana adat istiadat seperti kimono dan bahasa serta tulisan warisan leluhurnya tetap dipertahankan, di lain pihak terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu bersaing dengan negara-negara maju yang lain.
Dalam konteks UIN, center of excellent merupakan bagian yang diembannya sebagai pengembang ilmu pengetahuan agama Islam. Dirumuskan penempatan diri itu dalam dua ekspektasi besar, yakni ekspektasi social dan ekspektasi akademik. Tujuan pendidikan tinggi, yakni menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang mampu mengembangkan, menyebarluaskan dan menerapkan ilmu pengetahuan agama Islam untuk meningkatkan kecerdasan umum dan tarap kehidupan masyarakat. Berdasar kepada tujuan tersebut, UIN dituntut mampu memberikan respon dan jawaban akademik Islami dan profesional terhadap berbagai tantangan zaman terutama dalam memberi warna dan pengaruh keislaman kepada masyarakat secara keseluruhan. Ini disebut sebagai ekspektasi sosial UIN.
Di samping itu, UIN juga diharapkan mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan ilmu-ilmu secara integratif-holistik yang dilandasi ruh-ruh Islam. Ini disebut ekspektasi akademik. Dalam kiprah berbangsa dan bernegara, UIN merupakan salah satu penyelenggara pendidikan tinggi ilmu agama Islam yang mempunyai peranan yang semakin penting. Terutama dalam usaha untuk meningkatkan kecerdasan, harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa, berkualitas dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, dapat memenuhi kebutuhan serta bertanggung jawab pembangunan bangsa. Oleh karena itu, sistem kurikulum UIN disusun sebagai bagian integral dari rancang bangun paradigma dan karakteristik keilmuan yang dikembangkan di UIN. Sistem kurikulum ini disusun dengan tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional, nilai-nilai ajaran Islam, budaya bangsa, kaidah moral dan etika ilmu pengetahuan kepentingan masyarakat, serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa.
Untuk tercapainya hal tersebut dalam pengajaran dan produktivitas kegiatan ilmiah, maka dirancang suatu platform dan strategi pengembangan pendidikan tinggi yang ditujukan untuk menyiapkan sarjana muslim yang memiliki akhlak mulia, kecakapan dan keterampilan akademik, berjiwa profesional dalam hal ilmu keislaman sehingga dapat digunakan dalam bekerja, belajar dalam pendidikan lanjut, serta berinteraksi dalam lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar dalam kehidupan bermasyarakat menuju masyarakat belajar, beradab dan cerdas.
Visi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati adalah Menjadikan UIN sebagai Perguruan Tinggi yang mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu-ilmu kontemporer sehingga memiliki keunggulan kompetitif, profesional pada tingkat nasional dan internasional dalam mengembangkan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, sains dan teknologi sosial dan budaya berdasarkan nilai-nilai Islami untuk disumbangkan bagi pengembangan masyarakat dan bangsa yang lebih terbuka dan demokratis.
Visinya ini merupakan cita-cita ideal dalam sistem kurikulum. Cita-cita ideal yang dimaksud adalah UIN memiliki tujuan umum mempersiapkan lulusan yang cerdas, cakap, terampil dan memiliki budi pekerti yang mulia. Tujuan umum tersebut merupakan representasi dari implementasi iman, ilmu dan amal sholeh. Kekuatan iman menjadi penyangga tauhid pribadi lulusan UIN. Kekuatan ilmu merupakan kemampuan atau daya tawar yang dimiliki oleh UIN. Sedangkan kekuatan amal sholeh merupakan sikap arif dan budi pekerti yang didasarkan pada kekuatan iman dan keluasan ilmu pada setiap pribadi lulu san UIN. Dengan demikian, keimanan yang kokoh, penguasaan ilmu pengetahuan yang luas dan kearifan dalam akhlak mulia merupakan salah satu tujuan yang dikehendaki.
Untuk mengantisipasi berbagai kendala dalam mencapai cita-citanya diperlukan jaringan (link) dan kemitraan (cooperation) dengan institusi lainnya untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan akademiknya. Link and cooperation sangat berguna bagi pengembangan dan pengintegrasian ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu lainnya, dapat diorientasikan untuk mempersiapkan peserta didik dan lulusannya agar memiliki kualitas keilmuan dan keterampilan yang cukup serta memiliki akhlak mulia.
Langkah-langkah untuk mewujudkan harapan tersebut, diantaranya mengembangkan penerapan pola Kurikulum Berbasis Kompetensi. Didalamnya memuat kemampuan akademik (academic skills) dan keterampilan hidup (life skills) dengan mengakomodasikan unsur-unsur teoritis-praktis berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nyata (real need) dan kebutuhan yang diperkirakan (expected need) sesuai dengan dinamika kehidupan. Dalam meningkatkan mutu akademik, proses pengembangan keilmuan melalui proses pembelajaran yang tidak hanya dikaitkan dengan spesifikasi output, tetapi juga dengan proses pembelajaran yang efektif, efisien, produktif, akuntable, serta adaptif dengan perubahan sehingga tercapai academic atmosphere. Senantiasa memperhatikan peningkatan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual mahasiswa untuk mewujudkan keunggulan akademik, kemantapan akidah, berakhlak mulia dan mandiri sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mahasiswa sebagai seorang muslim, warga negara dan warga masyarakat global (education for nation and global citizenship). Pada aspek sarana dan prasarana pendidikan terus diupayakan penyelenggaraan kegiatan akademik serta pengembangan bakat dan minat mahasiswa.

D. STRATEGI IMPLEMENTASI ALTERNATIF
Kepmendiknas RI No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Pemerintah, dalam hal ini Mendiknas, memberi keleluasaan kepada pengelola lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu bagi pedoman pengembangannya. Atas dasar ini, sesungguhnya kurikulum UIN ini dapat menyelaraskannya dengan para user, dalam hal ini departemen di lingkungan pemerintah, sekolah, madrasah, dan dunia usaha. Dalam penyusunannya ini, supaya alumni UIN dapat diakses mereka, para pemangku kebijakan dari mereka diundang rembuk dalam finalisasi kurikulum.
Struktur kurikulum kita terbagi pada empat komponen, yakni kompetensi dasar, kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya. Kurikulum tersusun berdasarkan program studinya, masing-masing terdiri dari mata kuliah. Sajian mata kuliah itu, dilihat dari kelompok kompetensinya tersebar pada tiap semester.
Hemat penulis, secara tematik inti kurikulum dapat disederhanakan pada tiga komponen, yakni komponen bahasa, logika dan etika. Komponen bahasa meliputi kemampuan berbahasa Arab, bahasa Inggris, hafalan ayat dan hadits. Ayat Al Qur’an dan hadits ini akan menjadi bahasa dan alat analisis keilmuan berikutnya sesuai program studi dan disiplin ilmunya. Komponen logika berupa metode analisisnya sendiri sebagai paradigma, konsep, teori, filsafat yang semuanya sudah masuk pada domain program studi. Komponen etika berupa kebangsaan, kemasyarakatan, keterampilan diterima dan menerima pembinaan ummat, mengenal, bangga dan siap memasuki karir sesuai prodi.











GAMBAR. RUMUSAN 3A KURIKULUM INTI UIN

Sajian mata kuliah yang tersebar ini nampaknya perlu diubah kearah sajian yang lebih tematik dan terpusat, sehingga setiap tahun akademik terdapat tema per tingkat. Tentunya kurikulum inti bahasa khusus disajikan pada tingkat satu, logikadisajikan pada tingkat dua dan tiga, serta etika pada tingkat empat. Dapat diajukan sajian tersebut berdasarkan tingkat dan implikasinya, sebagai contoh dapat dilihat pada table di bawah ini untuk Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

TABEL. TEMATIK AKADEMIK PER TINGKAT

Tingkat/
Tema Bidang akademik Bidang kemahasiswaan
Tingkat 1
(persiapan bersama) Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Qur’an, hadits, praktek ibadah
Klub bahasa, klub tahfid, klub ritual dan tausiyah
Tingkat 2
(dasar prodi) Teori profesi, keterampilan pendukung. Klub profesi karir, profesi da’i, klub jurnalis, …
Tingkat 3
(praktek prodi) Praktek profesi, pemikiran humanis, wawasan kebangsaan Seminar, penelitian jurusan, kolaborasi tokoh
Tingkat 4
(pra kerja) Memasuki pasar kerja, penulisan tugas akhir Berada di lembaga kerja, lembaga profesi

Pada tingkat satu, karena merupakan komponen dasar maka lebih baik menggunakan system ulang total dan system gugur. Pada tingkat satu lebih bersifat system paket, semi sks. Bila ada mahasiswa yang tidak mampu pada salah satu mata kuliah, misalnya tidak bisa memahami teks Inggris maka harus mengulang seluruh mata kuliah yang disajikan pada tahun kesatu ini, tidak bisa melanjutkan pada tingkat dua. Apabila tahun pengulangan berikutnya tetap tidak juga lulus, maka dia drop out. Upaya ini dapat membentuk budaya keilmuan yang ketat sejak dari tingkat awal.
Pencapaian kemampuan bahasa Inggris, bahasa Arab dan Qur’an-Hadits sejak awal dapat menjadi peletakan utama menuju jargon wahyu memandu ilmu. Karena wahyu itu sendiri berbahasa Arab dalam Al Qur’an dan hadits, adapun ilmu banyak disajikan dalam bahasa Inggris juga bahasa internasional lainnya. Pada tingkat tahun berikutnya telaah ilmu pengetahuan akan lebih memudahkan dikaji dari bahasa sumber yang lebih mendunia, atau setidaknya menuju itu dapat diupayakan buku ajar yang berbasis bilingual. Buku ajar yang disusun oleh para dosen kita perlu diterjemahkan ke dalam bahasa internasional, dan sebaliknya bahan ajar yang digali dari buku berbahasa internasional dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sepaket dengan identitas “buku sumber bilingual”.

Untuk kalangan dosen sebagai actor utama, dapat diupayakan beberapa hal berikut:
1. Bagi peningkatan mutu dosen, nampaknya lembaga UIN perlu anggaran biaya yang cukup untuk memberikan afresiasi pada dosen yang berupaya meningkatkan kemampuan TOEFL dan TOAFL. Dampaknya memungkinkan, SDM UIN memasuki kancah percaturan keilmuan pada tingkat regional bahkan mungkin internasional, baik pada jenjang studi lanjut ke luar negeri ataupun wilayah profesi internasional.
2. Bagi kelangsungan proses perkuliahan berbasis bahasa internasional, maka dapat diupayakan penyusunan bahan ajar bilingual. Mata kuliah kelompok agama berbilingual Indonesia-Arab, adapun mata kuliah umum bias berbilingual Indonesia-Inggris. Proyek penyusunan bahan ajar ini juga perlu insentif dari lembaga UIN untuk memacu akselerasi kekaryaan dosen.
3. Untuk membesarkan UIN, maka diperlukan strategi jitu supaya dosen terbaik UIN bisa memasuki percaturan nasional dan bahkan internasional. Upaya ini nampaknya lebih strategis melalui media televisi nasional bahkan internasional sebagai pakar yang membahas issue actual. Untuk ini, UIN perlu studi produksi siaran, yang dapat disebar pada stasiun TV. Dan untuk memasuki dunia birokrasi dapat menjadi inspirator partai dalam menyusun program, karena pos birokrasi dialokasikan oleh partai pendukung pemerintah.

E. PENUTUP
Tulisan ini merupakan apresiasi kepada para pemangku kebijakan di UIN “SGD” Bandung yang telah berubah dari IAIN. Apresiasi yang dimaksud antara lain berkembangnya UIN dengan mengembangkan prodi agama (ushuludin, dakwah, syariah, tarbiyah, adab) dan prodi umum (sains dan teknologi). Jargon wahyu memandu ilmu sedemikian ideal dan argumentatif, namun memerlukan uraian yang lebih teruji implementasinya dalam kurun waktu yang cukup lama. Tawaran penulis adalah diperlukan suatu dasar yang kuat dan kokoh pada pencapaian kompetensi berbahasa internasional, ayat Qur’an dan hadits. Kita semua sangat merindukan pencapaian UIN yang dapat mencetak generasi terbaik ditingkat regional dan internasional melalui penguatan dasar ini sebagai fondasi ilmu dan fondasi pemahaman wahyu. Sukses untuk UIN SGD Bandung.

Litaratur
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998).

Conny R. Semiawan. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat (PT Grasindo, 1999).

Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education (New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991)

E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003).

Jatmiko & Fandy Tjiptono (editor), Pendidikan Berbasis Kompetensi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002).

Koswara, Model ilmu kependidikan UIN (dalam Panduan Keilmuan UIN, 2008)
Kurikulum UIN SGD Bandung, 2006

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Remaja Rosdakarya, 1997)

Nanat Fatah Natsir. Panduan Keilmuan UIN, Wahyu Memandu Ilmu. (UIN, 2008

Nasution, Kurikulum Dan Pengajaran (Bina Aksara, 1989),

Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).

Ronald H. Anderson, Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran (Radjawali Pess, 1987).

Stanton, Charles M., Pendidikan Tinggi Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994)

RUANG LINGKUP Konseling

Jumat, 19 Februari 2010

defisini, tujuan, visi, misi, paradigma, azas, landasan, bidang bimbingan, layanan, program, dll

tambahan :
MENGASAH KECERDASAN MENYELURUH

IQ (intelligency Quotient)
Kecerdasan, nalar, logika, daya ingat, hitungan, analisa

EQ (Emotional Quotient)
N-Ach, penempatan diri, empati, control emosi

SQ (Spritual Quotient)
Keseimbangan hidup, karakter diri, dunia-akhirat, jasmani-rohani,
rasional-spiritual, kejujuran, murah hati, penyayang

AQ (Adversity Quotient)
Kegigihan, semangat tinggi, enduran/bertahan, pantang menyerah,
Quitters-Campers-Climbers


BERSIKAP SEPERTI HALNYA ORANG SUKSES

1. Sikap social : Proaktif, untungkan orang lain
2. Sikap akhlak : Teruji, terbukti
3. Sikap kerja : Berlatih, asah gergaji
4. Sikap ekonomi : Enterprenuer, punya angsa
5. Sikap hasil : makan sirung, bukan batang
6. Sikap keilmuan: high skills, up to date
7. Sikap teologis : do’a, bersama Tuhan, untuk Tuhan
8. Sikap diri : efektif, disiplin, target lebih, sesuai anggaran, berebut
tanggung jawab, tepat janji, anti hutang konsumsi, loyal,
menghargai atasan, gembira, hangat, pecahkan masalah


MENGUBAH MINDSET

jangka pendek --- jangka panjang
sentralistik --- desentralistik
pemerintah --- masyarakat
konsumtif --- produktif
bergantung --- mandiri

asal-asalan --- terbaik
elitis --- egaliter
nepotisme --- meritokrasi
hierarkis --- hiterarkhis

negative --- positif
pesimis --- optimis
konflik --- sinergis
terpenggal --- terpadu
protokoler --- substansial

kerja sendiri --- kerja tim
dadakan --- terencana
cari-cari masalah --- temukan solusi

KONSELING RATIONAL-EMOTIVE THERAPY

materi 13-14


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut RET.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling RET
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling RET
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling RET.

Pengantar
Istilah Rational-Emotive Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena; paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking, berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat. Pelopor dan sekaligus promotor utama corak konseling ini adalah Albert Ellis, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku, antara lain buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), A new Guide to Rational Living (1975), serta karangan yang berjudul The Rational-Emotive Approach to Counseling dalam buku Burks Theories of Counseling (1979). Menurut pengakuan Ellis sendiri corak konseling Rational-Emotive. Therapy (disingkat RET) berasal dari aliran pendekatan Kognitif-Behavioristik. Banyak buku yang telah terbit mengenai tata cara memberikan konseling kepada diri sendiri, mengambil inspirasi dari gerakan RET, misalnya J.Lembo, Help Yourself, yang telah disadur pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Berusahalah Sendiri (1980).
Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
(a) Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan makhluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia mempunyai kekurangan dan keterbatasan, yang dapat mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
(b) Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan(values) untuk sebagian ditentukan.baginya, namun untuk sebagian juga dibentuk sendiri serta dikejar sendiri. Salah satu nilai kehidupan adalah kebahagiaan, yang dapat dipilih atau tidak dipilih sendiri sebagai tujuan utama yang pantas dikejar. Tujuan utama ini terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, seperti merasa bahagia dengan dirinya sendiri, merasa bahagia dalam berinteraksi dengan orang lain, merasa bahagia dalam kemandirian ekonomis, dan merasa bahagia dalam menikmati berbagai kegiatan rekreatif.
(c) Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian, berpikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagiaan itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya; tidak pantaslah mereka lalu mempersalahkan orang lain atau nasib hidup malang sebagai biang keladi ketidakbahagiaan mereka.
(d) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berpikir dengan akal sehat, tetapi dapat juga berpikir salah dan dengan demikian menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri. Kesukaran ini menggejala dalam alam perasaannya dan dalam caranya bertindak. tetapi pada dasarnya bersumber pada berpikir yang keliru atau berpikir yang disebut berpikir yang tidak rasional (irrational thinking; illogical thinking). Karena perasaan menyertai berpikir dan, bahkan, sering diciptakan oleh pikiran, pikiran yang irasional akan menghasilkan perasaan yang tidak membahagiakan serta tidak mendukung perilaku yang tepat. Misalnya, bilamana seseorang memandang suatu kegagalan sebagai pukulan yang menghancurkan kehidupannya untuk selanjutnya (berpikir irasional), dia akan merasa putus asa dan sangat depresif (berperasaan yang mematikan semangat) dan akan bertindak yang kurang sesuai, seperti mempersalahkan orang lain (bertindak destruktif). Sebaliknya, bila orang itu memandang kegagalan itu sebagai cermin dan sebagai cambuk untuk berusaha lagi (berpikir rasional), dia tetap akan merasa kecewa dan sedih, tetapi perasaan itu tidak mematikan semangat. Selanjutnya dia akan berpikir bagaimana sebaiknya bertindak kemudian, sehingga tingkah lakunya tepat dan sesuai.
(e) Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irasional (irrational beliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan sosial dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih. Albert Ellis. sendiri mengakui mula-mula merumuskan 11 keyakinan irasional yang dianggapnya dipegang oleh banyak orang, tetapi kemudian ditinjau kembali, Jumlah itu dikurangi sampai tiga keyakinan dasar yang irasional, yaitu tiga keharusan yang disampaikan olehorang kepada dirinya sendiri:
(1) Saya harus berhasil dalam segala-galanya dan harus disayangi oleh semua orang yang penting dalam hidup saya. Kalau saya tidak mendapat rasa sayang, saya mengalami musibah; maka saya adalah orang yang brengsek!
(2) Kamu harus memperlakukan saya dengan ramah dan adil. Bagi saya timbul musibah, kalau kamu tidak berbuat demikian. Saya tidak tahan lagi berurusan dengan kamu! Maka kamu tak lain tak bukan adalah setan belaka!
(3) Kehidupan ini harus bersikap manis terhadap saya dan membekali saya dengan semua yang saya inginkan. Ini pun harus terlaksana segera. Kalau tidak, saya akan hancur. Maka saya tidak bertahan lagi hidup dalam dunia ini! Dunia ini hanya neraka besar dan hutan rimba belaka!
(f) Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa. Bila berpikir, manusia seolah-olah mengucapkan kata-kata kepada diri sendiri. Orang mempertahankan pikiran yang rasional atau yang tidak rasional dengan berbicara kepada diri sendiri dan mengucapkan dalam batinnya sendiri uraian kalimat tertentu, seperti yang dirumuskan dalam butir (e) di atas.
(g) Bilamana seseorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada rentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung (activating event; activating experience), melainkan pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan pengalaman itu (irrational beliefs). Tanggapan kognitif yang tidak masuk akal itu biasanya terdiri atas beraneka tuntutan mutlak, perintah keras kepada diri sendiri dan berbagai keharusan. Perasaan negatif yang muncul sebagai akibat dari. pikiran irasional itu, dipandang sebagai suatu reaksi perasaan yang tidak wajar (inappropriate emotions), yang biasanya terdiri atas rasil depresif,rasa cemas dan gelisah yang mendalam, rasa putus asa, rasa bermusuhan, dan rasa tak punya harga diri. Perasaan yang demikian disebut tidak wajar, karena menghambat orang dalam menghadapi tantangan/bantingan hidup dan membunuh semangat berusaha bahkan sering membuat keadaan orang lebih buruk. Sebaliknyalah tanggapan rasional (rational belief) disertai suatu reaksi perasaan yang wajar (appropriate feelings). Tanggapan yang masuk akal biasanya terdiri atas berbagai keinginan, aneka harapan, dan bermacam preferesi, sedangkan reaksi perasaan yang wajar meliputi perasaan positif seperti rasa cinta, rasa bahagia, rasa tenteram, dan rasa puas; serta perasaan negatif seperti rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, rasa bosan, rasa tidak suka, dan rasa marah. Semua reaksi perasaan itu, baik yang positif maupun yang negatif, disebut wajar karena menimbulkan semangat untuk berusaha mengubah hal¬-hal yang tidak diinginkan dan mengganggu kebahagiaan hidup.
(h) Untuk membantu orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara lebih rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Maka, pada dasarnya, konselor yang menerapkan corak konseling ini mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring). Untuk itu, tidak perlu konselor menggali seluruh sejarah. kehidupan konseli, bahkan juga tidak mengorek keseluruhan asal-usul permasalahan yang dihadapi sekarang dengan membongkar masa lampau. Konselor RET memusatkan perhatiannya pada masa sekarang dan tidak sebegitu mengindahkan apa yang terjadi di masa yang lampau. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan pendekatan Behavioristik, meskipun Ellis berpegang pada banyak unsur dalam pendekatan Behavioristik secara tidak langsung.
(i) Mengubah diri dalam berpikir irasional bukan perkara yang mudah, karena orang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya. Misalnya, seorang mahasiswa yang mengeluh ke mana-mana bahwa dia selalu gugup dalam menempuh ujian, mungkin saja mempertahankan keluhannya dengan meyakinkan diri terus-menerus bahwa “Aku memang paling bodoh di antara ternan-ternan; seharusnya aku pandai". Dengan merasa cemas terus-menerus mengenai ketidakmampuannya dan dengan mendapatkan simpati dari beberapa dosen mengenai kegugupannya, akhirnya mahasiswa itu jatuh dalam suatu lingkaran setan yang jalan keluarnya tidak muncul¬-muncnl (self-defeating behavior). Meskipun perubahan pada diri sendiri tidak mudah. patut diusahakan dengan menyerang kekacauannya dalam berpikir dan melatih diri mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkret.
(j) Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri, menerima tanggung jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak dukungan dari orang lain; memberikan hak kepada orang lain untuk berbuat salah tanpa menjatuhkan hukuman neraka atas mereka sebagai manusia; menerima kenyataan, bahwa banyak hal dalam kehidupannya tidak dapat diramalkan secara pasti; berpikir objektif tentang diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain; berani niengambil risiko yang wajar dan mencoba hal-hal yang baru; menerima diri sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri sehingga dapat menikmati hidup; dan mengakui bahwa mustahillah tidak pernah mengalami rasa frustrasi, rasa sedih, rasa kesal, dan sebagainya.
(k) Konselor harus membantu konseli mengubah pikirannya yang irasional dengan mendiskusikannya secara terbuka dan terus-terang (Dispute). Dalam kaitan ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang, mengajarkan tata cara berpikir yang lain, memperolok-olok pikiran yang bodoh, memberikan contoh-¬contoh tentang orang lain, menyuruh membayang-bayangkan, dan sebagainya, mana yang ternyata efektif bagi konseli tertentu.
(1) Diskusi itu akan menghasilkan efek~efek (effects),yaitu pikiran-pikiran yang lebih rasional (cognitive effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emotional effects), dan berperilaku yang lebih tepat dan lebih sesuai (behavioral effects). Misalnya, mahasiswa dalam butir (i) akan berpikir: "Siapa bilang, bahwa aku orang yang paling bodoh? "Kegagalan sampai sekarang tidak berarti studiku sudah hancur! Aku tidak perlu mencapai taraf prestasi segemilang beberapa teman. Aku dapat mencapai hasil sesuai dengan kemampuanku, asal aku berusaha dengan sungguh-sungguh!" Dia masih merasa kecewa tentang hasil sampai.sekarang, tetapi tidak merasa putus asa lagi. Lalu dia memikirkan tata cara belajar yang lebih efisien dan pembagian waktu yang lebih baik. Rencana itu kemudian mulai dilaksanakan dan temyata taraf prestasi belajar secara berangsur-angsur membaik.
Dalam melayani konseli konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. A adalah kejadian atau pengalaman tertentu (Activating Event; Activating Experience), yang ditanggapi oleh subjek dalam bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang A (Belief) yang dapat rasional atau tidak rasional. Reaksi emosional dan perilaku (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau keyakinan kognitif, yang dapat berupa reaksi perasaan yang wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai atau jelas tidak sesuai. Masalah klien timbul karena keyakinan-keyakinan yang irasional, yang pada gilirannya menimbulkan reaksi perasaan yang tidak wajar dan tingkah laku yang salah suai . Dalam urutan A-B-C ini A bukan sebab dari C, melainkan B terhadap A menjadi sebab timbulnya C. Kalau B adalah irasional dan tidak masuk akal, akibatnya C akan tidak wajar dan salah suai, kalau B adalah rasional dan masuk akal akibatnya C akan wajar dan sesuai. Maka, bila ternyata bahwa konseli berpegang pada B yang irasional, konselor kemudian akan melangkah ke D (Dispute) untuk menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects). Dengan demikian terdapat rangkaian A-B-C-D-E. Sebagai contoh:
A : Seorang mahasiswa menerima surat dari seorang gadis, yang dianggapnya sebagai pacar, cintanya yang pertama. Surat itu berisikan pesan hubungan kita sampai disini saja.
B : Mahasiswa menginterpretasikan kejadian ini sebagai malapetaka besar dan berkata kepada diri sendiri: "Aku seharusnya mendapat tanggapan yang positif. Kamu seharusnya tidak menolak saya. Ini musibah paling besar bagiku. Rasa harga diriku diinjak-injak. Usahaku gagal total dan karena itu akulah pemuda yang brengsek! Apakah masih ada arti dalam hidupku? Kenapa masih mempertahankan hidupku di. dunia ini?" Pikiran-pikiran semacam itu bercorak irasional dan tidak masuk akal.
(Corak berpikir yang lain ialah: "Ini tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memutuskan hubungan. Sebenarnya lebih baik dia memberikan penjelasan. Tetapi, apa boleh buat, kelihatannya dia sudah mantap pada keputusannya." Berpikir seperti itu ternyata jauh lebih rasional.)
C : Sebagai akibat dari pikiran irasional di atas, mahasiswa itu merasa putus asa serta depresif dan tidak bersemangat hidup lagi. Reaksi emosional ini menggejala dalam berbagai ungkapan ketegangan, misalnya sukar tidur, kehilangan nafsu makan, dan marah-marah pada teman-teman. Lalu dia tidak masuk kuliah selama 2 minggu dan mengirimkan surat kepada penasihat akademik untuk minta izin karenasakit.
(Reaksi emosional yang lain ialah rasa kecewa, rasa frustrasi, dan. tidak suka akan perlakuan yang demikian. Dia kemudian mengirimkan surat kepada pemudi itu untuk minta penjelasan tentang hubungan akrab diputuskan Namun, sementara itu dia tetap melakukan kewajibannya sebagai mahasiswa. Kalau begitu, mahasiswa tidak perlu menghadap konselor!)
D: Konselor menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa perasaannya yang serba putus asa adalah akibat dari caranya menanggapi kejadian penerimaan surat putus hubungan; juga dijelaskan, bahwa aneka gejala gangguan perasaan adalah akibat dari pikirannya yang tidak masuk akal,dan bahwa pengiriman surat minta izin bukan cara penyelesaian masalah yang efektif. Kemudian konselor mulai menantang segala pikiran irasional pada B di atas, misalnya dengan bertanya: "Siapa bilang bahwa kamu seharusnya tidak ditolak? Apakah surat itu bermakna menjatuhkan Anda dalam lembah kenistaan? Apakah seorang pemuda yang tidak berhasil dalam cintanya yang pertama harus dianggap sudah brengsek?", dan sebagainya. Konselor juga menjelaskan. bahwa dia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman ini, misalnya: “Lain kali jangan menaruh harapan dengan serba cepat. Kegagalan dalam cinta pertama membuat orang lebih matang dalam menghadapi hubungan percintaan dengan orang lain." dan sebagainya.
E : Konseli berubah dalam caranya menanggapi A, misalnya seperti pada butir B di atas, di antara tanda ( ). Reaksi dalam alam perasaannya berubah juga dan dia mengambil tindakan lain, misalnya seperti pada butir C di atas, di antara tanda ( ).
Tentu saja proses konseling tidak mulai pada A, tetapi pada suatu saat setelah A-B-C telah terjadi dan mahasiswa itu menyadari dia tidak mampu menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan seorang konselor. Selama proses konseling A-B-C akan menjadi jelas dan konselor menangkap hubungan antara A-B-C. Kemudian konselor menjelaskan peranan dari B yang irasional dan mulai menantangnya untuk mencapai efek E. Namun, konselor biasanya tidak membiarkan konseli untuk mengutarakan kejadian atau pengalaman (A) dengan panjang lebar dan secara mendetail; hanya secukupnya supaya menjadi jelas terhadap hal apa diberikan tanggapan kognitif (B). Demikian pula, tidak dianggap berguna ungkapan perasaan seperti putus asa, depresif, tidak bersemangat, dan bermusuhan diperpanjang, karena yang jauh lebih penting adalah berbagai keyakinan irasional yang melandasi ungkapan perasaan itu. Konselor menunjukkan sikap penerimaan, pemahaman, dan penghargaan sejauh diperIukan untuk menciptakan suasana komunikasi antarpribadi yang memuaskan (working relationship), tetapi hubungan antarpribadi tidak dianggap sebagai satu-satunya kondisi yang mencukupi bagi keberhasilan konseling, seperti pada Client-Centered Counseling. Untuk melengkapi diskusi tcntang rangkaian keyakinan irasional yang harus diubah, konselor Koseling memberikan suatu tugas Pekerjaan Rumah (Homework), seperti melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya yang tidak masuk akal; membayangkan reaksi perasaan yang wajar untuk melawan yang tidak wajar (Rational Emotive Imagery); dan mengisi format yang disebut Rational Self Help Form yang diterbitkan oleh The Institute for Rational-Emotive Therapy di New York City. Format ini dapat Anda lihat pada halaman berikut.
RET menunjukkan baik kelebihan maupun kelemahan. Kelebihannya ,ialah tekanannya pada peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan .. Kelemahannya ialah kurangnya pengakuan terhadap perasaan nada dasar (stemming) sebagai suatu faktor yang sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang tidak sebegitu rnudah mengalami perubahan. Meskipun demikian, corak konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor sekolah terhadap siswa remaja dan mahasiswa, yang mengalami reaksi-reaksi perasaan negatif yang kuat dan agak mewarnai suasana hati, seperti rasa cemas, rasa gelisah, rasa putus asa, tidak bergairah, dan tidak bersemangat. Konselor menduga bahwa ungkapan perasaan itu berkaitan dengan suatu pengalaman hidup, yang diberi interpretasi negatif berdasarkan cara berpikir yang kurang "sehat" dan/atau kurang masuk akal.
Suatu sistematika lain yang juga mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring) dikembangkan oleh Meichenbaum, yang terpusat pada pesan-pesan negatif yang disampaikan oleh orang kepada diri sendiri dan cenderung melumpuhkan kreativitasnya serta menghambat dalam mengambil tindakan penyesuaian diri yang realistis. Menurut pandangan Meichenbaum orang mendengarkan diri sendiri dan berbicara kepada diri sendiri, yang bersama-sama menciptakan suatu dialog internal (internal dialogue) dan berkisar pada mendengarkan pesan negatif dari sendiri dan menyampaikan pesan negatif pula kepada diri sendiri. Dialog internal yang berisikan penilaian negatif terhadap diri sendiri akan membuat orang lain merasa gelisah dalam menghadapi tantangan hidup dan kurang mampu mengambil tindakan penyesuaian diri yang tepat Maka perlulah mengubah penilaian diri yang negatif itu menjadi lebih positif, sehingga keyakinan akan diri sendiri menguat dan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi konkret bertambah. Siasat yang digunakan oleh konselor pada dasarnya sama. dengan yang diterapkan dalam RET, yaitu mengkaji ulang pola berpikir yang bercorak negatif dan menghasilkan tindakan penyesuaian diri yang kurang tepat. Hanyalah Albert Ellis lebih memperhatikan pikiran irasional yang dapat berisikan lebih luas daripada pikiran tentang diri sendiri, sedangkan Meichenbaum lebih menitikberatkan evaluasi diri yang bercorak negatif. Namun, dalam praktek konseling di institusi pendidikan dapat dijumpai kasus corak berpikir negatif tentang diri sendiri yang sebenarnya bersifat irasional (tidak masuk akal sehat); dalam kasus seperti itu penerapan pendekatan RET mencakup pula rehabilitasi kognitif terhadap corak berpikir tentang diri sendiri yang melumpuhkan semangat hidup.

Model Pelaksanaan Rational-Emotive Therapy
Kasus
Prabawa adalah seorang siswa suatu SMU di kota besar, kelas III, cawu kedua, program studi IPS. Dia tinggal bersama orang tuanya, yang mendukung cita-citanya menjadi seorang guru akuntansi. Prabawa berharap dapat diterima di Negeri di kotanya sendiri, dan telah berusaha sejak kelas I supaya nilai rata-rata dalam rapor setiap semester minimal 7. Dalam usaha ini dia telah berhasil.
Selain itu, sejak awal kelas II dia juga berhasil dalam mengikat hati seorang siswi . yang duduk di kelas yang sarna. Mereka sudah biasa pergi rekreasi bersama, meskipun pihak putri terpaksa main backstreet karena orang tuanya belum mengizinkan untuk berpacaran Pada awal cawu kedua siswi mengatakan bahwa orang tuanya telah mengetahui petualangannya dan memarahi dia; bahkan mereka mengancam ini dan itu. Siswi itu merasa terpaksa memutuskan hubungan karena dia tidak berani melawan orang tua. Prabawa jatuh dalam lembah depresi dan berpikir: "Apa gunanya meneruskan hidup di dunia ini? Saya tidak rela dicintai oleh gadis lain ataupun mencintai gadis lain. Hanya yang satu ini menjadi idaman saya! Sumber semangat belajarku dan pendukung cita-citaku sudah lenyap!".
Prabawa bolos sekolah selama satu minggu. Ketika masuk kembidi, dia dipanggil . oleh konselor di sekolahnya.
Langkah-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Prabawa: lihat bagan di bagian A. Di sini pun konselor menjelaskan alasan Prabawa dipanggil, yaitu selama satu minggu tidak masuk sekolah tanpa ada kabar, dan bertanya apakah ada sesuatuyang ingin dibicarakannya berkaitan dengan hal itu. Mula-mula Prabawa kelihatan ragu-ragu, tetapi akhirnya mengatakan bahwa memang ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Prabawa.
Dia mengutarakan bahwa semangat belajar telah hilang, setelah mengalami pukulan yang berat, gara-gara pacarnya yang tersayang memutuskan hubungan percintaan. Pacarnya adalah teman siswi sekelas yang selama satu tahun sering mau diajak pergi berdua, tetapi tiba-tiba mengundurkan diri setelah dimarahi oleh orang tuanya. Padahal, katanya, tidak ada gadis lain yang pantas dicintai. Prabawa beranggapan bahwa masa depannya menjadi sangat suram dan tidak ada sumber inspirasi lagi yang mendukung cita-citanya menjadi guru akuntansi di sekolah menengah (Pikiran irasional).
(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu mencari gambaran yang lengkap mengenai kaitan antara A, B, C (Activating Event: Belief: Consequences). Konselor akan menaruh perhatian khusus pada pikiran-pikiran irasional yang diduga mendasari rasa kehilangan semangat, karena dia akan mengusahakan supaya Prabawa berpikir rasional dalam menghadapi persoalannya.
(a) Dikaguminya; yang memutuskan hubungan ialah piliak putri, dengan memberikan alasan dilarang oleh orang tuanya (A).
(b) Kejadian ini ditanggapi dengan banyak pikiran yang irasional atau tidak masuk akal. Prabawa berpikir: "Ini musibah besar, karena cintaku yang pertama dan abadi dihancurkan begitu saja." "Tidak ada gadis lain yang akan kucintai. Gadis lain juga tidak akan mencintai diriku setulus teman siswi ini." "Dunia telah bertindak kejam terhadap diriku, apa gunanya menyambung benang hidupku ini?" "Siapa lagi yang akan memberikan inspirasi kepadaku untuk mengejar cita-citaku kalau bukan dia?" (B irasional).
(c) Sebagai akibat dari cara berpikir yang demikian, Prabawa mengalami gejolak emosional dan goncangan dalam alam perasaannya, seperti merasa kehilangan semangat hidup dan gairah untuk belajar, merasa putus asa dan merasa seperti orang yang lukanya menganga lebar dan mengeluarkan darah terus-menerus (C dalam alam perasaan). Akibat lebih lanjut ialah frabawa memutuskan urttuk tidakmasuk sekolah; ini tindakan penyesuaian diri yang salah dan malah membahayakan sukses dalam belajarnya (C dalam perilaku nyata). Narnun, karena teguran orang tuanya dia terpaksa kembali ke sekolah setelah bolos satu minggu.
(4) Membantu Prabawa untuk menemukan jalan keluar dari persoalan ini. Konselor dapat mulai dengan menjelaskan kepadanya hasil analisis di atas, sehingga Prabawa sedikit banyak mengerti apa alasannya sehingga keadaannya sekarang begini. Kemudian konselor mulai menantang seluruh pikiran yang tidak masuk akal tadi, misalnya dengan melontarkan pertanyaan: "Apa alasanmu berpendapat telah ditimpa musibah besar?"; "Apakah pengalaman yang pahit ini patut dianggap musibah paling besar bagi seorang remaja putra?"; "Apakah memang sudah pasti bahwa cinta pertama ini merupakan cinta abadi?"; "Apakah inspirasi dan semangat belajar hanya dapat diberikan oleh gadis itu?"; "Apakah orang tua siswi yang masih di bawah umur itu tidak berhak ikut bicara?; "Apakah kamu mempunyai hak menuntut supaya dunia ini memenuhi keinginan dengan serba cepat?", dan sebagainya.
Di samping itu, konselor memberikan pandangan-pandangan baru kepada Prabawa, misalnya: "Pada 'umur sekarang belum tentulah bahwa gadis itu adalah jodohmu. Mungkin saja hubungan ini akan berubah bila Prabawa dan siswi itu sudah .. menginjak dewasa"; "Anggaplah pengalaman berpacaran ini sebagai pelajaran yang berguna, yaitu Prabawa sudah mengalami keindahan cinta. tetapi sekaligus lebih menyadari harus melihat situasi dan kondisi siswi yang masih bersekolah seperti Prabawa sendiri"; "Orang tuanya mungkin menginginkan. supaya anak mereka menyelesaikan studinya lebih dahulu sebelum mengikat diri. Selain itu, tindakan backstreet tidak tepat dilakukan oleh gadis remaja, karena ini meng¬hancurkan hubungan terbuka antara orang tua dan anak"; "Tidak lebih baikkah Prabawa menyelesaikan SMU lebih dahulu dan nantinya melihat lagi kemungkinan untuk menyambung kembali hubungan dengan gadis itu, kalau dia memang cocok untuk Prabawa?"; "Lebih baiklah bagi pemuda untuk mendapatkan kepastian tentang.suatu pekerjaan, sehingga dia dapat menghidupi keluarga. Orang tua pihak putri ingin supaya kehidupan anaknya, yang diserahkan kepada seorang pria. Betul-¬betul terjamin"; "Kegagalan dalam cinta di masa remaja bukan musibah yang menghancurkan masa depan"; "Merasa kecewa sekarang ini adalah perasaan yang wajar pada umurmu sekarang"; dan lain-lain pertimbangan.
Efek dari diskusi ini ialah, bahwa Prabawa mulai berubah pikiran dan memandang pengalaman ini dengan cara yang lebih masuk akal, misalnya, "Saya akan menerima kenyataan ini. Memang saya tidak mengharapkannya: tetapi apa boleh buat? Lebih baik saya: memusatkan perhatian pada studi dahulu, supaya cita¬cita saya dapat diraih. Pengalaman cinta pertama ini saya simpan sebagai kenangan yang manis, yang nantinya dapat disambung lagi dan lain sebagainya(r kognitif). Efek lebih lanjut ialah, bahwa Prabawa menjadi lebih tenang. Rasa kecewa masih ada, tetapi rasa kehilangan semangat sudah jauh berkurang (r afektif). Akhirnya Prabawa memutuskan untuk tidak lagi mengajak teman siswi itu pergi berdua dan mengejar pelajaran yang ketinggalan (perilaku; R).
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Prabawa: lihat bagan di bagian A.

KONSELING BEHAVIORISTIK

materi 11-12 *)



Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Behavioristik.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Behavioristik
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling Behavioristik
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling Behavioristik.


Pengantar
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling, yang untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964), untuk menggarisbawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseli (counselee behavior). Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan suatu aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corakkonseling yang memandang hubungan antarpribadi (personal relationship) antara konselor dan konseli sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang. Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antarpribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Dollard dan Miller (950), Wolpe (1958), Lazarus (1958), dan Eysenck (1952) meletakkan dasar aliran baru ini, yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan baru terhadap konseling dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Thoresen (1966), Bandura (1969), Goldstein (1966), Lazarus (1966), Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam buku Counseling Methods (1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral Counseling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam perilaku konseli sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan konseling.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning), yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan (an educational process), yang terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalahan. Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati (observable), yang selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Semua usaha untuk menuatangkan perubahan dalam tingkah laku (behavior change) didasarkan pada teori belajar yang dikenal dengan nama Behaviorisme dan sudah dikembangkan sebelurn lahir aliran pendekatan Behavioristik dalam konseling. Teori belajar Behaviorisme mengandung banyak variasi dalam sudut pandangan. Oleh karena itu, pendekatan Behavioristik dalam konseling mengenal banyak variasi dalam prosedur, metode, dan teknik yang diterapkan. Meskipun demikian. jajaran pelopor pendekatan Behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan, karena itu, dapat diuoah dengan belajar baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya pun dipandang sebagai suatu proses belajar.
Konseling Behavioristikberpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat . manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:
(a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atan buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada keprihadiannya.
(b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
(c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
(d) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Keyakinan tersebut itu, sebagaimana pernah dirumuskan oleh Dustin dan George, dikutip dalam buku karangan George dan Christiani: Theory. Methods, and Processes of Counseling and Psychotherapy (halaman 108). Sejalan dengan keyakinan mendasar itu. bagi seorang konselor behavioristik perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseli ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat dan salah suai (maladjusted), harus dikatakan bahwa baik. tingkah laku tepat mauptin tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah. Di masa yang lampau orang belajar dalam interaksi dengan lingkungannya, lebih¬lebih orang lain (Lingkungan sosial). Dia telah berhadapan dengan sejumlah rangsangan (Stimulus, disingkat S) dan telah bereaksi pula dengan cara tertentu (Response, disingkat R). Cara bereaksi itu lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku. yang sesuai dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang dahulu mungkin sesuai, di waktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi kehidupannya telah berubah. Kalau pola berperilaku yang dipelajari dahulu tetap dipertahankan, meskipun situasi kehidupan telah berubah, akan ada kesulitan, alias orang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Misalnya, seorang remaja putra telah mengembangkan kebiasaan untuk mengurung diri di kamar tidurnya setiap kali berbeda biasanya tidak diutarakan oleh konseli pada waktu konseli menjelaskan masalahnya. Konselor yang berpegang pada model A-B-C baru mengetahui apa yang terjadi sesudah A dan sebelum C, tetapi belum mengetahui apa bentuk konkret dari A dan apa bentuk konkret dari c. Oleh karena itu, konselor akan mengajak konseli untuk mengidentifikasikan A dan C; rangsangan atau kombinasirangsangankonkret apa yangtelah berlangsung (A) dankeuntungan/efek positif apayangdiperoleh (C). Analisis ini sering tidak terbatas pada rangkaian A.,B"'C.yang•terdapatdi masa sekarang ini, tetapi juga menggali rangkaian A-B¬-C yang terjadi dimasa yang lampau. Ternyata seringkali perilaku yang sekarang ini juga terdapat di tahun-tahun yang lampau, sebagai reaksi terhadap rentetan peristiwa atau rangkaian pengalaman yang sama atau mirip dengan peristiwa di masa sekarang; ternyata pula,bahwa keuntungan/efek positif yang didapat di masa yang lampau sama dengan keuntungannya di masa sekarang. Dengan demikian menjadi jelas, bagaimana proses lahirnya permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang. Dapat menjadi tampak,bahwa suatu seri kejadian atau pengalaman telah menjadi situasi psikologis tertentu, yang dihadapi dengan pola berperilaku tertentu dengan memperoleh efek yang sama.,Misalnya, seorang mahasiswi telah berkali-kali mengalami perlakuan kasar dari sejumlah mahasiswa bila berkumpul. Berkali-kali pula dia bereaksi dengan mengundurkan diri dari pergaulan sama para mahasiswa itu. Lama-kelamaan setiap pertemuan antar mahasiswa baginya menjadi situasi yang mengancam dan menegangkan. Akibatnya, dia selalu cenderung pergi secepat mungkin dan menyibukkan diri dengan aktivitas lain, seperti yang sudah-sudah. Keuntungan yang diperoleh ialah rasa lega karena lolos dari ancaman. Rasa lega itulah yang dicarinya sampai sekarang. Akhirnya dia menjatuhkan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan. Namun, sebagai wanita muda dia juga berkeinginan untuk berjumpa dengan lawan jenisnya, sehingga dia akan mengalami kesukaran serius dalam pergaulan dengan kaum pria.
Di antara jajaran pelopor pendekatan Behavioristik ada yang menaruh perhatian besar pada reaksi emosional sebagai hasil belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah, dan takut-takut (anxiety), yang sering melatar belakangi rasa tidak tenang serta rasa terancam dan mendasari tingkah laku manusia. Anxiety itu bukan dibawa sejak lahir, melainkan merupakan hasil dari suatu proses belajar. Misalnya, seorang anak pernah dikejutkan sekali oleh seekor anjing besar, bahkan mungkin pernah digigit. Rasa takut terhadap anjing yang satu itu kemudian dapat dialihkan pada semua anjing dan lama ¬kelamaan menjadi rasa takut-takut (kecemasan dankegelisahan) terhadap semua binatang yang berkaki empat. Rasa serba takut.itu menjadi pendorong atau kekuatan motivasional untuk melakukan sesuatu guna mengurangi dan menghilangkan perasaan itu, misalnya dengan menjauhi semua binatang yang berkaki empat. Bila anak itu sudah menjadi dewasa dan masih menunjukkan perilaku menjauhi semua binatang yang berkaki empat, orang-¬orang lain bertanya-tanya dan mencap orang itu sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted). Rasa takut itu berfungsi sebagai reaksi dalam batin atau reaksi internal (r). yang ikut menentukan reaksi eksternal (R) atau perilaku nyata (B). Dollard dan Miller memusatkan perhatiannya pada cara perasaan itu diperoleh melalui proses belajar dan bagaimana perasaan itu melekat pada tingkah laku, bahkan pada pemakaian kata-kata tertentu dan pikiran tertentu, seperti rasa cemas bila dipakai kata seks dan muncul pikiran terkait mengenai seks. Oleh karena itu,. dalam mengadakan analisis kasus menurut model A-B-C, konselor mungkin berusaha mengidentifikasikan asal-usul perasaan khawatir, cemas, gelisah, dan takut-takut itu, dan menentukan dengan cara yang bagaimana konseli telah berusaha menghilangkan unsur perasaan itu dan menjadi tenang kembali. Contoh tentang mahasiswi di atas merupakan salah satu kasus di mana perasaan semacam itu memegang peranan; demikian pula dalam contoh tentang suami yang digambarkan di atas.
Setelah diadakan analisis kasus, konselor akan membantu konseli untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi sekarang, dengan mengembangkan suatu cara bertingkah laku yang lebih sesuai. Dalam hal ini dapat ditempuh dua jalan atau diterapkan dua siasat, yaitu:
(a) Mengubah respons/reaksi terbuka (R) atau perilaku (B) seeara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respons/reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Dalam hal ini diterapkan pola/cara belajar menurut konsepsi Pavlov, konsepsi Skinner atau menurut konsepsi Bandura, yang mungkin dikombinasikan satu sama lain untuk mencari cara yang paling efektif bagi konseli tertentu dengan kasus tertentu. Adanya rasa cemas. gelisah, khawatir, dan takut-takut dapat ikut dipertimbangkan dalam prosedur penyembuhan, dapat pula tidak. Di Amerika Serikat telah dikembangkan berbagai variasi dalam prosedur mengusahakan mengubah perilaku secara langsung, seperti yang dikenal dengan nama desensitization. counterconditioning, social modeling, dan reinforcement program. Dalam prosedur-prosedur itu diusahakan suatu perubahan dalam Antecedent dan/atau Consequence, sehingga Behavior yang terdapat di antara kedua hal itu akan berubah pula. Seandainya diakui peranan dari suatu reaksi internal yang berupa perasaan dan/atau pikiran (r); peranan itu tidak ditanggulanginya secara khusus. atas dasar pertirnbangan bahwa perubahan dalam respons/reaksi tertutup akan mengikuti perubahan dalam respons/reaksi terbuka. Jadi mengubah R dahulu, kemudian akan menyusul perubahan dalam r dengan sendirinya. Berbagai prosedur itu umumnya dikenal dengan nama modifikasi tingkah laku (Behavior Modification), yang diterapkan terhadap orang yang mengidap penyakit jiwa atau mengalami gangguan neurotik (psikoterapi) diterapkan pula terhadap anak-anak yang sukar dididik, bahkan terhadap anak-anak normal di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Misalnya, seorang anak yang takut terhadap kelinci dan menjerit-jerit bila kelinci itu ditaruh di tempat yang dekat padanya. secara berangsur-angsur dibuat tidak menjerit lagi, bahkan bersedia mengelus-elus kelinci itu. Prosedur yang digunakan ialah menaruh kelinci itu di tempat yang agak jauh pada waktu anak sedang asyik menikmati sepotong cokelat manis. lni diulang-ulang, tetapi setiap kali kelinci itu ditaruh makin dekat padanya, sampai akhirnya dapat dipangku tanpa menjerit-jerit (counterconditioning). Seorang anak dapat belajar bertingkah laku tepat dengan meniru suatu model yang memperlihatkan tingkah laku yang tepat, misalnya bersalaman dengan orang yang tidak dikenal. Berbagai prosedur itu dapat saja diterapkan dalam konseling di. sekolah dalam kasus-kasus tertentu, tetapi kebanyakan konselor di indonesia tidak dipersiapkan khusus untuk merancang suatu prosedur modifikasi tingkah laku yang sesuai untuk setiap kasus yang ditangani. Oleh karena itu, pengubahan tingkah laku secara langsung menurut prosedur yang diutarakan di atas, tidak akan dibahas lebih lanjut di sini.
(b) Mengubah respons/reaksi tertutup (r) lebih dahulu, lebih-Iebih tanggapan pikiran dalam batin seseorang; sebagai akibat respon/reaksi terbuka (R) akan berubah pula, namun tidak secara langsung seperti dalam butir (a) di atas. Sesuai dengan yang diterangkan diatas tentang peranan tanggapan pikiran (mediating response), telah dikembangkan suatu pendekatan Behavioristik yang dikenal dengan nama Pendekatan Kognitif-Behavioristik (Cognitil'e-Behavioral Approach). Tentang pendekatan ini diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

Tokoh/pakar seperti Bandura (1977), Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron (1977), dan Ellis (1977) menekankan peranan dari persepsi, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S r R. Manusia dapat mengatur baik perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri. Corak pendekatan ini mengenal beberapa variasi dalam prosedur yang diikuti; seperti Assertive Training, Thought Stopping, Attribution Psychology, Self¬ Management (dikombinasikan dengan pendekatan secara langsung. seperti dalam butir (a), Cognitive Restructuring dan Rational-Emotive Therapy. Di sini pun dicari prosedur yang paling efektif bagi konseli tertentu dalam permasalahan tertentu. Misalnya. seseorang yang berbadan terlalu gemuk karena salah makan, dapat dibantu dengan mengembangkan suatu program mengatur waktu makan dan kuantitas bahan makakan, dengan memberikan suatu peneguhan (reinforcement) kepada dirinya sendiri setiap kali setia pada pelaksanaan program kerja itu, seperti nonton acara TV yang sangat-digemari atau memberikan pujian kepada diri sendiri (self-management). Misalnya pula, seorang karyawan yang selalu takut menghadapi pimpinannya untuk membicarakan suatu kepentingan, dapat dibantu dengan meninjau apa sebab-sebabnya dia merasa takut, mempertimbangkan semua alas an positif yang mendorong untuk menghadap, dan memikirkan pula cara berbicara yang tidak akan menimbulkan ketegangan dan konflik, disertai latihan menghadap seorang atasan yang dimainkan oleh konselor (assertive training, kombinasi antara pendekatan tidak langsung dan langsung).
Semua prosedur itu telah diterapkan oleh yang ahli dalam pendekatan Behavioristik ini terhadap banyak orang dalam berbagai macam permasalahan, baik yang mengandung. unsur kegelisahan dan kecemasan maupun yang tidak, dengan taraf keberhasilan yang berbeda-beda. Prosedur yang teruji ini dapat diterapkan dalam konseling di jenjang pendidikan menengah dan perguruan tinggi, namun diragukan apakah jajaran konselor sekolah di Indonesia dewasa ini sudah cukup terlatih dalam mengaplikasikannya terhadap kliennya secara jeli. Namun, ini tidak berarti bahwa corak pendekatan konseling Behavioristik ini tidak dapat digunakan oleh konselor sekolah terhadap kaum remaja dan mahasiswa. Banyak kasus berkisar pada rasa khawatir, takut, main, bersalah, muak, dan benci, yang semuanya disertai perasaan gelisah, cemas, dan tidak tenang. Perasaan itu menyangkut orang lain, benda-benda, dan kejadian-kejadian tertentu. Aneka rasa tersebut timbul karena konseli tidak pernah mendapat kesempatan untuk belajar hal-hal tertentu, seperti kelincahan dalam bergaul dengan orang lain (social skills) dan cara membawakan diri di hadapan umum; dapat pula timbul masalah karena kesempatan penyesuaian yang ada tidak dipergunakan semestinya, gara-gara pengaruh negatif dari beraneka perasaan itu, seperti terjadi dalam kasus mahasiswi yang diutarakan di atas. Perbedaan itu akan tampak dalam analisis kasus, ketika konselor menggali rangkaian A-B,-C di masa sekarang dan di masa yang lampau. Konseli kemudian dibantu untuk mengakui rasa takut dan perasaan cemas dalam batinnya sendiri (r afektif), dan meninjau masalahnya dari sudut lain serta memikirkan suatu cara bereaksi yang lain (r kognitif) sebagai langkah intermediar untuk berperilaku yang lebih tepat.
Sebagai contoh: mahasiswi yang akhirnya sangat takut untuk bergaul dengan teman¬-teman mahasiswa, dapat diajak untuk memikirkan suatu tanggapan kognitif yang lebih baik, seperti: "Saya tidak perlu menjatuhkan vonis atas semua pemuda. Saya harus membedakan antara mahasiswa yang genah (benar) dan tidak genah (tidak benar). Saya dapat menolak ajakan yang tidak sopan. Saya dapat menyatakan keberatan saya terhadap perlakuan tertentu. Saya dapat menghindari pembicaraan dengan pemuda yang tidak genah dan hanya bergaul dengan pemuda yang tahu cara membawa diri dan sebagainya. Lalu dirundingkan tatacara bergaul yang baik dan tepat tanpa disertai perasaan was-was akan dirugikan. Akhirnya program kerja itu mulai diterapkan di luar ruang konseling: kalau program kerja itu berhasil, dia akan mendapat peneguhan yang diberikan kepada diri sendiri (menurut konsepsi Skinner). Misalnya pula, seorang yang takut pada darah dan akhirnya takut pada warna merah, dapat diajak untuk melihat arti-arti lain yang melekat pada warna merah, seperti kepahlawanan. (bendera nasional) dan keindahan (bunga mawar). Seandainya darah sampai sekarang dipersepsikan sebagai lambang kematian dan kehilangan hidup, orangnya dapat diajak untuk menanggapinya dengan cara lain, seperti memberikan kehidupan (transfusi darah) (menurut konsepsi Pavlov). Tanggapan-¬tanggapan kognitif yang lebih tepat tergantung sekali dari kasus konkret, dari wujud tingkah laku yang harus berubah (B), dari rangsangan sebelumnya (A), dan dari bentuk peneguhan yang efektif (C). Dengan demikian, pendekatan Behavioristik menurut siasat yang diutarakan dalam butir (b) tadi dapat diterapkan terhadap kasus orang takut pada sesuatu, asalkan konseli ini mampu berefleksi atas tingkah lakunya sendiri.
Pendekatan Konseling Behavioristik masih dalam taraf penelitian untuk menentukan efektivitas dari berbagai prosedur spesifik seperti yang diutarakan di atas. Namun, dewasa ini semakin ditekankan bahwa pendekatan Behavioristik dapat menunjukkan fleksibilitas yang besar, karena tujuan konseling (perubahandalam tingkah laku) dan prosedur yang diikuti untuk sampai pada tujuan itu disesuaikan dengan kebutuhan nyata pada konseIi dalam setiap kasus. Selain itu, seorang konselor Behavioristik dewasa ini mengakui sepenuhnya bahwa suasana kepercayaan dan hubungan antarpribadi yang menyenangkan (working relationship) juga sangat penting. Dengan demikian, kritik negatif yang dahulu kerap dilontarkan terhadap pendekatan. Behavioristik sebagai manipulasi manusia yang tidak manusiawi agak kehilangan sengatnya. Diprakirakan bahwa pendekatan Behavioristik akan. semakin bergeser dari usaha membantu orang yang mempunyai masalah ke arah membekali orang dengan aneka siasat untuk mencegah timbulnya persoalan kejiwaan yang serius. Dalam hal ini Burks dan Stefflre dalam bukunya Theories of Counseling (1979) mengatakan:"The skills necessary to help clients become their own behavioral counselors .,. via self management techniques will be given increased emphasis." (halaman 250). Namun, pendekatan ini kiranya tidak bermanfaat bagi orang yang masalahnya bukan cara bertingkah laku yang salah/tidak sesuai, melainkan kehilangan arti dan makna dalam hidup atau memandang dirinya sebagai kegagalan total.

Model Pelaksanaan Konseling Behavioristik
Kasus
Palupi adalah siswi di SMK, kelas II, catur wulan IV Dia berumur 16 tahun, putri kedua dari lima bersaudara. Orang tua berpendidikan SLTA dan berhasil menciptakan suasana kehidupan keluarga yang akrab. Wali kelas II, seorang ibu, menaruh perhatian besar terhadap .perkembangan siswa di kelasnya. Pada suatu hari wali kelas itu menghubungi konselor sekolah untuk minta tolong dalam menghadapi kasus Palupi. Wali kelas menjelaskan: dia sudah lama memperoleh kesan bahwa Palupi menghadapi kesulitan yang menyangkut pergaulan dengan siswa lain jenis di sekolah. Wali kelas sudah kerap menyaksikan bahwa Palupi, setiap kali diajak bicara oleh seorang anak putra, menghindar dan menolak berbicara. Dia segera lari ke kelompok teman/kawan putri, seolah-olah mencari perlindungan dari mereka. Bahkan, baru-baru ini Palupi menolak tawaran dari wali kelasnya untuk ikut dalam mementaskan drama, dengan alasan tidak suka tampil di panggung bersama dengan pemain-pemain putra.
Wali kelas mengusulkan kepada konselor untuk mengajak Palupi bicara dan konselor menyatakan dirinya sanggup. Ketika konselor mcmanggil Palupi, mula-mula siswi itu agak segan berbicara, tetapi kemudian membuka diri. Dia mengakui merasa benci dan sekaligus takut terhadap semua anak putra. "Mereka semua jahat dan maunya hanya menindas cewek," katanya. Hanya kepada kedua adiknya yang laki-laki, yang masih di SD, dia merasa sayang. Dia mengatakan juga, "Lebih baik tidak menikah daripada jatuh dalam lembah kenistaan."
Konselor menduga bahwa Palupi telah mengalami hal-hal tertentu dan akhirnya menjadi merasa benci pada semua siswa putra; maka konselor ingin membantu Palupi bersikap lain dan bertindak lain.
Langkah-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Palupi: lihat bagan di bagian A. Di sini pun konselor menjelaskan alasan Palupi dipanggil dan bertanya apakah Palupi memang mengalami suatu kesulitan. Palupi mengakui ada kesulitan dalam bergaul dengan anak putra dan bersedia membicarakan hal ini dengan konselor.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Palupi.
Palupi mengutarakan bahwa dia tidak suka ikut dalam pementasan drama kalau ada pemain putra. Dia mengatakan juga bahwa dia merasa lebih tenang dalam bergaul dengan kelompok teman/kawan putri saja. Dia merasa takut dan benci pada teman/kawan putra dan menyalahkan mereka menindas cewek saja. Dia mempunyai pikiran untuk tidak pemah menikah dari pada dihadapkan pada ulah laki-Iaki.
(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu mencari gambaran yang lengkap mengenai kaitan antara A-B dan C (Antecedents, Behavior; Consequences). Konselor akan menaruh perhatian khusus pada semua reaksi internal (r) karena dia akan mengusahakan supaya Palupi mengubah dahulu reaksi pikiran dan perasaan sebagai jalan intermediar untuk mengubah perilakunya (R).
(a) Pada saat sekarang perilakunya yang nyata ialah menghindari pembicaraan dengan teman/kawan putra dan menolak tawaran untuk berpartisipasi dalam pementasan drama (B). Anteseden adalah sapaan oleh teman putra dan tawaran ikut main pentas bersama dengan beberapa anak putra (A). Akibatnya dari penghindaran dan penolakan .adalah rasa tenang dan perasaan lepas dari suatu bahaya yang mengancam (C); hal-hal ini diakui oleh Palupi ketika konselor memancing bagaimana perasaannya setelah menghindarkan diri. Ini sekaligus berfungsi sebagai penguat (reinforcement).
(b) Konselor bertanya-tanya mengenai pengalaman-pengalaman Palupi di masa yang lampau, apakah pernah terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam bergaul dengan teman/kawan putra. Ternyata ada, yaitu pada waktu belajar di SMP rambutnya sering ditarik-tarik oleh beberapa siswa putra; di kampungnya sering diejek oleh pemuda brandal karena wajahnya penuh jerawat; pada waktu pergi ke Sekaten menyaksikan banyak pemuda mengganggu gadis-gadis dengan cara yang kasar; dari pernah menyaksikan film horor di mana wanita disakiti oleh laki-Iaki (A). Reaksinya adalah selalu sama, yaitu menghindar (R) dan merasa takut serta jijik (r). Setelah dia menghindar dan menyembunyikan diri dalam kelompok teman/kawan putri, dia.merasa aman dan lega (C). Konselor mulai mengerti bahwa dalam sejarah hidup Palupi telah terjadi generalisasi: tindakan ancaman dari kaum putra diartikan sebagai situasi yang menegangkan, yang diatasi dengan cara melarikan diri sebagai reaksi biasa. Dengan demikian Palupi menggali lubang untuk diri sendiri kafena dia semakin cenderung untuk: melarikan diri dan dengan demikian mendapatkan ketenangan; namun sekaligus dia membuat keadaan dirinya sendiri semakin sulit untuk diatasi (unsur peneguhan atau reinforcement). Dengan demikian menjadi jelas bagaimana telah berlangsung suatu proses belajar pada Palupi dan telah terbentuk suatu pola reaksi terhadap suatu situasi khusus, yang mula-mula menyangkut pemuda nakal dan kemudian meluas menjadi bergaul dengan sembarang pemuda.
(4) Membantu Palupi untuk menentukan penyelesaian yang memuaskan. Konselor dapat menjelaskan kepada Palupi bahwa kecenderungannya untuk melarikan diri dan rasa takut serta jijik merupakan hasil dari suatu proses belajar, sampai akhirnya Palupi tidak mengenal pola reaksi yang lain terhadap situasi yang khusus itu. Kemudian, konselor membantu Palupi untuk mengakui reaksi perasaannya sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi tetapi sekaligus dapat diatasi kalau dia berani mengubah pandangannya terhadap beraneka peristiwa yang telah dialaminya. Konselor dapat bertanya, apakah dia juga mempunyai pengalaman berisikan lain dalam pergaulan dengan seorang pemuda, bahkan dengan pria pada umumnya. Ternyata memang ada, misalnya beberapa kali ditolong oleh seorang pemuda kenalan baik mendapat perlakuan baik dari guru-guru pria yang masih bujang selama duduk di SMP dan ayahnya sendiri selalu menunjukkan kasih sayang kepadanya. Pokoknya, digali pengalaman mengesankan yang positif untuk mengimbangi pengalaman mengesankan yang negative. Selain itu, konselor menunjukkan pada kata-kata Palupi sendiri bahwa diasayang pada kedua adiknya yang laki-laki. Ini semua dikemukakan dengan tujuan supaya Palupi membuka cakrawalanya. Kemudian, konselor mengajak Palupi untuk memikirkan tanggapan kognitif yang lain terhadap peristiwa/kejadian negatif yang dialami, misalnya perlakuan kasar dari beberapa pemuda tidak harus dipandang sebagai bahaya yang mengancam jiwanya. Dia dapat menegur pemuda seperti itu dengan kata-kata yang tegas: dia dapat mengacuhkan perlakuan itu dan seolah-olah tidak melihat atau mendengar apa-apa. Reaksi melarikan diri hanyalah tepat bila keselamatannya sungguh-sungguh terancam. Kalau terus-menerus merasa takut pada pemuda, bagaimana akibatnya nanti bila timbul keinginan untuk mendapatkan seorang pacar seperti pemudi sebaya yang lain? Pokoknya, Palupi harus dibantu untuk membedakan antara pemuda yang sungguh-sungguh tidak genah, pemuda remaja yang sedikit nakal, dan pemuda yang betul-betul genah. Hanyalah mereka yang sungguh-sungguh tidak genah patut dihindari; yang sedikit nakal dikoreksi saja; yang betul-betul genah boleh bergaul dengan dia tanpa dia menentukan macam-macam syarat, supaya tabu bagaimana kaum pria itu. Dengan jalan yang demikian Palupi mulai memikirkan tatacara lain dalam berhadapan dengan seorang pemuda. Pemikiran/tanggapan kognitif yang baru ini tidak serta merta menghilangkan rasa takut dan benci, tetapi memberi kemungkinan untuk menghilangkan rasa takut dan benci itu walau memakan waktu yang lama. Kemudian, konselor mengusulkan kepada Palupi untuk berani terjun, dengan menerima tawaran ikut serta dalam pementasan drama dan berpartisipasi dalam kelompok belajar putra-putri di sekolahnya. Perilaku nyata (R) ini akan membantu Palupi mengusahakan sesuatu yang konkret, yang tidak hanya tinggal gagasan saja. Akhirnya, Palupi menyatakan kerelaannya untuk terjun dan mencari pengalaman baru dalam bergaul dertgan teman putra di sekolahnya.
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Palupi: lihat bagan di bagian A. .