RUANG LINGKUP Konseling

Jumat, 19 Februari 2010

defisini, tujuan, visi, misi, paradigma, azas, landasan, bidang bimbingan, layanan, program, dll

tambahan :
MENGASAH KECERDASAN MENYELURUH

IQ (intelligency Quotient)
Kecerdasan, nalar, logika, daya ingat, hitungan, analisa

EQ (Emotional Quotient)
N-Ach, penempatan diri, empati, control emosi

SQ (Spritual Quotient)
Keseimbangan hidup, karakter diri, dunia-akhirat, jasmani-rohani,
rasional-spiritual, kejujuran, murah hati, penyayang

AQ (Adversity Quotient)
Kegigihan, semangat tinggi, enduran/bertahan, pantang menyerah,
Quitters-Campers-Climbers


BERSIKAP SEPERTI HALNYA ORANG SUKSES

1. Sikap social : Proaktif, untungkan orang lain
2. Sikap akhlak : Teruji, terbukti
3. Sikap kerja : Berlatih, asah gergaji
4. Sikap ekonomi : Enterprenuer, punya angsa
5. Sikap hasil : makan sirung, bukan batang
6. Sikap keilmuan: high skills, up to date
7. Sikap teologis : do’a, bersama Tuhan, untuk Tuhan
8. Sikap diri : efektif, disiplin, target lebih, sesuai anggaran, berebut
tanggung jawab, tepat janji, anti hutang konsumsi, loyal,
menghargai atasan, gembira, hangat, pecahkan masalah


MENGUBAH MINDSET

jangka pendek --- jangka panjang
sentralistik --- desentralistik
pemerintah --- masyarakat
konsumtif --- produktif
bergantung --- mandiri

asal-asalan --- terbaik
elitis --- egaliter
nepotisme --- meritokrasi
hierarkis --- hiterarkhis

negative --- positif
pesimis --- optimis
konflik --- sinergis
terpenggal --- terpadu
protokoler --- substansial

kerja sendiri --- kerja tim
dadakan --- terencana
cari-cari masalah --- temukan solusi

KONSELING RATIONAL-EMOTIVE THERAPY

materi 13-14


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut RET.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling RET
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling RET
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling RET.

Pengantar
Istilah Rational-Emotive Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena; paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking, berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat. Pelopor dan sekaligus promotor utama corak konseling ini adalah Albert Ellis, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku, antara lain buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), A new Guide to Rational Living (1975), serta karangan yang berjudul The Rational-Emotive Approach to Counseling dalam buku Burks Theories of Counseling (1979). Menurut pengakuan Ellis sendiri corak konseling Rational-Emotive. Therapy (disingkat RET) berasal dari aliran pendekatan Kognitif-Behavioristik. Banyak buku yang telah terbit mengenai tata cara memberikan konseling kepada diri sendiri, mengambil inspirasi dari gerakan RET, misalnya J.Lembo, Help Yourself, yang telah disadur pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Berusahalah Sendiri (1980).
Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
(a) Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan makhluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia mempunyai kekurangan dan keterbatasan, yang dapat mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
(b) Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan(values) untuk sebagian ditentukan.baginya, namun untuk sebagian juga dibentuk sendiri serta dikejar sendiri. Salah satu nilai kehidupan adalah kebahagiaan, yang dapat dipilih atau tidak dipilih sendiri sebagai tujuan utama yang pantas dikejar. Tujuan utama ini terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, seperti merasa bahagia dengan dirinya sendiri, merasa bahagia dalam berinteraksi dengan orang lain, merasa bahagia dalam kemandirian ekonomis, dan merasa bahagia dalam menikmati berbagai kegiatan rekreatif.
(c) Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian, berpikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagiaan itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya; tidak pantaslah mereka lalu mempersalahkan orang lain atau nasib hidup malang sebagai biang keladi ketidakbahagiaan mereka.
(d) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berpikir dengan akal sehat, tetapi dapat juga berpikir salah dan dengan demikian menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri. Kesukaran ini menggejala dalam alam perasaannya dan dalam caranya bertindak. tetapi pada dasarnya bersumber pada berpikir yang keliru atau berpikir yang disebut berpikir yang tidak rasional (irrational thinking; illogical thinking). Karena perasaan menyertai berpikir dan, bahkan, sering diciptakan oleh pikiran, pikiran yang irasional akan menghasilkan perasaan yang tidak membahagiakan serta tidak mendukung perilaku yang tepat. Misalnya, bilamana seseorang memandang suatu kegagalan sebagai pukulan yang menghancurkan kehidupannya untuk selanjutnya (berpikir irasional), dia akan merasa putus asa dan sangat depresif (berperasaan yang mematikan semangat) dan akan bertindak yang kurang sesuai, seperti mempersalahkan orang lain (bertindak destruktif). Sebaliknya, bila orang itu memandang kegagalan itu sebagai cermin dan sebagai cambuk untuk berusaha lagi (berpikir rasional), dia tetap akan merasa kecewa dan sedih, tetapi perasaan itu tidak mematikan semangat. Selanjutnya dia akan berpikir bagaimana sebaiknya bertindak kemudian, sehingga tingkah lakunya tepat dan sesuai.
(e) Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irasional (irrational beliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan sosial dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih. Albert Ellis. sendiri mengakui mula-mula merumuskan 11 keyakinan irasional yang dianggapnya dipegang oleh banyak orang, tetapi kemudian ditinjau kembali, Jumlah itu dikurangi sampai tiga keyakinan dasar yang irasional, yaitu tiga keharusan yang disampaikan olehorang kepada dirinya sendiri:
(1) Saya harus berhasil dalam segala-galanya dan harus disayangi oleh semua orang yang penting dalam hidup saya. Kalau saya tidak mendapat rasa sayang, saya mengalami musibah; maka saya adalah orang yang brengsek!
(2) Kamu harus memperlakukan saya dengan ramah dan adil. Bagi saya timbul musibah, kalau kamu tidak berbuat demikian. Saya tidak tahan lagi berurusan dengan kamu! Maka kamu tak lain tak bukan adalah setan belaka!
(3) Kehidupan ini harus bersikap manis terhadap saya dan membekali saya dengan semua yang saya inginkan. Ini pun harus terlaksana segera. Kalau tidak, saya akan hancur. Maka saya tidak bertahan lagi hidup dalam dunia ini! Dunia ini hanya neraka besar dan hutan rimba belaka!
(f) Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa. Bila berpikir, manusia seolah-olah mengucapkan kata-kata kepada diri sendiri. Orang mempertahankan pikiran yang rasional atau yang tidak rasional dengan berbicara kepada diri sendiri dan mengucapkan dalam batinnya sendiri uraian kalimat tertentu, seperti yang dirumuskan dalam butir (e) di atas.
(g) Bilamana seseorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada rentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung (activating event; activating experience), melainkan pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan pengalaman itu (irrational beliefs). Tanggapan kognitif yang tidak masuk akal itu biasanya terdiri atas beraneka tuntutan mutlak, perintah keras kepada diri sendiri dan berbagai keharusan. Perasaan negatif yang muncul sebagai akibat dari. pikiran irasional itu, dipandang sebagai suatu reaksi perasaan yang tidak wajar (inappropriate emotions), yang biasanya terdiri atas rasil depresif,rasa cemas dan gelisah yang mendalam, rasa putus asa, rasa bermusuhan, dan rasa tak punya harga diri. Perasaan yang demikian disebut tidak wajar, karena menghambat orang dalam menghadapi tantangan/bantingan hidup dan membunuh semangat berusaha bahkan sering membuat keadaan orang lebih buruk. Sebaliknyalah tanggapan rasional (rational belief) disertai suatu reaksi perasaan yang wajar (appropriate feelings). Tanggapan yang masuk akal biasanya terdiri atas berbagai keinginan, aneka harapan, dan bermacam preferesi, sedangkan reaksi perasaan yang wajar meliputi perasaan positif seperti rasa cinta, rasa bahagia, rasa tenteram, dan rasa puas; serta perasaan negatif seperti rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, rasa bosan, rasa tidak suka, dan rasa marah. Semua reaksi perasaan itu, baik yang positif maupun yang negatif, disebut wajar karena menimbulkan semangat untuk berusaha mengubah hal¬-hal yang tidak diinginkan dan mengganggu kebahagiaan hidup.
(h) Untuk membantu orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara lebih rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Maka, pada dasarnya, konselor yang menerapkan corak konseling ini mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring). Untuk itu, tidak perlu konselor menggali seluruh sejarah. kehidupan konseli, bahkan juga tidak mengorek keseluruhan asal-usul permasalahan yang dihadapi sekarang dengan membongkar masa lampau. Konselor RET memusatkan perhatiannya pada masa sekarang dan tidak sebegitu mengindahkan apa yang terjadi di masa yang lampau. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan pendekatan Behavioristik, meskipun Ellis berpegang pada banyak unsur dalam pendekatan Behavioristik secara tidak langsung.
(i) Mengubah diri dalam berpikir irasional bukan perkara yang mudah, karena orang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya. Misalnya, seorang mahasiswa yang mengeluh ke mana-mana bahwa dia selalu gugup dalam menempuh ujian, mungkin saja mempertahankan keluhannya dengan meyakinkan diri terus-menerus bahwa “Aku memang paling bodoh di antara ternan-ternan; seharusnya aku pandai". Dengan merasa cemas terus-menerus mengenai ketidakmampuannya dan dengan mendapatkan simpati dari beberapa dosen mengenai kegugupannya, akhirnya mahasiswa itu jatuh dalam suatu lingkaran setan yang jalan keluarnya tidak muncul¬-muncnl (self-defeating behavior). Meskipun perubahan pada diri sendiri tidak mudah. patut diusahakan dengan menyerang kekacauannya dalam berpikir dan melatih diri mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkret.
(j) Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri, menerima tanggung jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak dukungan dari orang lain; memberikan hak kepada orang lain untuk berbuat salah tanpa menjatuhkan hukuman neraka atas mereka sebagai manusia; menerima kenyataan, bahwa banyak hal dalam kehidupannya tidak dapat diramalkan secara pasti; berpikir objektif tentang diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain; berani niengambil risiko yang wajar dan mencoba hal-hal yang baru; menerima diri sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri sehingga dapat menikmati hidup; dan mengakui bahwa mustahillah tidak pernah mengalami rasa frustrasi, rasa sedih, rasa kesal, dan sebagainya.
(k) Konselor harus membantu konseli mengubah pikirannya yang irasional dengan mendiskusikannya secara terbuka dan terus-terang (Dispute). Dalam kaitan ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang, mengajarkan tata cara berpikir yang lain, memperolok-olok pikiran yang bodoh, memberikan contoh-¬contoh tentang orang lain, menyuruh membayang-bayangkan, dan sebagainya, mana yang ternyata efektif bagi konseli tertentu.
(1) Diskusi itu akan menghasilkan efek~efek (effects),yaitu pikiran-pikiran yang lebih rasional (cognitive effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emotional effects), dan berperilaku yang lebih tepat dan lebih sesuai (behavioral effects). Misalnya, mahasiswa dalam butir (i) akan berpikir: "Siapa bilang, bahwa aku orang yang paling bodoh? "Kegagalan sampai sekarang tidak berarti studiku sudah hancur! Aku tidak perlu mencapai taraf prestasi segemilang beberapa teman. Aku dapat mencapai hasil sesuai dengan kemampuanku, asal aku berusaha dengan sungguh-sungguh!" Dia masih merasa kecewa tentang hasil sampai.sekarang, tetapi tidak merasa putus asa lagi. Lalu dia memikirkan tata cara belajar yang lebih efisien dan pembagian waktu yang lebih baik. Rencana itu kemudian mulai dilaksanakan dan temyata taraf prestasi belajar secara berangsur-angsur membaik.
Dalam melayani konseli konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. A adalah kejadian atau pengalaman tertentu (Activating Event; Activating Experience), yang ditanggapi oleh subjek dalam bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang A (Belief) yang dapat rasional atau tidak rasional. Reaksi emosional dan perilaku (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau keyakinan kognitif, yang dapat berupa reaksi perasaan yang wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai atau jelas tidak sesuai. Masalah klien timbul karena keyakinan-keyakinan yang irasional, yang pada gilirannya menimbulkan reaksi perasaan yang tidak wajar dan tingkah laku yang salah suai . Dalam urutan A-B-C ini A bukan sebab dari C, melainkan B terhadap A menjadi sebab timbulnya C. Kalau B adalah irasional dan tidak masuk akal, akibatnya C akan tidak wajar dan salah suai, kalau B adalah rasional dan masuk akal akibatnya C akan wajar dan sesuai. Maka, bila ternyata bahwa konseli berpegang pada B yang irasional, konselor kemudian akan melangkah ke D (Dispute) untuk menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects). Dengan demikian terdapat rangkaian A-B-C-D-E. Sebagai contoh:
A : Seorang mahasiswa menerima surat dari seorang gadis, yang dianggapnya sebagai pacar, cintanya yang pertama. Surat itu berisikan pesan hubungan kita sampai disini saja.
B : Mahasiswa menginterpretasikan kejadian ini sebagai malapetaka besar dan berkata kepada diri sendiri: "Aku seharusnya mendapat tanggapan yang positif. Kamu seharusnya tidak menolak saya. Ini musibah paling besar bagiku. Rasa harga diriku diinjak-injak. Usahaku gagal total dan karena itu akulah pemuda yang brengsek! Apakah masih ada arti dalam hidupku? Kenapa masih mempertahankan hidupku di. dunia ini?" Pikiran-pikiran semacam itu bercorak irasional dan tidak masuk akal.
(Corak berpikir yang lain ialah: "Ini tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memutuskan hubungan. Sebenarnya lebih baik dia memberikan penjelasan. Tetapi, apa boleh buat, kelihatannya dia sudah mantap pada keputusannya." Berpikir seperti itu ternyata jauh lebih rasional.)
C : Sebagai akibat dari pikiran irasional di atas, mahasiswa itu merasa putus asa serta depresif dan tidak bersemangat hidup lagi. Reaksi emosional ini menggejala dalam berbagai ungkapan ketegangan, misalnya sukar tidur, kehilangan nafsu makan, dan marah-marah pada teman-teman. Lalu dia tidak masuk kuliah selama 2 minggu dan mengirimkan surat kepada penasihat akademik untuk minta izin karenasakit.
(Reaksi emosional yang lain ialah rasa kecewa, rasa frustrasi, dan. tidak suka akan perlakuan yang demikian. Dia kemudian mengirimkan surat kepada pemudi itu untuk minta penjelasan tentang hubungan akrab diputuskan Namun, sementara itu dia tetap melakukan kewajibannya sebagai mahasiswa. Kalau begitu, mahasiswa tidak perlu menghadap konselor!)
D: Konselor menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa perasaannya yang serba putus asa adalah akibat dari caranya menanggapi kejadian penerimaan surat putus hubungan; juga dijelaskan, bahwa aneka gejala gangguan perasaan adalah akibat dari pikirannya yang tidak masuk akal,dan bahwa pengiriman surat minta izin bukan cara penyelesaian masalah yang efektif. Kemudian konselor mulai menantang segala pikiran irasional pada B di atas, misalnya dengan bertanya: "Siapa bilang bahwa kamu seharusnya tidak ditolak? Apakah surat itu bermakna menjatuhkan Anda dalam lembah kenistaan? Apakah seorang pemuda yang tidak berhasil dalam cintanya yang pertama harus dianggap sudah brengsek?", dan sebagainya. Konselor juga menjelaskan. bahwa dia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman ini, misalnya: “Lain kali jangan menaruh harapan dengan serba cepat. Kegagalan dalam cinta pertama membuat orang lebih matang dalam menghadapi hubungan percintaan dengan orang lain." dan sebagainya.
E : Konseli berubah dalam caranya menanggapi A, misalnya seperti pada butir B di atas, di antara tanda ( ). Reaksi dalam alam perasaannya berubah juga dan dia mengambil tindakan lain, misalnya seperti pada butir C di atas, di antara tanda ( ).
Tentu saja proses konseling tidak mulai pada A, tetapi pada suatu saat setelah A-B-C telah terjadi dan mahasiswa itu menyadari dia tidak mampu menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan seorang konselor. Selama proses konseling A-B-C akan menjadi jelas dan konselor menangkap hubungan antara A-B-C. Kemudian konselor menjelaskan peranan dari B yang irasional dan mulai menantangnya untuk mencapai efek E. Namun, konselor biasanya tidak membiarkan konseli untuk mengutarakan kejadian atau pengalaman (A) dengan panjang lebar dan secara mendetail; hanya secukupnya supaya menjadi jelas terhadap hal apa diberikan tanggapan kognitif (B). Demikian pula, tidak dianggap berguna ungkapan perasaan seperti putus asa, depresif, tidak bersemangat, dan bermusuhan diperpanjang, karena yang jauh lebih penting adalah berbagai keyakinan irasional yang melandasi ungkapan perasaan itu. Konselor menunjukkan sikap penerimaan, pemahaman, dan penghargaan sejauh diperIukan untuk menciptakan suasana komunikasi antarpribadi yang memuaskan (working relationship), tetapi hubungan antarpribadi tidak dianggap sebagai satu-satunya kondisi yang mencukupi bagi keberhasilan konseling, seperti pada Client-Centered Counseling. Untuk melengkapi diskusi tcntang rangkaian keyakinan irasional yang harus diubah, konselor Koseling memberikan suatu tugas Pekerjaan Rumah (Homework), seperti melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya yang tidak masuk akal; membayangkan reaksi perasaan yang wajar untuk melawan yang tidak wajar (Rational Emotive Imagery); dan mengisi format yang disebut Rational Self Help Form yang diterbitkan oleh The Institute for Rational-Emotive Therapy di New York City. Format ini dapat Anda lihat pada halaman berikut.
RET menunjukkan baik kelebihan maupun kelemahan. Kelebihannya ,ialah tekanannya pada peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan .. Kelemahannya ialah kurangnya pengakuan terhadap perasaan nada dasar (stemming) sebagai suatu faktor yang sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang tidak sebegitu rnudah mengalami perubahan. Meskipun demikian, corak konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor sekolah terhadap siswa remaja dan mahasiswa, yang mengalami reaksi-reaksi perasaan negatif yang kuat dan agak mewarnai suasana hati, seperti rasa cemas, rasa gelisah, rasa putus asa, tidak bergairah, dan tidak bersemangat. Konselor menduga bahwa ungkapan perasaan itu berkaitan dengan suatu pengalaman hidup, yang diberi interpretasi negatif berdasarkan cara berpikir yang kurang "sehat" dan/atau kurang masuk akal.
Suatu sistematika lain yang juga mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring) dikembangkan oleh Meichenbaum, yang terpusat pada pesan-pesan negatif yang disampaikan oleh orang kepada diri sendiri dan cenderung melumpuhkan kreativitasnya serta menghambat dalam mengambil tindakan penyesuaian diri yang realistis. Menurut pandangan Meichenbaum orang mendengarkan diri sendiri dan berbicara kepada diri sendiri, yang bersama-sama menciptakan suatu dialog internal (internal dialogue) dan berkisar pada mendengarkan pesan negatif dari sendiri dan menyampaikan pesan negatif pula kepada diri sendiri. Dialog internal yang berisikan penilaian negatif terhadap diri sendiri akan membuat orang lain merasa gelisah dalam menghadapi tantangan hidup dan kurang mampu mengambil tindakan penyesuaian diri yang tepat Maka perlulah mengubah penilaian diri yang negatif itu menjadi lebih positif, sehingga keyakinan akan diri sendiri menguat dan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi konkret bertambah. Siasat yang digunakan oleh konselor pada dasarnya sama. dengan yang diterapkan dalam RET, yaitu mengkaji ulang pola berpikir yang bercorak negatif dan menghasilkan tindakan penyesuaian diri yang kurang tepat. Hanyalah Albert Ellis lebih memperhatikan pikiran irasional yang dapat berisikan lebih luas daripada pikiran tentang diri sendiri, sedangkan Meichenbaum lebih menitikberatkan evaluasi diri yang bercorak negatif. Namun, dalam praktek konseling di institusi pendidikan dapat dijumpai kasus corak berpikir negatif tentang diri sendiri yang sebenarnya bersifat irasional (tidak masuk akal sehat); dalam kasus seperti itu penerapan pendekatan RET mencakup pula rehabilitasi kognitif terhadap corak berpikir tentang diri sendiri yang melumpuhkan semangat hidup.

Model Pelaksanaan Rational-Emotive Therapy
Kasus
Prabawa adalah seorang siswa suatu SMU di kota besar, kelas III, cawu kedua, program studi IPS. Dia tinggal bersama orang tuanya, yang mendukung cita-citanya menjadi seorang guru akuntansi. Prabawa berharap dapat diterima di Negeri di kotanya sendiri, dan telah berusaha sejak kelas I supaya nilai rata-rata dalam rapor setiap semester minimal 7. Dalam usaha ini dia telah berhasil.
Selain itu, sejak awal kelas II dia juga berhasil dalam mengikat hati seorang siswi . yang duduk di kelas yang sarna. Mereka sudah biasa pergi rekreasi bersama, meskipun pihak putri terpaksa main backstreet karena orang tuanya belum mengizinkan untuk berpacaran Pada awal cawu kedua siswi mengatakan bahwa orang tuanya telah mengetahui petualangannya dan memarahi dia; bahkan mereka mengancam ini dan itu. Siswi itu merasa terpaksa memutuskan hubungan karena dia tidak berani melawan orang tua. Prabawa jatuh dalam lembah depresi dan berpikir: "Apa gunanya meneruskan hidup di dunia ini? Saya tidak rela dicintai oleh gadis lain ataupun mencintai gadis lain. Hanya yang satu ini menjadi idaman saya! Sumber semangat belajarku dan pendukung cita-citaku sudah lenyap!".
Prabawa bolos sekolah selama satu minggu. Ketika masuk kembidi, dia dipanggil . oleh konselor di sekolahnya.
Langkah-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Prabawa: lihat bagan di bagian A. Di sini pun konselor menjelaskan alasan Prabawa dipanggil, yaitu selama satu minggu tidak masuk sekolah tanpa ada kabar, dan bertanya apakah ada sesuatuyang ingin dibicarakannya berkaitan dengan hal itu. Mula-mula Prabawa kelihatan ragu-ragu, tetapi akhirnya mengatakan bahwa memang ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Prabawa.
Dia mengutarakan bahwa semangat belajar telah hilang, setelah mengalami pukulan yang berat, gara-gara pacarnya yang tersayang memutuskan hubungan percintaan. Pacarnya adalah teman siswi sekelas yang selama satu tahun sering mau diajak pergi berdua, tetapi tiba-tiba mengundurkan diri setelah dimarahi oleh orang tuanya. Padahal, katanya, tidak ada gadis lain yang pantas dicintai. Prabawa beranggapan bahwa masa depannya menjadi sangat suram dan tidak ada sumber inspirasi lagi yang mendukung cita-citanya menjadi guru akuntansi di sekolah menengah (Pikiran irasional).
(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu mencari gambaran yang lengkap mengenai kaitan antara A, B, C (Activating Event: Belief: Consequences). Konselor akan menaruh perhatian khusus pada pikiran-pikiran irasional yang diduga mendasari rasa kehilangan semangat, karena dia akan mengusahakan supaya Prabawa berpikir rasional dalam menghadapi persoalannya.
(a) Dikaguminya; yang memutuskan hubungan ialah piliak putri, dengan memberikan alasan dilarang oleh orang tuanya (A).
(b) Kejadian ini ditanggapi dengan banyak pikiran yang irasional atau tidak masuk akal. Prabawa berpikir: "Ini musibah besar, karena cintaku yang pertama dan abadi dihancurkan begitu saja." "Tidak ada gadis lain yang akan kucintai. Gadis lain juga tidak akan mencintai diriku setulus teman siswi ini." "Dunia telah bertindak kejam terhadap diriku, apa gunanya menyambung benang hidupku ini?" "Siapa lagi yang akan memberikan inspirasi kepadaku untuk mengejar cita-citaku kalau bukan dia?" (B irasional).
(c) Sebagai akibat dari cara berpikir yang demikian, Prabawa mengalami gejolak emosional dan goncangan dalam alam perasaannya, seperti merasa kehilangan semangat hidup dan gairah untuk belajar, merasa putus asa dan merasa seperti orang yang lukanya menganga lebar dan mengeluarkan darah terus-menerus (C dalam alam perasaan). Akibat lebih lanjut ialah frabawa memutuskan urttuk tidakmasuk sekolah; ini tindakan penyesuaian diri yang salah dan malah membahayakan sukses dalam belajarnya (C dalam perilaku nyata). Narnun, karena teguran orang tuanya dia terpaksa kembali ke sekolah setelah bolos satu minggu.
(4) Membantu Prabawa untuk menemukan jalan keluar dari persoalan ini. Konselor dapat mulai dengan menjelaskan kepadanya hasil analisis di atas, sehingga Prabawa sedikit banyak mengerti apa alasannya sehingga keadaannya sekarang begini. Kemudian konselor mulai menantang seluruh pikiran yang tidak masuk akal tadi, misalnya dengan melontarkan pertanyaan: "Apa alasanmu berpendapat telah ditimpa musibah besar?"; "Apakah pengalaman yang pahit ini patut dianggap musibah paling besar bagi seorang remaja putra?"; "Apakah memang sudah pasti bahwa cinta pertama ini merupakan cinta abadi?"; "Apakah inspirasi dan semangat belajar hanya dapat diberikan oleh gadis itu?"; "Apakah orang tua siswi yang masih di bawah umur itu tidak berhak ikut bicara?; "Apakah kamu mempunyai hak menuntut supaya dunia ini memenuhi keinginan dengan serba cepat?", dan sebagainya.
Di samping itu, konselor memberikan pandangan-pandangan baru kepada Prabawa, misalnya: "Pada 'umur sekarang belum tentulah bahwa gadis itu adalah jodohmu. Mungkin saja hubungan ini akan berubah bila Prabawa dan siswi itu sudah .. menginjak dewasa"; "Anggaplah pengalaman berpacaran ini sebagai pelajaran yang berguna, yaitu Prabawa sudah mengalami keindahan cinta. tetapi sekaligus lebih menyadari harus melihat situasi dan kondisi siswi yang masih bersekolah seperti Prabawa sendiri"; "Orang tuanya mungkin menginginkan. supaya anak mereka menyelesaikan studinya lebih dahulu sebelum mengikat diri. Selain itu, tindakan backstreet tidak tepat dilakukan oleh gadis remaja, karena ini meng¬hancurkan hubungan terbuka antara orang tua dan anak"; "Tidak lebih baikkah Prabawa menyelesaikan SMU lebih dahulu dan nantinya melihat lagi kemungkinan untuk menyambung kembali hubungan dengan gadis itu, kalau dia memang cocok untuk Prabawa?"; "Lebih baiklah bagi pemuda untuk mendapatkan kepastian tentang.suatu pekerjaan, sehingga dia dapat menghidupi keluarga. Orang tua pihak putri ingin supaya kehidupan anaknya, yang diserahkan kepada seorang pria. Betul-¬betul terjamin"; "Kegagalan dalam cinta di masa remaja bukan musibah yang menghancurkan masa depan"; "Merasa kecewa sekarang ini adalah perasaan yang wajar pada umurmu sekarang"; dan lain-lain pertimbangan.
Efek dari diskusi ini ialah, bahwa Prabawa mulai berubah pikiran dan memandang pengalaman ini dengan cara yang lebih masuk akal, misalnya, "Saya akan menerima kenyataan ini. Memang saya tidak mengharapkannya: tetapi apa boleh buat? Lebih baik saya: memusatkan perhatian pada studi dahulu, supaya cita¬cita saya dapat diraih. Pengalaman cinta pertama ini saya simpan sebagai kenangan yang manis, yang nantinya dapat disambung lagi dan lain sebagainya(r kognitif). Efek lebih lanjut ialah, bahwa Prabawa menjadi lebih tenang. Rasa kecewa masih ada, tetapi rasa kehilangan semangat sudah jauh berkurang (r afektif). Akhirnya Prabawa memutuskan untuk tidak lagi mengajak teman siswi itu pergi berdua dan mengejar pelajaran yang ketinggalan (perilaku; R).
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Prabawa: lihat bagan di bagian A.

KONSELING BEHAVIORISTIK

materi 11-12 *)



Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Behavioristik.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Behavioristik
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling Behavioristik
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling Behavioristik.


Pengantar
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling, yang untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964), untuk menggarisbawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseli (counselee behavior). Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan suatu aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corakkonseling yang memandang hubungan antarpribadi (personal relationship) antara konselor dan konseli sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang. Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antarpribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Dollard dan Miller (950), Wolpe (1958), Lazarus (1958), dan Eysenck (1952) meletakkan dasar aliran baru ini, yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan baru terhadap konseling dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Thoresen (1966), Bandura (1969), Goldstein (1966), Lazarus (1966), Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam buku Counseling Methods (1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral Counseling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam perilaku konseli sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan konseling.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning), yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan (an educational process), yang terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalahan. Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati (observable), yang selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Semua usaha untuk menuatangkan perubahan dalam tingkah laku (behavior change) didasarkan pada teori belajar yang dikenal dengan nama Behaviorisme dan sudah dikembangkan sebelurn lahir aliran pendekatan Behavioristik dalam konseling. Teori belajar Behaviorisme mengandung banyak variasi dalam sudut pandangan. Oleh karena itu, pendekatan Behavioristik dalam konseling mengenal banyak variasi dalam prosedur, metode, dan teknik yang diterapkan. Meskipun demikian. jajaran pelopor pendekatan Behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan, karena itu, dapat diuoah dengan belajar baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya pun dipandang sebagai suatu proses belajar.
Konseling Behavioristikberpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat . manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:
(a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atan buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada keprihadiannya.
(b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
(c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
(d) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Keyakinan tersebut itu, sebagaimana pernah dirumuskan oleh Dustin dan George, dikutip dalam buku karangan George dan Christiani: Theory. Methods, and Processes of Counseling and Psychotherapy (halaman 108). Sejalan dengan keyakinan mendasar itu. bagi seorang konselor behavioristik perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseli ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat dan salah suai (maladjusted), harus dikatakan bahwa baik. tingkah laku tepat mauptin tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah. Di masa yang lampau orang belajar dalam interaksi dengan lingkungannya, lebih¬lebih orang lain (Lingkungan sosial). Dia telah berhadapan dengan sejumlah rangsangan (Stimulus, disingkat S) dan telah bereaksi pula dengan cara tertentu (Response, disingkat R). Cara bereaksi itu lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku. yang sesuai dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang dahulu mungkin sesuai, di waktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi kehidupannya telah berubah. Kalau pola berperilaku yang dipelajari dahulu tetap dipertahankan, meskipun situasi kehidupan telah berubah, akan ada kesulitan, alias orang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Misalnya, seorang remaja putra telah mengembangkan kebiasaan untuk mengurung diri di kamar tidurnya setiap kali berbeda biasanya tidak diutarakan oleh konseli pada waktu konseli menjelaskan masalahnya. Konselor yang berpegang pada model A-B-C baru mengetahui apa yang terjadi sesudah A dan sebelum C, tetapi belum mengetahui apa bentuk konkret dari A dan apa bentuk konkret dari c. Oleh karena itu, konselor akan mengajak konseli untuk mengidentifikasikan A dan C; rangsangan atau kombinasirangsangankonkret apa yangtelah berlangsung (A) dankeuntungan/efek positif apayangdiperoleh (C). Analisis ini sering tidak terbatas pada rangkaian A.,B"'C.yang•terdapatdi masa sekarang ini, tetapi juga menggali rangkaian A-B¬-C yang terjadi dimasa yang lampau. Ternyata seringkali perilaku yang sekarang ini juga terdapat di tahun-tahun yang lampau, sebagai reaksi terhadap rentetan peristiwa atau rangkaian pengalaman yang sama atau mirip dengan peristiwa di masa sekarang; ternyata pula,bahwa keuntungan/efek positif yang didapat di masa yang lampau sama dengan keuntungannya di masa sekarang. Dengan demikian menjadi jelas, bagaimana proses lahirnya permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang. Dapat menjadi tampak,bahwa suatu seri kejadian atau pengalaman telah menjadi situasi psikologis tertentu, yang dihadapi dengan pola berperilaku tertentu dengan memperoleh efek yang sama.,Misalnya, seorang mahasiswi telah berkali-kali mengalami perlakuan kasar dari sejumlah mahasiswa bila berkumpul. Berkali-kali pula dia bereaksi dengan mengundurkan diri dari pergaulan sama para mahasiswa itu. Lama-kelamaan setiap pertemuan antar mahasiswa baginya menjadi situasi yang mengancam dan menegangkan. Akibatnya, dia selalu cenderung pergi secepat mungkin dan menyibukkan diri dengan aktivitas lain, seperti yang sudah-sudah. Keuntungan yang diperoleh ialah rasa lega karena lolos dari ancaman. Rasa lega itulah yang dicarinya sampai sekarang. Akhirnya dia menjatuhkan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan. Namun, sebagai wanita muda dia juga berkeinginan untuk berjumpa dengan lawan jenisnya, sehingga dia akan mengalami kesukaran serius dalam pergaulan dengan kaum pria.
Di antara jajaran pelopor pendekatan Behavioristik ada yang menaruh perhatian besar pada reaksi emosional sebagai hasil belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah, dan takut-takut (anxiety), yang sering melatar belakangi rasa tidak tenang serta rasa terancam dan mendasari tingkah laku manusia. Anxiety itu bukan dibawa sejak lahir, melainkan merupakan hasil dari suatu proses belajar. Misalnya, seorang anak pernah dikejutkan sekali oleh seekor anjing besar, bahkan mungkin pernah digigit. Rasa takut terhadap anjing yang satu itu kemudian dapat dialihkan pada semua anjing dan lama ¬kelamaan menjadi rasa takut-takut (kecemasan dankegelisahan) terhadap semua binatang yang berkaki empat. Rasa serba takut.itu menjadi pendorong atau kekuatan motivasional untuk melakukan sesuatu guna mengurangi dan menghilangkan perasaan itu, misalnya dengan menjauhi semua binatang yang berkaki empat. Bila anak itu sudah menjadi dewasa dan masih menunjukkan perilaku menjauhi semua binatang yang berkaki empat, orang-¬orang lain bertanya-tanya dan mencap orang itu sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted). Rasa takut itu berfungsi sebagai reaksi dalam batin atau reaksi internal (r). yang ikut menentukan reaksi eksternal (R) atau perilaku nyata (B). Dollard dan Miller memusatkan perhatiannya pada cara perasaan itu diperoleh melalui proses belajar dan bagaimana perasaan itu melekat pada tingkah laku, bahkan pada pemakaian kata-kata tertentu dan pikiran tertentu, seperti rasa cemas bila dipakai kata seks dan muncul pikiran terkait mengenai seks. Oleh karena itu,. dalam mengadakan analisis kasus menurut model A-B-C, konselor mungkin berusaha mengidentifikasikan asal-usul perasaan khawatir, cemas, gelisah, dan takut-takut itu, dan menentukan dengan cara yang bagaimana konseli telah berusaha menghilangkan unsur perasaan itu dan menjadi tenang kembali. Contoh tentang mahasiswi di atas merupakan salah satu kasus di mana perasaan semacam itu memegang peranan; demikian pula dalam contoh tentang suami yang digambarkan di atas.
Setelah diadakan analisis kasus, konselor akan membantu konseli untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi sekarang, dengan mengembangkan suatu cara bertingkah laku yang lebih sesuai. Dalam hal ini dapat ditempuh dua jalan atau diterapkan dua siasat, yaitu:
(a) Mengubah respons/reaksi terbuka (R) atau perilaku (B) seeara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respons/reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Dalam hal ini diterapkan pola/cara belajar menurut konsepsi Pavlov, konsepsi Skinner atau menurut konsepsi Bandura, yang mungkin dikombinasikan satu sama lain untuk mencari cara yang paling efektif bagi konseli tertentu dengan kasus tertentu. Adanya rasa cemas. gelisah, khawatir, dan takut-takut dapat ikut dipertimbangkan dalam prosedur penyembuhan, dapat pula tidak. Di Amerika Serikat telah dikembangkan berbagai variasi dalam prosedur mengusahakan mengubah perilaku secara langsung, seperti yang dikenal dengan nama desensitization. counterconditioning, social modeling, dan reinforcement program. Dalam prosedur-prosedur itu diusahakan suatu perubahan dalam Antecedent dan/atau Consequence, sehingga Behavior yang terdapat di antara kedua hal itu akan berubah pula. Seandainya diakui peranan dari suatu reaksi internal yang berupa perasaan dan/atau pikiran (r); peranan itu tidak ditanggulanginya secara khusus. atas dasar pertirnbangan bahwa perubahan dalam respons/reaksi tertutup akan mengikuti perubahan dalam respons/reaksi terbuka. Jadi mengubah R dahulu, kemudian akan menyusul perubahan dalam r dengan sendirinya. Berbagai prosedur itu umumnya dikenal dengan nama modifikasi tingkah laku (Behavior Modification), yang diterapkan terhadap orang yang mengidap penyakit jiwa atau mengalami gangguan neurotik (psikoterapi) diterapkan pula terhadap anak-anak yang sukar dididik, bahkan terhadap anak-anak normal di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Misalnya, seorang anak yang takut terhadap kelinci dan menjerit-jerit bila kelinci itu ditaruh di tempat yang dekat padanya. secara berangsur-angsur dibuat tidak menjerit lagi, bahkan bersedia mengelus-elus kelinci itu. Prosedur yang digunakan ialah menaruh kelinci itu di tempat yang agak jauh pada waktu anak sedang asyik menikmati sepotong cokelat manis. lni diulang-ulang, tetapi setiap kali kelinci itu ditaruh makin dekat padanya, sampai akhirnya dapat dipangku tanpa menjerit-jerit (counterconditioning). Seorang anak dapat belajar bertingkah laku tepat dengan meniru suatu model yang memperlihatkan tingkah laku yang tepat, misalnya bersalaman dengan orang yang tidak dikenal. Berbagai prosedur itu dapat saja diterapkan dalam konseling di. sekolah dalam kasus-kasus tertentu, tetapi kebanyakan konselor di indonesia tidak dipersiapkan khusus untuk merancang suatu prosedur modifikasi tingkah laku yang sesuai untuk setiap kasus yang ditangani. Oleh karena itu, pengubahan tingkah laku secara langsung menurut prosedur yang diutarakan di atas, tidak akan dibahas lebih lanjut di sini.
(b) Mengubah respons/reaksi tertutup (r) lebih dahulu, lebih-Iebih tanggapan pikiran dalam batin seseorang; sebagai akibat respon/reaksi terbuka (R) akan berubah pula, namun tidak secara langsung seperti dalam butir (a) di atas. Sesuai dengan yang diterangkan diatas tentang peranan tanggapan pikiran (mediating response), telah dikembangkan suatu pendekatan Behavioristik yang dikenal dengan nama Pendekatan Kognitif-Behavioristik (Cognitil'e-Behavioral Approach). Tentang pendekatan ini diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

Tokoh/pakar seperti Bandura (1977), Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron (1977), dan Ellis (1977) menekankan peranan dari persepsi, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S r R. Manusia dapat mengatur baik perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri. Corak pendekatan ini mengenal beberapa variasi dalam prosedur yang diikuti; seperti Assertive Training, Thought Stopping, Attribution Psychology, Self¬ Management (dikombinasikan dengan pendekatan secara langsung. seperti dalam butir (a), Cognitive Restructuring dan Rational-Emotive Therapy. Di sini pun dicari prosedur yang paling efektif bagi konseli tertentu dalam permasalahan tertentu. Misalnya. seseorang yang berbadan terlalu gemuk karena salah makan, dapat dibantu dengan mengembangkan suatu program mengatur waktu makan dan kuantitas bahan makakan, dengan memberikan suatu peneguhan (reinforcement) kepada dirinya sendiri setiap kali setia pada pelaksanaan program kerja itu, seperti nonton acara TV yang sangat-digemari atau memberikan pujian kepada diri sendiri (self-management). Misalnya pula, seorang karyawan yang selalu takut menghadapi pimpinannya untuk membicarakan suatu kepentingan, dapat dibantu dengan meninjau apa sebab-sebabnya dia merasa takut, mempertimbangkan semua alas an positif yang mendorong untuk menghadap, dan memikirkan pula cara berbicara yang tidak akan menimbulkan ketegangan dan konflik, disertai latihan menghadap seorang atasan yang dimainkan oleh konselor (assertive training, kombinasi antara pendekatan tidak langsung dan langsung).
Semua prosedur itu telah diterapkan oleh yang ahli dalam pendekatan Behavioristik ini terhadap banyak orang dalam berbagai macam permasalahan, baik yang mengandung. unsur kegelisahan dan kecemasan maupun yang tidak, dengan taraf keberhasilan yang berbeda-beda. Prosedur yang teruji ini dapat diterapkan dalam konseling di jenjang pendidikan menengah dan perguruan tinggi, namun diragukan apakah jajaran konselor sekolah di Indonesia dewasa ini sudah cukup terlatih dalam mengaplikasikannya terhadap kliennya secara jeli. Namun, ini tidak berarti bahwa corak pendekatan konseling Behavioristik ini tidak dapat digunakan oleh konselor sekolah terhadap kaum remaja dan mahasiswa. Banyak kasus berkisar pada rasa khawatir, takut, main, bersalah, muak, dan benci, yang semuanya disertai perasaan gelisah, cemas, dan tidak tenang. Perasaan itu menyangkut orang lain, benda-benda, dan kejadian-kejadian tertentu. Aneka rasa tersebut timbul karena konseli tidak pernah mendapat kesempatan untuk belajar hal-hal tertentu, seperti kelincahan dalam bergaul dengan orang lain (social skills) dan cara membawakan diri di hadapan umum; dapat pula timbul masalah karena kesempatan penyesuaian yang ada tidak dipergunakan semestinya, gara-gara pengaruh negatif dari beraneka perasaan itu, seperti terjadi dalam kasus mahasiswi yang diutarakan di atas. Perbedaan itu akan tampak dalam analisis kasus, ketika konselor menggali rangkaian A-B,-C di masa sekarang dan di masa yang lampau. Konseli kemudian dibantu untuk mengakui rasa takut dan perasaan cemas dalam batinnya sendiri (r afektif), dan meninjau masalahnya dari sudut lain serta memikirkan suatu cara bereaksi yang lain (r kognitif) sebagai langkah intermediar untuk berperilaku yang lebih tepat.
Sebagai contoh: mahasiswi yang akhirnya sangat takut untuk bergaul dengan teman¬-teman mahasiswa, dapat diajak untuk memikirkan suatu tanggapan kognitif yang lebih baik, seperti: "Saya tidak perlu menjatuhkan vonis atas semua pemuda. Saya harus membedakan antara mahasiswa yang genah (benar) dan tidak genah (tidak benar). Saya dapat menolak ajakan yang tidak sopan. Saya dapat menyatakan keberatan saya terhadap perlakuan tertentu. Saya dapat menghindari pembicaraan dengan pemuda yang tidak genah dan hanya bergaul dengan pemuda yang tahu cara membawa diri dan sebagainya. Lalu dirundingkan tatacara bergaul yang baik dan tepat tanpa disertai perasaan was-was akan dirugikan. Akhirnya program kerja itu mulai diterapkan di luar ruang konseling: kalau program kerja itu berhasil, dia akan mendapat peneguhan yang diberikan kepada diri sendiri (menurut konsepsi Skinner). Misalnya pula, seorang yang takut pada darah dan akhirnya takut pada warna merah, dapat diajak untuk melihat arti-arti lain yang melekat pada warna merah, seperti kepahlawanan. (bendera nasional) dan keindahan (bunga mawar). Seandainya darah sampai sekarang dipersepsikan sebagai lambang kematian dan kehilangan hidup, orangnya dapat diajak untuk menanggapinya dengan cara lain, seperti memberikan kehidupan (transfusi darah) (menurut konsepsi Pavlov). Tanggapan-¬tanggapan kognitif yang lebih tepat tergantung sekali dari kasus konkret, dari wujud tingkah laku yang harus berubah (B), dari rangsangan sebelumnya (A), dan dari bentuk peneguhan yang efektif (C). Dengan demikian, pendekatan Behavioristik menurut siasat yang diutarakan dalam butir (b) tadi dapat diterapkan terhadap kasus orang takut pada sesuatu, asalkan konseli ini mampu berefleksi atas tingkah lakunya sendiri.
Pendekatan Konseling Behavioristik masih dalam taraf penelitian untuk menentukan efektivitas dari berbagai prosedur spesifik seperti yang diutarakan di atas. Namun, dewasa ini semakin ditekankan bahwa pendekatan Behavioristik dapat menunjukkan fleksibilitas yang besar, karena tujuan konseling (perubahandalam tingkah laku) dan prosedur yang diikuti untuk sampai pada tujuan itu disesuaikan dengan kebutuhan nyata pada konseIi dalam setiap kasus. Selain itu, seorang konselor Behavioristik dewasa ini mengakui sepenuhnya bahwa suasana kepercayaan dan hubungan antarpribadi yang menyenangkan (working relationship) juga sangat penting. Dengan demikian, kritik negatif yang dahulu kerap dilontarkan terhadap pendekatan. Behavioristik sebagai manipulasi manusia yang tidak manusiawi agak kehilangan sengatnya. Diprakirakan bahwa pendekatan Behavioristik akan. semakin bergeser dari usaha membantu orang yang mempunyai masalah ke arah membekali orang dengan aneka siasat untuk mencegah timbulnya persoalan kejiwaan yang serius. Dalam hal ini Burks dan Stefflre dalam bukunya Theories of Counseling (1979) mengatakan:"The skills necessary to help clients become their own behavioral counselors .,. via self management techniques will be given increased emphasis." (halaman 250). Namun, pendekatan ini kiranya tidak bermanfaat bagi orang yang masalahnya bukan cara bertingkah laku yang salah/tidak sesuai, melainkan kehilangan arti dan makna dalam hidup atau memandang dirinya sebagai kegagalan total.

Model Pelaksanaan Konseling Behavioristik
Kasus
Palupi adalah siswi di SMK, kelas II, catur wulan IV Dia berumur 16 tahun, putri kedua dari lima bersaudara. Orang tua berpendidikan SLTA dan berhasil menciptakan suasana kehidupan keluarga yang akrab. Wali kelas II, seorang ibu, menaruh perhatian besar terhadap .perkembangan siswa di kelasnya. Pada suatu hari wali kelas itu menghubungi konselor sekolah untuk minta tolong dalam menghadapi kasus Palupi. Wali kelas menjelaskan: dia sudah lama memperoleh kesan bahwa Palupi menghadapi kesulitan yang menyangkut pergaulan dengan siswa lain jenis di sekolah. Wali kelas sudah kerap menyaksikan bahwa Palupi, setiap kali diajak bicara oleh seorang anak putra, menghindar dan menolak berbicara. Dia segera lari ke kelompok teman/kawan putri, seolah-olah mencari perlindungan dari mereka. Bahkan, baru-baru ini Palupi menolak tawaran dari wali kelasnya untuk ikut dalam mementaskan drama, dengan alasan tidak suka tampil di panggung bersama dengan pemain-pemain putra.
Wali kelas mengusulkan kepada konselor untuk mengajak Palupi bicara dan konselor menyatakan dirinya sanggup. Ketika konselor mcmanggil Palupi, mula-mula siswi itu agak segan berbicara, tetapi kemudian membuka diri. Dia mengakui merasa benci dan sekaligus takut terhadap semua anak putra. "Mereka semua jahat dan maunya hanya menindas cewek," katanya. Hanya kepada kedua adiknya yang laki-laki, yang masih di SD, dia merasa sayang. Dia mengatakan juga, "Lebih baik tidak menikah daripada jatuh dalam lembah kenistaan."
Konselor menduga bahwa Palupi telah mengalami hal-hal tertentu dan akhirnya menjadi merasa benci pada semua siswa putra; maka konselor ingin membantu Palupi bersikap lain dan bertindak lain.
Langkah-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Palupi: lihat bagan di bagian A. Di sini pun konselor menjelaskan alasan Palupi dipanggil dan bertanya apakah Palupi memang mengalami suatu kesulitan. Palupi mengakui ada kesulitan dalam bergaul dengan anak putra dan bersedia membicarakan hal ini dengan konselor.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Palupi.
Palupi mengutarakan bahwa dia tidak suka ikut dalam pementasan drama kalau ada pemain putra. Dia mengatakan juga bahwa dia merasa lebih tenang dalam bergaul dengan kelompok teman/kawan putri saja. Dia merasa takut dan benci pada teman/kawan putra dan menyalahkan mereka menindas cewek saja. Dia mempunyai pikiran untuk tidak pemah menikah dari pada dihadapkan pada ulah laki-Iaki.
(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu mencari gambaran yang lengkap mengenai kaitan antara A-B dan C (Antecedents, Behavior; Consequences). Konselor akan menaruh perhatian khusus pada semua reaksi internal (r) karena dia akan mengusahakan supaya Palupi mengubah dahulu reaksi pikiran dan perasaan sebagai jalan intermediar untuk mengubah perilakunya (R).
(a) Pada saat sekarang perilakunya yang nyata ialah menghindari pembicaraan dengan teman/kawan putra dan menolak tawaran untuk berpartisipasi dalam pementasan drama (B). Anteseden adalah sapaan oleh teman putra dan tawaran ikut main pentas bersama dengan beberapa anak putra (A). Akibatnya dari penghindaran dan penolakan .adalah rasa tenang dan perasaan lepas dari suatu bahaya yang mengancam (C); hal-hal ini diakui oleh Palupi ketika konselor memancing bagaimana perasaannya setelah menghindarkan diri. Ini sekaligus berfungsi sebagai penguat (reinforcement).
(b) Konselor bertanya-tanya mengenai pengalaman-pengalaman Palupi di masa yang lampau, apakah pernah terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam bergaul dengan teman/kawan putra. Ternyata ada, yaitu pada waktu belajar di SMP rambutnya sering ditarik-tarik oleh beberapa siswa putra; di kampungnya sering diejek oleh pemuda brandal karena wajahnya penuh jerawat; pada waktu pergi ke Sekaten menyaksikan banyak pemuda mengganggu gadis-gadis dengan cara yang kasar; dari pernah menyaksikan film horor di mana wanita disakiti oleh laki-Iaki (A). Reaksinya adalah selalu sama, yaitu menghindar (R) dan merasa takut serta jijik (r). Setelah dia menghindar dan menyembunyikan diri dalam kelompok teman/kawan putri, dia.merasa aman dan lega (C). Konselor mulai mengerti bahwa dalam sejarah hidup Palupi telah terjadi generalisasi: tindakan ancaman dari kaum putra diartikan sebagai situasi yang menegangkan, yang diatasi dengan cara melarikan diri sebagai reaksi biasa. Dengan demikian Palupi menggali lubang untuk diri sendiri kafena dia semakin cenderung untuk: melarikan diri dan dengan demikian mendapatkan ketenangan; namun sekaligus dia membuat keadaan dirinya sendiri semakin sulit untuk diatasi (unsur peneguhan atau reinforcement). Dengan demikian menjadi jelas bagaimana telah berlangsung suatu proses belajar pada Palupi dan telah terbentuk suatu pola reaksi terhadap suatu situasi khusus, yang mula-mula menyangkut pemuda nakal dan kemudian meluas menjadi bergaul dengan sembarang pemuda.
(4) Membantu Palupi untuk menentukan penyelesaian yang memuaskan. Konselor dapat menjelaskan kepada Palupi bahwa kecenderungannya untuk melarikan diri dan rasa takut serta jijik merupakan hasil dari suatu proses belajar, sampai akhirnya Palupi tidak mengenal pola reaksi yang lain terhadap situasi yang khusus itu. Kemudian, konselor membantu Palupi untuk mengakui reaksi perasaannya sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi tetapi sekaligus dapat diatasi kalau dia berani mengubah pandangannya terhadap beraneka peristiwa yang telah dialaminya. Konselor dapat bertanya, apakah dia juga mempunyai pengalaman berisikan lain dalam pergaulan dengan seorang pemuda, bahkan dengan pria pada umumnya. Ternyata memang ada, misalnya beberapa kali ditolong oleh seorang pemuda kenalan baik mendapat perlakuan baik dari guru-guru pria yang masih bujang selama duduk di SMP dan ayahnya sendiri selalu menunjukkan kasih sayang kepadanya. Pokoknya, digali pengalaman mengesankan yang positif untuk mengimbangi pengalaman mengesankan yang negative. Selain itu, konselor menunjukkan pada kata-kata Palupi sendiri bahwa diasayang pada kedua adiknya yang laki-laki. Ini semua dikemukakan dengan tujuan supaya Palupi membuka cakrawalanya. Kemudian, konselor mengajak Palupi untuk memikirkan tanggapan kognitif yang lain terhadap peristiwa/kejadian negatif yang dialami, misalnya perlakuan kasar dari beberapa pemuda tidak harus dipandang sebagai bahaya yang mengancam jiwanya. Dia dapat menegur pemuda seperti itu dengan kata-kata yang tegas: dia dapat mengacuhkan perlakuan itu dan seolah-olah tidak melihat atau mendengar apa-apa. Reaksi melarikan diri hanyalah tepat bila keselamatannya sungguh-sungguh terancam. Kalau terus-menerus merasa takut pada pemuda, bagaimana akibatnya nanti bila timbul keinginan untuk mendapatkan seorang pacar seperti pemudi sebaya yang lain? Pokoknya, Palupi harus dibantu untuk membedakan antara pemuda yang sungguh-sungguh tidak genah, pemuda remaja yang sedikit nakal, dan pemuda yang betul-betul genah. Hanyalah mereka yang sungguh-sungguh tidak genah patut dihindari; yang sedikit nakal dikoreksi saja; yang betul-betul genah boleh bergaul dengan dia tanpa dia menentukan macam-macam syarat, supaya tabu bagaimana kaum pria itu. Dengan jalan yang demikian Palupi mulai memikirkan tatacara lain dalam berhadapan dengan seorang pemuda. Pemikiran/tanggapan kognitif yang baru ini tidak serta merta menghilangkan rasa takut dan benci, tetapi memberi kemungkinan untuk menghilangkan rasa takut dan benci itu walau memakan waktu yang lama. Kemudian, konselor mengusulkan kepada Palupi untuk berani terjun, dengan menerima tawaran ikut serta dalam pementasan drama dan berpartisipasi dalam kelompok belajar putra-putri di sekolahnya. Perilaku nyata (R) ini akan membantu Palupi mengusahakan sesuatu yang konkret, yang tidak hanya tinggal gagasan saja. Akhirnya, Palupi menyatakan kerelaannya untuk terjun dan mencari pengalaman baru dalam bergaul dertgan teman putra di sekolahnya.
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Palupi: lihat bagan di bagian A. .

TEORI KONSELING TRAIT-FACTOR

materi 9-10 *)


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Trait-Factor.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Trait-Faktor
2. Mengalisis model pelaksanaan konseling T-F
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling T-F

Pengantar
Istilah Trait~Factor Counseling merupakan corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan beraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi dan/atau bidang pekerjaan. Pelopor pengembangan corak konseling ini yang paling terkenal ialah E.G. Williamson, yang lama bertugas sebagai Pembantu Rektor urusan akademik dan kemahasiswaan pada universitas di Minnesota. Corak konseling ini dikenal juga dengan nama directive counseling atau Counselor-Centered Counselling, karena konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi kebaikan konseli senditi.Corak konseli ini menilai tinggi kemampuan manusia untuk berpikir rasional dan memandang masalah konseli sebagai problem yang harus dipecahkan dengan mengunanakan kemampuan itu (problem-solving approach). Dalam segi teoretis dan dalam segi pendekatannya, corak konseling ini bersumber pada gerakan bimbingan jabatan sebagaimana dikembangkan di Amerika Serikat sejak awal abad yang ke-20.
Dalam buku yang berjudul Vocational Counseling (l965) Williamson menguraikan sejarah perkernbangan bimbingan jabatan dan proses lahirnya konseling berpegang pada teori Trait-Factor. Pada akhir abad yang ke-19 Frank Parson mulai mencari suatu cara untuk membantu orang-orang muda dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan potensi rnereka, sehingga dapat cukup berhasil di bidang pekerjaan itu. Dalam buku Choosing a Vocation (1909), Frank parsons menunjukan tiga langkah yang harus diikuti dalam rnemilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu: pertama, pemahaman diri yang jelas mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri-ciri yang lain. Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat rnencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan kesempatan untuk maju dalam semua bidang pekerjaan itu. Ketiga, berpikir secara rasional mengenai hubungan antarakedua kelompok fakta di atas. Jadi, langkah yang pertama menggunakan analisis diri; langkahyang kedua memanfaatkan informasi jabatan (vocational, information); langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk berpikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri¬-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan/jabatan, dengan tuntutan kualifikasi dan kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan atau jabatan. Dengan demikian, orang muda bukannya mencari pekerjaan demi asal punya pekerjaan (the hunt of a job), melainkan memilih secara sadar suatu pekerjaan yang berfungsi sebagai jabatan (the choice of a vocation). Namun, prosedur yang digunakan oleh Frank Parsons untuk menemukan fakta dalam rangka langkah kerja yang pertama dan yang kedua ternyata tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi analisis psikologis dan sosial secara ilmiah. Misalnya, ahli psikologi industri yang bernama Munsterberg menekankan, bahwa analisis psikologis terhadap seorang yang dilayani menurut model Parsons menjadi tugas seorang psikolog yang bekerja dalam laboratorium penelitian psikologis. Misalnya pula, Witner memperjuangkan penerapan ilmu psikologi dalam mendiagnosis berbagai kesulitan belajar yang dialami oleh seorang siswa, yang kemudian dikembangkan sebagai metode klinis, yaitu pemeriksaan psikologis terhadap orang secara perseorangan. Pemikiran Witner direalisasikan oleh Viteles, yang membuka sebuah klinik psikologis. Klinik ini merupakan institusi di mana semua orang. baik dewasa maupun remaja, memperoleh bantuan dalam menemukan segala segi kemampuannya, dan mendapat nasihat tentang pekerjaan yang cocok bagi mereka. Di samping itu, dalam klinik itu diadakan penelitian berupa analisis jabatan (job analysis) untuk dapat menentukan kualifikasi/persyaratan pada pribadi seseorang yang harus dipenuhi. supaya dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan. Tekanan pada studi psikologis terhadap masing-masing orang dalam suatu klinik psikologis, dengan menggunakan alat-alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menjadi ciri khas dari aliran konseling yang kemudian disebut Konseling Klinikal. Corak konseling yang berpegang pada teori Trait-Factor berkembang dalam rangka konsepsi aliran Konseling Klinikal. Oleh karena itu, pendekatan konseling Trait¬ Factor dalam beberapa buku dinamakan Konseling Klinikal.
Alat yang digunakan untuk mempelajari keadaan seseorang sehingga menghasilkan suatu analisis bagi masing-masing pribadi, adalah tes-tes psikologis yang mula-mula digunakan oleh para ahli psikologi industri dalam rangka seleksi aplikan untuk bidang-¬bidang pekerjaan tertentu. Berdasarkan identifikasi berbagai kemampuan yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang setelah dites, dan berdasarkan penelitian terhadap tuntutan pekerjaan di lapangan untuk mengetahui kemampuan mana yang harus dimiliki seseorang supaya berhasil dalam suatu jenis pekerjaan tertentu, para ahli psikologi industri itu menyusun tabel-tabel prakiraan sukses atau gagalnya seorang aplikan dalam jenis pekerjaan tertentu. Cara berpikir yang demikian mulai diikuti juga oleh konselor jabatan, dengan menekankan penggunaan suatu tes psikologis sebagai alat untuk mengidentifikasi ciri-ciri kepribadian, seseorang yang mempunyai relevansi terhadap suatu jabatan/ pekerjaan. Dalam hal ini aliran konseling jabatan berpegang. pada teori kepribadian yang dikenal dengan nama teori Trait-Factor. Yang dimaksudkan dengan Trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berperilaku, seperti inteligensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berperilaku). Ciri-ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Dengan demikian,misalnya, seseorang dapat diidentifikasikan dan diketahui sebagai orang yang sangat inteligen, kurang iba hati, dan agak agresif. Ciri-ciri itu diandalkan dapat diketahui melalui berbagai tes psikologis.
Yang dipersoalkan ialah: ciri-ciri itu berapa jumlahnya? Semua ciri itu bersifat dasar dan berdiri sendiri, ataukah berkaitan satu sama lain? Beberapa ahli psikologi telah mencoba untuk menemukan seperangkat ciri dasar yang terbatas jumlahnya,dengan menganalisis data hasil testing psikologis melalui teknik statistik yang disebut Factor Analysis.Ciri-ciri dasar yang mereka temukan disebut factors, misalnya Catteli berpendapat telah menemukan 16 faktor, yang merupakan ciri-ciri dasar yang dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara memadai. Teori Trait-Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan sejumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing, psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu. Konseling Trait-Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan alat tes psikologis untuk menganalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri atau dimensi/aspek kepribadian tertentu,Yang , diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam memangku jabatan dan mengikuti suatu program studio Dalam hal ini program studi di institusi pendidikan juga dipandang sebagai jabatan. sehingga akan diikuti prosedur yang sama terhadap pilihan bidang pekerjaan dan bidang studio Dengan demikian, aliran konseling jabatan telah memperluas diri menjadi Konseling Jabatan-Akademik, yang dewasa ini sering disebut Konseling Karier.
Williamson merumuskan pula sejumlah asumsi yang mendasari Trait-factor Counseling dalam suatu karangan yang dimuat dalam Theories of Counseling (Steffire, 1965, Bab V), sebagai berikut:
(a) Setiap individu mempunyai sejumlah kemampuan dan potensi seperti taraf inteligensi umum, bakat khusus, taraf kreativitas, wujud minat serta keterampilan yang bersama-sama membentuk suatu pola yang khas untuk individu itu. Kemampuan dan vadasi potensi itu merupakan ciri-ciri kepribadian (traits), yang telah agak stabil sesudah masa remaja lewat dan dapat diidentifikasikan melalui tes- tes psikologis. Data hasil testing memberikan gambaran deskriptif tentang individualitas seseorang yang lebih dapat diandalkan daripada hasil intropeksi atau refleksi terhadap diri sendiri.
(b) Pola kemampuan dan potensi yang tampak pada seseorang menunjukkan hubungan yang berlain-lainan dengan kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada seorang pekerja di berbagai bidang pekerjaan. Juga wujud minat yang dimiliki seseorang menunjukkan hubungan yang berlain-lainan dengan pola minat yang ditemukan pada orang berkarier di berbagai bidang pekerjaan. Dengan demikian, dibutuhkan informasi jabatan (vocational information), yang tidak hanya mendeskripsikan tugas-tugas yang dilakukan, tetapi menggambarkan pula pola kualifikasi dalam kepribadian pekerja, yang harus dipenuhi supaya mencapai sukses dalam suatu .bidang pekerjaan. lnformasi jabatan yang terandalkan hanya,dapat diperoleh melalui aneka usaha penelitian ilmiah, bukan berdasarkan kesan pribadi dari calon pekerja atau dari pekerja yang sudah bertugas. Justru analisis jabatan (job analysis) dalam bentuk identifikasi kualifikasi yang dituntut (human capacities), memungkinkan penemuan hubungan yang berarti dengan kemampuan, minat, dan keterampilan yang diidentifikasikan pada seorang calon pekerja melalui testing psikologis. Sejumlah kualifikasi yang diketahui berdasarkan penelitian ilmiah itu justru menjadi norma objektif yang dapat digunakan sebagai patokan untuk meramalkan, apakah seorang calon pekerja dapat berhasil baik atau tidak. lni semua memberikan dasar pada langkah ketiga menurut model Parsons dan tidak hanya tinggal kesan subjektif tentang kecocokan seseorang bagi bidang pekerjaan tertentu.
(c) Sesuai dengan pola berpikir pada butir (b), kurikulum suatu program studi menuntut sejumlah kualifikasi tertentu. Calon (maha) siswa akan belajar dengan lebih mudah dan dengan hasil yang lebih memuaskan, kalau pola kemampuan dan minatnya sesuai dengan pola kualifikasi tertentuyang ditumut dari seorang (maha) siswa yang mengikuti program studi tertentu. Dengan demikian informasi pendidikan (educational information) yang dibutuhkan bukan hanya mendeskripsikan isi dari suatu program studi, tetapi juga menggambarkan pola kualifikasi (human capacities) yang dituntut. Informasi ini harus bersifat objektif berdasarkan hasil penelitian, dan tidak boleh tinggal informasi yang berupa kesan subjektif dari orang-perorangan atau beberapa orang saja. Diagnosis terhadap pola kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang harus mendahului penerimaan dan penempatan dalam program studi tertentu. Diagnosis atau analisis psikologis ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan aneka alat tes yang terandalkan. Penentuan kecocokan atau ketidak¬cocokan antara data tentang tuntutan program studi dan data tentang individu, lebih dapat diandalkan daripada hanya prakiraan kecocokan atas dasar pandangan pribadi tentang diri sendiri dan sekadar kesan ten tang tuntutan program studio
(d) Setiap individu mampu, berkeinginan, dan berkecenderungan untuk mengenal diri sendiri serta memanfaatkan pemahaman diri itu dengan berpikir baik-baik, sehingga dia akan menggunakan keseluruhan kemampuannya semaksimal mungkin dan dengan demikian mengatur kehidupannya sendiri secara memuaskan.

Mengenai martabat kehidupan manusia, Williamson berpendapat bahwa manusia berpotensi untuk melakukan yang baik dan yang jahat; namun, makna kehidupan adalah mengejar yang baik dan menolak serta mengontrol yang jahat. Dalam perkembangannya, manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk dapat mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya secara memadai. Konselor di, institusi pendidikan berusaha dengan sejujur-jujurnya. untuk mempengaruhi arah perkembangan itu; konseli minta bantuan konselor karena dia dari dirinya sendiri belum dapat menemukan arah perkembangannya sendiri. Karena konseli belum mengenal diri sendiri, konselor mendampinginya mengumpulkan data ekstrinsik tentang dirinya untuk melengkapi persepsi konseli terhadap diri sendiri. Konseli yang menghadap konselor atas prakarsanya sendiri akan lebih mudah dilayani, tetapi Williamson cenderung menerima kemungkinan konselor memanggil (maha) siswa untuk diajak berbicara, meskipun konseli tidak boleh dipaksa untuk melanjutkan hubungan dengan konselor. Dengan membantu konseli berpikir secara tepat, berbagai permasalahan dapat diatasi (problem solving). Konselor secara jelas ikut mengatur proses pemikiran (strukturalisasi) dan terlibat dalam menyampaikan informasi serta melakukan kegiatan diagnostik. Proses konseling berlangsung melalui lima fase, yaitu penciptaan hubunganyang serasi dalam suasana komunikasi pribadi yang memuaskan (a warm and friendly relationship); pengembangan pemahaman diri; penyusunan suatu rencana bertindak; pelaksanaan rencana itu; konsultasi dengan tenaga pembina (maha) siswa yang lain bila perlu.
Konselor yang berpegang pada pendekatan Trait-Factor mengikuti rangkaian langkah kerja yang agak mirip dengan pelaksanaan studi kasus dan pelayanan dokter terhadap seorang pasien, yaitu: analisis atau pengumpulan data yang relevan; sintesis at au organisasi dari data itu untuk memperoleh gambaran yang selengkap mungkin tentang konseli; diagnosisatau kesimpulan tentang semua unsur pokok dalam masalah konseli dan sebab-musababnya; prognosis atau perkiraan tentang perkembangan konseli selanjutnya serta berbagai implikasi dari hasil diagnosis; konseling atau wawancara perseorangan untuk memikirkan penyelesaian terhadap problem yang dihadapi; tindak lanjut (follow-up) atau bantuan kepada konseli bila timbul masalah lagi dan evaluasi terhadap efektivitas konseling.
Sebagai contoh diambil kasus sebagai berikut: Seorang siswa kelas III SMU belum dapat menentukan pilihan program studi perguruan tinggi. Disepakati akan dikumpulkan data tentang siswa yang relevan, yaitu taraf inteligensi, bakat khusus, dan minat melalui testing psikologis (analisis). Data hasil testing yang masuk menyatakan bahwa siswa bertaraf inteligensi tinggi, berbakat khusus dalam bidang studi matematika, cukup mampu dalam pengamatan ruang, dan mempunyai minat yang mengarah ke pekerjaan sosial; maka tampak suatu pola kemampuan dan minat tertentu (sintesis). Siswa dahulu mengatakan bahwa dia pernah memikirkan. program studi teknik sipil, arsitekstur, dan keguruan dibidang matematika. Sebenarnya ada kecocokan antara milik/bekal kemampuan kognitif dengan kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang studi itu, tetapi hanyalah terdapat kecocokan dalam arah minat dengan bidang keguruan. Dengan demikian inti problemnya adalah menentukan/memilih suatu bidang studi yang menuntut pola kualifikasi yang sesuai, baik dengan kemampuan di bidang kognitif maupun dengan arah minat (diagnosis). Implikasi dari hasil diagnosis itu adalah supaya siswa meninjau kecocokan antara pola kualifikasi yang dituntut dalam ketiga bidang studi di atas, dengan pola kemampuan dan minat yang telah diidentifikasikan pada dirinya sendiri (prognosis). Peninjauan itu dilaksanakan dalam wawancara dengan konselor, sampai siswa akhirnya memilih program studi Pendidikan Matematika. Konseli menghadap kembali kalau ternyata timbul kesulitan dalam pelaksanaan keputusannya (follow-up). Konseling menurut pendekatan Trait-Factor juga dapat diterapkan terhadap masalah lain bila akan digunakan berbagai macam tes psikologis (konseling klinikal). Akan . tetapi, dalam praktek lapangan di institusi pendidikan corak konseling ini paling sering diterapkan terhadap permasalahan pilihan bidang studi dan/atau bidang pekerjaan.
Williamson sendiri sudah mengakui bahwa konfigurasi kualifikasi yang dituntut dari seorang pekerja yang sudah bertugas sebenarnya bukan hanya meliputi kemampuan kognitif dan pola minat, melainkan juga sifat-sifat kepribadian, sikap serta motivasi. Ciri-ciri kepribadian yang terakhir itu belum dapat diketahui secara pasti, sampai berapa jauh merupakan kualifikasi yang dituntut dalam berbagai bidang pekerjaan. Pun pula, tes-tes psikologis yang mengidentifikasikan ciri-ciri itu pada seseorang belum dapat diandalkan semuanya. Di samping itu, hubungan atau korelasi antara data hasil testing terhadap semua ciri kepribadian itu dengan konfigurasi kualifikasi yang menyangkut ciri kepribadian Yang sama, belumlah diketahui secara pasti. Dengan demikian, taraf kecocokan antara pola berbagai ciri kepribadian yang telah diidentifikasikan itu dan pola kualifikasi yang dituntut pada seorang pekerja di bidang pekerjaan tertentu, juga belum dapat diketahui secara pasti. Meskipun Williamson mengakui kelemahan-kelemahan itu, namun dia tetap mengajukan keberatan terhadap penggunaan analisis diri (self-analysis) dan observasi subjektif terhadap kualifikasi yang dituntut dalam suatu bidang pekerjaan. Misalnya, dia mencela metode yang dianjurkan oleh Rosengarten (1924), yaitu siswa menulis dalam lajur sebelah kiri ciri-ciri kepribadiannya menurut pandangannya sendiri (self-analysis) dan menulis dalam lajur sebelah kanan keseluruhan kualifikasi yang dianggapnya menjadi tuntutan .dalam bidang pekerjaan tertentu (observasi subjektif). Kemudian siswa membandingkan kedua lajur itu dan menentukan adanya kecocokan atau tidak adanya kecocokan. Dikatakan oleh Williamson bahwa metode ini mudah digunakan, tetapi tidak terandalkan, karena data itu tidak harus sesuai dengan kenyataan dan penentuan kecocokannya dapat sangat terpengaruh oleh keinginannya sendiri (wishful thinking). Williamson mengharapkan supaya testing psikologis dan penelitian terhadap konfigurasi kualifikasi di lapangan akan mengalami kemajuan, sehingga data yang mendasari pilihan suatu bidang pekerjaan dan/atau bidang studi lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping kelemahan-kelemahan yang dikemukakan di atas, masih dapat ditunjukkan beberapa kelemahan yang lain, sejauh pendekatan Trait-Factor menyangkut pilihan bidang studi dan/atau pekerjaan. Kelemahan tersebut itu adalah sebagai berikut.
(a) Kurang diindahkan adanya pengaruh dari perasaan, keinginan, dambaan, aneka nilai
budaya (cultural values), nilai-nilai kehidupan (personal values), dan cita-cita hidup, terhadap perkembangan jabatan anak dan remaja (vocational de.velopment) serta , pilihan program/bidang studi dan bidang pekerjaan (vocational choice).
(b) Diandaikan bahwa pilihan jabatan dan pilihan program studi terjadi sekali saja dan ini pun bersifat keputusan terakhir atau definitif, dengan berpikir secara rasional. Padahal, pilihan seperti ini tidak dibuat sekali saja, tetapi dibuat secara bertahap¬-tahap dari pilihan intermediar sampai pada pilihan definitif dan bukan hanya berdasarkan proses berpikir rasional saja. Semua ini berkaitan dengan munculnya pandangan yang lebih baru mengenai proses perkembangan jabatan (vocational development),sebagaimana akan dibahas dalam Bab 13.
(c) Kurang diperhatikan peranan keluarga dekat, yang ikut mempengaruhi rangkaian pilihan anak dengan cara mengungkapkan harapan, dambaan dan memberikan pertimbangan untung-rugi sambil menunjuk pada tradisi keluarga; tuntutan mengingat ekonomi keluarga; serta keterbatasan yang konkret dalam kemampuan finansial, dan sebagainya.
(d) Kurang. diperhitungkan perubahan/pergeseran dalam kehidupan masyarakat, yang ikut memperluas atau membatasi jumlah pilihan yang tersedia bagi seseorang. Misalnya, kejenuhan di bidang pekerjaan tertentu harus menjadi bahan pertimbangan sebelum memutuskan; demikian pula, kekurangan akan sumber tenaga kerja di bidang-bidang lain membuka prospek baru. Sistem sosial koneksi, praktek diskriminasi, dan berbagai kebijakan seleksi ikut memperluas atau mempersempit ruang gerak.
(e) Kurang disadari bahwa konstelasi kualifikasi yang dituntut untuk mencapai sukses di suatu bidang pekerjaan atau program studi dapat berubah selama tahun-tahun yang akan datang. Selain itu, bersukses dalam suatu jabatan bukan hanya menyangkut balas jasa dan peningkatan status, melainkan pula rasa puas dalam hati sendiri dan hubungan antar pribadi yang memuaskan bagi berbagai pihak.
(f) Pola ciri~ciri kepribadian tertentu belum pasti sangat membatasi jumlah kesempatan yang terbuka bagi seseorang, karena orang dari berbagai pola ciri kepribadian dapat mencapai sukses di bidang pekerjaan yang sarna.
Meskipun corak konseling Trait-Factor mengandung sejumlah kelemahan sebagaimana dijelaskan di atas, pandangan Williamson mengenai martabat kehidupan manusia dan usaha konselor di suatu institusi pendidikan untuk mempengaruhi arah perkembangan para (maha) siswa secara positif, tetap menarik bagi seorang konselor yang bertugas di institusi pendidikan. Kekurangan pengalaman hidup dan kesukaran untuk mengambil suatu kebijaksanaan, yang kedua-duanya kerap tampak pada banyak konseli yang dilayani di sekolah, mendorong para konselor untuk menerapkan pendekatan ini, lebih dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut pilihan karier. Dalam hal ini dapat diterapkan suatu pendekatan yang mengambil inspirasi pada konseling Trait-Factor sebagaimana dikembangkan oleh Williamson, yaitu sebagai berikut: konseli dibantu untuk mengumpulkan dan mengolah data tentang diri sendiri (data psikologis): serta data tentang lingkungan hidup, yang meliputi data dan akta konkret tentang lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat,dan lingkungan bidang studi dan/atau jabatan yang sedang ditinjau (data sosial). Data dan fakta itu dalam kaitan satu sama lain menghasilkan sejumlah alternatif atau kemungkinan, yang kemudian dipertimbangkan pro dan kontranya. Akhirnya .dipilih alternatif yang paling masuk akal, paling bijaksana dan realistis karena baik bisa/dapat maupun ingin dipilih; atau mungkin ditemukan alternatif baru yang mengambil unsur~unsur dari berbagai alternatif yang lain (kompromi). Dengan demikian,keharusan untuk berpikir rasional tidak dikesampingkan, tetapi sudah tidak merupakan proses berpikir untuk menemukan kecocokan seperti mula-mula digambarkan dalam konseling Trait-Factor. Secara praktis, data dan fakta yang dibutuhkan dapat dikumpulkan dalam urutan sebagai berikut.
(a) Data tentang diri sendiri: kemampuan intelektual; bakat khusus; minat; harapan; berbagai perasaan; nilai-nilai kehidupan (personal values); cita-cita; keterampilan¬keterampilan; serta ciri-ciri kepribadian yang lain, yang bersifat nonkognitif. Sejauh mungkin data itu dicari dengan melalui alat-alat tes dan nontes; bilamana alat yang terandalkan tidak tersedia, data itu dikumpulkan berdasarkan refleksi diri (self¬analysis) dengan menyadari kelemahan yang terkandung di dalamnya. Namun, beberapa data paling diketahui oleh konseli sendiri, seperti nilai-nilai kehidupan dan cita-cita hidup.
(b) Fakta tentang keluarga dekat; aneka harapan keluarga; kewajiban moral-sosial terhadap keluarga; kemampuan ekonomi keluarga, dan sebagainya.
(c) Fakta tentang lingkungan hidup: ciri/corak khas dari setiap program studi dan/atau setiap bidang pekerjaan; konstelasi kualifikasi yang secara minimal dituntut; keadaan konkret masyarakat yang mempersempit atau mernperluas ruang gerak konseli yang menghadapi keharusan memilih. Sejauh mungkin fakta itu bersifat kenyataan yang disahkan dalam hasil penelitian; namun data sosial semacam ini tidak selalu tersedia atau sudah tidak up-to-date.
Pendekatan ini dapat digunakan terhadap semua kasus yang mengandung unsur-¬unsur sebagai berikut: termasuk ragam konseling jabatan dan/atau konseling akademik (konseling karier), di mana konseli menghadapi keharusan untuk memilih di antara beberapa alternatif; konseli telah menyelesaikan minimal jenjang pendidikan SLTE dan sudah mulai tampak stabil dalam berbagai ciri kepribadian; konsel tidak menunjukkan kelemahan serius dalam beberapa segi kepribadiannya, misalnya selalu ragu-ragu dalam keputusan tentang apa pun juga atau sangat dikuasai oleh alam perasaannya sendiri. Namun, harus selalu diperhatikan apakah pilihan yang akan dibuat bersifat intermediar atau definitif sehingga sukar diubah kelak.
Sebagai contoh diambil kasus sebagai berikut: Ada seorang siswa SMU, kelas III, pro¬gram studi IPA. Dia mengambil program studi itu karena ingin supaya tetap terbuka kesem¬patan baginya untuk kelak melanjutkan ke Fakultas Kedokteran atau Fakulas Pertanian. kalau kiranya bisa. Data yang akan dikumpulkan dengan bantuan konselor meliputi:
(a) Data tentang diri sendiri: kemampuan intelektual bertaraf lebih dari cukup (berdasarkan hasil testing); berbakat khusus di bidang studi matematika (berdasarkan hasil penilaian guru selama beberapa tahun); berminat terhadap matematika dan memelihara tanaman (berdasarkan ,analisis diri, yang diperkuat dalam hasil testing); nilai kehidupan menekankan pengabdian kepada sesama (berdasarkan analisis diri, yang diperkuat oleh beberapa guru pada skala penilaian); cita-cita masa depan terpusat pada usaha pembangunan dan kepemimpinan (berdasarkan data kartu pribadi mengenai keterlibatannya dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai pemimpin, disertai keyakinan sendiri); sifat-sifat kepribadian yang mencolok adalah sabar, ringan tangan, dan besar hati (berdasarkan analisis diri, diperkuat oleh penilaian sejumlah guru pada skala penilaian); keterampilan tidak ada yang mencolok, tetapi diakuinya sendiri tidak merasa malu bila tangannya menjadi kotor; harapannya ialah melanjutkan ke perguruan tinggi dan membuat orang tuanya merasa bangga.
(b) Fakta tentang keluarga dekat: orangtua mengharapkan dia melanjutkan studi, tetapi jangan sampai terlalu lama karena harus ikut membiayai pendidikan adik-adik; kemampuan ekonomi keluarga sedang saja, sehingga selama studinya dia harus tetap tinggal di rumah orang tua nanti; program studi diserahkan kepada anak, asal dia dapat menekuninya.
(c) Fakta tentang program studi, yang mempersiapkan untuk karier tertentu yang pernah dibayangkan, yaitu Kedokteran Umum, Psikologi, Teknologi Pertanian, Ilmu Pasti. Kedokteran Umum menuntut beberapa kualifikasi yang kiranya dapat dipenuhi, tetapi secara finansial sangat berat, Psikologi menuntut pola kualifikasi yang tidak berbeda jauh dengan data dalam butir (a), tetapi program studi strata satu (S1) tidak memberikan harapan dapat segera bekerja dengan mendapat imbalan yang cukup memadai baginya. Teknologi Pertanian memungkinkan segera bekerja dan memulai usaha sambilan untuk menambah penghasilan serta pola kualifikasinya pun tidak jauh berbeda dengan data mengenai diri sendiri. Ilmu Pasti pun kelihatan sesuai, apalagi kalau dia menamatkan program studi Pendidikan Matematika di dan menjadi guru di suatu sekolah serta memberikan tes privat. Pilihan program studi di PT tidak dikaitkan dengan program studi yang diambil di SMU, menurut ketentuan yang berlaku pada saat itu.

Dalam pembicaraan selanjutnya menjadi jelas, bahwa siswa ini harus memberikan tekanan pada fakta yang tercantum dalam butir (b) di atas. Setelah masing-masing alternatif program studi, sebagai persiapan untuk karier tertentu, ditinjau pro dan kontranya untuk dapat menjawab dua soal, yaitu "Bisakah?/Mungkinkah?" (Possible?) dan "Inginkah?" (Desirable?), akhirnya diputuskan bahwa:
(a) Kedokteran umum tidak mungkin, meskipun sebenarnya ingin. Maka tidak jadi.
(b) Psikologi tidak diinginkan, meskipun sebenarnya bisa. Maka tidak jadi.
(c) Teknologi Pertanian bisa dan diinginkan. Namun dia harus studi di PTN di kota tempat tinggalnya; tidak ada PTS yang menawarkan program studi itu. Maka ditentukan sebagai pilihan yang kedua.
(d) Ilmu Pasti bisa dan diinginkan. Di kota tempat tinggalnya ada Negeri dan Swasta yang menawarkan program studi Pendidikan Matematika. Maka pilihan yang pertama menjadi Pendidikan Matematika, SI, dengan preferensi di Negeri.

Ditentukan dua pilihan program studi atas dasar pertimbangan, bahwa belum tentu dia diterima untuk pilihannya yang pertama. Daripada merasa frustasi besar, dia secara mental sudah siap untuk diterima dalam pilihannya yang kedua. Untuk siswa ini kedua pilihan itu bercirikan definitif, meskipun keputusan tentang suatu spesialisasi dapat diambil kemudian. Segi yang tidak ditinjau dalam kasus ini ialah apakah suatu alternatif pilihan probable, dalam arti siswa itu dapat diramalkan akan berhasil baik dalam program studi Teknologi Pertanian dan Pendidikan Matematika. Untuk itu diperlukan data yang memberikan indikasi tentang besar-kecilnya probabilitas akan berhasil baik, setelah diterima di salah satu program studio Data semacam itu di Indonesia dewasa ini masih jarang tersedia. Namun, mengingat data psikologis yang tersedia, siswa ini boleh mengharapkan akan berhasil baik kalau dia tetap bermotivasi kuat.
Perlu dicatat bahwa pengumpulan data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat serta lingkungan hidup sangat bermanfaat untuk dapat menentukan suatu norma atau patokan yang menjadi landasan untuk kelak dapat mengambil suatu keputusan tegas. Biarpun norma atau patokan itu di sini tidak dirumuskan secara eksplisit seperti kerap terjadi dalam konseling yang tidak menyangkut suatu pilihan program studi atau bidang pekerjaan, namun tinjauan mengenai segi pro dan segi kontra pada setiap alternatif pilihan lazimnya berlandaskan pada suatu norma atau patokan yang berkaitan dengan data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat serta lingkungan hidup. Dengan kata lain, himpunan data dan fakta yang disebutkan dalam uraian di atas menghasilkan suatu pegangan dasar dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya. Selain itu patut diperhatikan bahwa dalam contoh yang disajikan dalam uraian di atas konseli sudah mempunyai beberapa alternatif program studi untuk ditinjau, antara lain meninjau kualifikasi yang dituntut. Dalam kasus yang demikian tidak perlu lagi membuat suatu inventarisasi tentang alternatif program studio Berbedalah keadaan konseli yang belum memikirkan alternatif yang dapat terbuka baginya, mengingat data tentang diri sendiri dan fakta tentang keluarga dekat., sehingga harus diadakan inventarisasi alternatif lebih dahulu untuk melengkapi data sosial, agar proses pengambilan keputusan selanjutnya berjalan lancar. Akhirnya, harap diperhatikan bahwa pendekatan sebagaimana dijelaskan di atas menyangkut suatu kasus pilihan di antara beberapa alternatif (a choice case) mengenai program studi/bidang studi dan/atau bidang pekerjaan, bukan kasus pilihan di antara beberapa alternatif di luar dua bidang itu. Istilah "probable" dalam urain di atas dan istilah "feasible" tidak menunjukkan pada sesuatu, yang sangat berbeda; istilah yang pertama menyangkut hasil yang boleh diharapkan bila dipilih alternatif program studi atau bidang pekerjaan tertentu, sedangkan istilah yang kedua menyangkut hasil yang boleh diharapkan bila dipilih suatu alternatif tertentu dalam lingkup permasalahan yang tidak berkaitan dengan bidang studi atau bidang pekerjaan.

Model Pelaksanaan Trait-Factor Counseling
Kasus
Haryanto adalah seorang siswa SMU Negeri di Yogyakarta, kelas III, program studi IPA. Pada bulan November dia menghadap konselor di sekolah untuk membicarakan masalah kelanjutan studi setelah tamat sekolah, pada bulan April tahun berikutnya. Dalam wawancara menjadi jelas bahwa Haryanto merasa bingung sekali karena tidak mengetahui bagaimana caranya mengatasi kesulitanyang dihadapinya. Adapun kesulitan Haryanto adalah sebagai berikut: dia berkeinginan sekali melanjutkan ke fakultas teknik dan nanti bekerja sebagai insinyur sipil. Dia yakin mampu menyelesaikan studi di fakultas teknik karena hasil belajar di SMU dalam seluruh bidang studi, yang menunjang studi di fakultas teknik, selama ini tergolong baik Hasil ini memang sesuai dengan hasil tes kemampuan belajar yang ditempuh ketika Haryanto mencalonkan diri sebagai siswa di SMU ini. Sejak masuk SMP Haryanto senang membaca buku-buku tentang teknik yang dipinjam di perpustakaan sekolah, khususnya teknik bangunan suatu jalan raya. Menurut pendapat Haryanto, kepribadiannya cocok untuk bekerja sebagai insinyur pembangunan di lokasi mana pun juga. Atas pertanyaan konselor Haryanto menjelaskan bahwa keluarganya mendukungcita-cita tersebut, namun tidak mampu untuk membiayai studi di fakultas teknik sampai mencapai gelar insinyur. Dia diharapkan akan cepat bekerja supaya dapat membantu membiayai pendidikan. adik-adiknya. Nah, keadaan ekomomi keluarga dan harapan orang tua inilah. Yang menimbulkan kesulitan besar, sehingga Haryanto sudah lama menghadapi masalah: bagaimana saya ini sesudah tamat? Karena masalah yang belum terpecahkan ini, Haryanto semakin merasa sukar untuk berkonsentrasi dalam belajar. Dia bahkan merasa minder sebab teman/rekan sekelas semuanya berkata akan melanjutkan ke PT yang banyak terdapat di Yogyakarta.
Langkab-langkah kerja:
(1) Membangun hubungan pribadi dengan Haryanto: lihat bagan dibagian A.
(2) Mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan pikiran dan perasaan Haryanto.
Masalah yang ingin dibicarakan oleh Haryanto ialah: tidak mengetahui akan melanjutkan studi ke mana karena keluarganya tidak mampu membiayai studi di fakultas teknik. Dia merasa sangat bingung karena persoalan ini; merasa minder kalau tidak dapat melanjutkan.

(3) Mengadakan analisis kasus, yaitu menghimpun data yang ternyata tersedia:
(a) Haryanto sendiri. Kemampuan belajar: cukup tinggi. Bakat khusus: matematika dan menggambar mistar. Cita-cita hari depan: menjadi insinyur sipil dengan belajar di fakultas teknik suatu PT. Minat: teknik pembangunan jalan raya. Sifat kepribadian yang mencolok: mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Nilai kehidupan (setelah ditanyakan langsung): pengabdian pada kebutuhan bangsa dan Negara, Perasaan: bingung, minder.
(b) Keluarga Haryanto. Orang tua sebenarnya mendukung cita-citanya. tetapi terbentur pada persoalan biaya seandainya dia belajar di fakultas teknik. Dia diharapkan lekas bekerja untuk membantu pendidikan adik-adiknya.
(c) Bidang pekerjaan yang diinginkan: sebenarnya mempunyai prospek masa depan yang baik, lebih-lebih bila Haryanto bersedia ditugaskan di luar Pulau Jawa. Bidang-bidang studi di PT yang sesuai dengan data tentang Haryanto sendiri dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif-alternatif: l) di PTN Universitas, S1, JurusanTeknik Sipil; 2) di PTS Universitas, S1, Jurusan Teknik Sipil; 3) di PTN Universitas, Program D3 Politeknik, Teknik Sipil; 4) di PTN , S1, dalam Pendidikan Teknik Bangunan; 5) di PTN , D3, datam Pendidikan Teknik Bangunan; 6) di Universitas Terbukas Program D2 Keterampilan Teknik; 7) alternatif lain yang relevan, seandainya diketahui tersedia. Semua alternatif itu dikumpulkan dalam rangka inventarisasi kemungkinan yang terbuka baginya.
(4) Membantu Haryanto mengintegrasikan semua data di atas satu sama lain dan mempertimbangkan pro dan kontra dari masing- masing alternatif, agar menjawab dua pertanyaan: "bisakah?/mungkinkah" serta "inginkah?". Misalnya dipertimbangkan sebagai berikut:
(a) Semua program studi Sl kelihatannya tidak mungkin (tidak bisa),karena masa studi terlalu lama dan biaya tidak tersedia, meskipun program-prograrn studi itu sebenarnya diinginkan. Namun, dapat dicari informasi apakah bagi Haryanto tersedia kemungkinan mendapatkan beasiswa atau mengambil kredit mahasiswa di bank dengan syarat lunak. Seandainya kemungkinan itu ada, seluruh program studi itu dapat dipertimbangkan lagi (Untuk mencari informasi itu proses konseling dihentikan dulu.) Dalam wawancara berikutnya. Haryanto melaporkan bahwa bagi dia tidak tersedia kemungkinan itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa semua program studi Sl tidak dapat dipilih (tidak mungkin dipilih; tidak bisa dipilih).
(b) Semua program studi D3 dimungkinkan karena masa studi tidak terlalu lama, biaya tidak terlalu tinggi dan tersedia kesempatan untuk lekas bekerja. Namun program studi manakah yang diinginkan mengingat cita-cita semula adalah menjadi insinyur sipil? Berarti harus ada perubahan dalam cita-cita Haryanto, alias aspirasinya harus diturunkan. Di antara altematif-alternatif yang ada, Haryanto ternyata paling menginginkan program D3 Pendidikan Teknik Bangunan di , karena sebagai guru dia dapat juga mengabdi.
(c) Universitas Terbuka, program D2 Keterampilan Teknik sebenarnya mungkin, tetapi Haryanto tidak begitu ingin karena dianggap di bawah kemampuan otaknya. Dia baru bersedia memilih alternatif ini kalau dia ternyata tidak diterima di program Politeknik dan Pendidikan Teknik yang tercantum pada butir b di atas. Akhirnya. Haryanto memutuskan untuk memilih sebagai alternatif pertama program D3 Pendidikan Teknik di ; sebagai alternatif kedua program D3 Politeknik di Universitas; dan sebagai alternatif ketiga program D2 Keterampilan Teknik di Universitas Terbuka.
(5) Mengakhiri hubungan pribadi dengan Haryanto: lihat bagan di bagian A.
Patut dicatat di sini bahwa dalam kasus ini konseli belum memikirkan sejumlah alternatif program studi di PT; ini berbeda dengan kasus yang disajikan dalam Bab 9, A, 2 dan sudah ditunjukkan di situ. Maka pada akhir fase 3 diadakan inventarisasi alternatif lebih dahulu untuk melengkapi data sosial, agar proses pengambilan keputusan selanjutnya berjalan lancar; dalam inventarisasi itu belum digunakan nama program karena nama itu masih dapat berubah. Digunakan nama jurusannya atau bidang studinya.

TEORI KONSELING BERPUSAT PADA KLIENT

materi 7-8 *)


Standar kompetensi
Setelah mempelajari bagian ini, mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman konseling menurut Client Center.

Kompetensi dasar
Setelah menyelesaikan kegiatan kuliah ini, mahasiswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi teori atau pendekatan dalam konseling
2. Menjelaskan tokoh, pandangan dasar, asumsi masalah, tujuan, proses dan keberhasilan konseling Client Centered
3. Mengalisis teks wawancara Client Centered
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konseling Client Centered

Pengantar
Jumlah teori konseling (counseling theory) atau pendekatan terhadap konseling (counseling approach) dewasa ini berjumlah agak banyak. Kenyataan ini membuat para calon konselor kerap merasa bingung, karena mereka harus mempelajari sekian banyak pandangan teoretis yang isinya berlain-lainan, bahkan dinilai saling bertentangan. Bukannya mereka berkeberatan terhadap refleksi teoretis dan konseptualisasi, tetapi hendaknya terdapat satu teori dengan satu pendekatan saja yang dapat diterapkan terhadap semua konseli dalam segala masalah. Mereka berkeberatan, karena wadah teorinya terlalu banyak, sehingga mengaburkan praktek pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan pemikiran yang demikian, kemudian mudah dikatakan: diberikan saja sejumlah petunjuk praktis, misalnya disusun daftar permasalahan yang dapat dihadapi oleh konselor di institusi pendidikan, lengkap dengan daftar resep obat yang harus diterapkan pada setiap permasalahan. Dengan demikian, kata mereka. usaha profesional konseling menjadi jelas serta terarah dan tidak menjadi kabur serta tak menentu karena teori yang bermacam-macam itu. Rasa bingung semakin menjadi-jadi bila para calon konselor mulai menangkap bahwa di antara semua teori yang dipelajari tidak ada satu teoripun yang seluruhnya terbukti tepat dan benar, dan bahwa aneka teori itu pun tidak ada yang sebenarnya memenuhi semua syarat bagi suatu teori ilmiah, yaitu dapat ditangkap secara jelas; komprehensif yang mencakup banyak fakta; eksplisit tanpa mengandung suatu unsur dan peristilahan yang kabur; cukup sederhana tanpa mengkaji segala kaitan secara berbelit-belit: menghasilkan penelitian yang bermanfaat. Karena kenyataan inilah, sejumlah ahli dalam Konseling lebih suka berbicara mengenai pandangan tentang konseling atau orientasi terhadap konseling (counseling points of view). Kebingungan ini dapat semakin memuncak bila para calon konselor mulai menyadari bahwa teori-teori itu oleh sejumlah ahli dipandang sebagai teori psikoterapi dan bukan konseptualisasi untuk konseling, bahkan dipandang sebagai suatu teori kepribadian atau teori tentang perilaku manusia. Mengingat mereka biasanya disadarkan bahwa seorang konselor tidak bertindak sebagai psikoterapeut.
Keberatan-keberatan di atas dapat dijawab dengan mengatakan bahwa perbedaan dalam berbagai kerangka acuan berpikir mengenai proses konseling disebabkan karena sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap hakikat kehidupan manusia dan terhadap tujuan yang dicapai dalam suatu proses konseling. Sebagai perumpamaan: seorang tuna netra akan mendapat gambaran tentang seekor gajah yang berbeda-beda, tergantung dari sentuhannya jatuh pada bagian ekor, kaki, belalai, atau punggung gajah itu. Gambaran tentang gajah yang dibentuk dalam fantasinya semuanya mengandung kebenaran, tergantung dari bagian tubuh mana yang diraba-raba lebih dahulu. Demikian pula, semua teori konseling mengembangkan aspek-aspek tertentu tentang proses konseling, yang tidak mesti saling bertentangan. Namun, harus diakui bahwa diversifikasi dalam landasan pandangan teoretis itu mengharuskan konselor untuk membentuk suatu kerangka acuan. betpikir sendiri, yang menjadi milik pribadi dan berfungsi sebagai pegangan dalam melaksanakan layanan konseling di lapangan. Selain itu, konselor di institusi pendidikan berhadapan dengan perilaku manusia. Oleh karena itu, suatu teori kepribadian seharusnya tidak dinilai asing bagi seorang konselor profesional. Di samping itu perlu disadari bahwa sejumlah ahli tidak membedakan secara kualitatif antara konse1ing, psikoterapi, dan konseling psikoterapeutis, lebih-lebih dalam konseling yang tidak khusus menyangkut pilihan program studi dan pekerjaan; perbedaannya terletak dalam tingkat kedalamannya dan lama prosesnya.
Pembahasan teori-teori konseling dapat diatur dengan berbagai cara, yaitu menurut:
(1) Urutan kronologis: kapan teori konseling atau pendekatan terhadap konseling tertentu lahir, yaitu Psikoanalisis, Psikologi Individual, Teori Trait-Factor, client Centered Counseling; Teori Gestalt, Konseling Eklektik, Konseling Behavioristik, Rational-Emotive Therapy, Reality Therapy, Konseling Eksistensial, dan Analisis Transaksional.
(2) Tekanan yang diberikan pada hubungan antarpribadi antara konselor dan konseli (relationship), khususnya apa peranan hubungan itu dalam proses konseling. Ada pendekatan yang lebih berpusat pada hubungan antarpribadi, seperti Psikoanalisis dan Client-Centered Counseling; dan pendekatan yang lebih berpusat pada masalah yang dibicarakan, seperti Teori Trait-Factor, Konseling Behavioristik, Rational Emotive Therapy dan Analisis Transaksional. Kelompok pertama cenderung memandang hubungan antarpribadi sebagai inti dalam proses konseling; kelompok kedua cenderung memandang hubungan itu sebagai salah satu syarat keberhasilan dalam proses konseling (working relationship; working alliance).


Client-Centered Counseling
Istilah Client-Centered merupakan corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Mula-mula corak konseling ini disebut konseling nondirektif untuk membedakannya dari corak konseling yang mengandung banyak pengarahan dan kontrol terhadap proses konseling di pihak konselor, seperti dalam Konseling Klinikal dan Psikoanalisis. Kemudian mulai digunakan nama Client-Centered Counseling, dengan maksud menggarisbawahi individualitas konseli yang setaraf dengan individualitas konselor, sehingga dapat dlhindari kesan bahwa konseli menggantungkan diri pada konselor.
Corak konseling ini berpijak pada beberapa keyakinan dasar tentang martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia. Keyakinan-keyakinan itu untuk sebagian bersifat falsafan dan untuk sebagian bersifat psikologis, sebagai berikut:
(a) Setiap manusia berhak mempunyai setumpuk pandangan sendiri dan menentukan haluan hidupnya sendiri, serta bebas untuk mengejar kepentingannya sendiri selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Kehidupan masyarakat akan berkembang bila setiap warga masyarakat didorong dan dibantu untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang mandiri dan mampu mengatur kehidupannya sendiri. Ini pun berarti bahwa masing-masing orang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pengaturan hidupnya dalam lingkungan masyarakat tertentu:
(b) Manusia pada dasarnya berakhlak baik, dapat diandalkan, dapat diberi kepercayaan, cenderung bertindak secara konstruktif. Naluri manusia berkeinginan baik, bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Rogers berpandangan optimis terhadap daya kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau manusia bertindak dengan cara yang tidak baik. seperti menipu, mencelakakan orang lain karena rasa benci, dan berbuat sadis. itu disebabkan karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang dari nalurinya yang paling dasar. Bilamana orang dapat menemukan kembali nalurinya yang asli, usaha membela diri akan berkurang dan seluruh tindakannya akan lebih konstruktif.
(c) Manusia, seperti makhluk-makhhik hidup yang lain, membawa,dalam dirinya sendiri kemampuan, dorongan dan kecenderungan untuk mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin. Arah hidup yang dikejar seseorang .bercorak sedemikian rupa sehingga orang berkembang menikmati kesehatan mental yang baik, dapat membawa diri rlalam masyarakat secara memuaskan, merealisasikan segala potensi yang dimilikinya, serta berhasil hidup secara mandiri. Kemampuan, dorongan, serta kecenderungan itu disebut actualizing tendency dan merupakan kekuatan motivasional yang utama dan paling dasar, yang menggerakkan individu untuk mengejar kemandirian dalam hidupnya, tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan mau diatur serta dikontrol oleh orang lain. Kemampuan, dorongan, serta kecenderungan itu akan tampak dan beroperasi sepenuhnya bila tercipta kondisi psikologis positif, misalnya selama proses konseling. Peranan konselor yang pokok ialah menciptakan segala kondisi yang memungkinkan kemampuan dan kecenderungan itu untuk menampilkan diri.
(d) Cara berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap keadaan hidup yang dihadapinya, selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri dan keadaan yang dihadapi. Pandangan subjektif ini mendasari tingkah laku manusia karena keadaan pada dirinya sendiri dan keadaan dalam lingkungan hidup diberi makna sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dengan kata lain, keadaan tertentu yang secara objektif mungkin sama bagi dua orang, akan dihayati dengan caranya sendiri sehingga menjadi situasi yang berbeda. Setiap manusia membangun suatu dunia subjektiL yaitu alam pikiran perasaan. kebutuhan, dan keinginan sendiri yang khas, dan hanya dia sendirilah yang dapat menghayati (experiential field, internal frame of reference). Berdasarkan dunia subjektif ini manusia menghadapi dunia di sekelilingnya dan dirinya sendiri. Penghayatan dan kesadaran akan dirinya sendiri dengan semua perasaan,pandangan, dan ingatan membentuk apa yang disebut konsep diri (self-concept), yaitu gambaran yang dimiliki individu tentangdiri sendiri bersama dengan evaluasi terhadap gambaran itu. Gambaran diri itu terdiri atas beberapa unsur, seperti pandangan tentang ciri-ciri kepribadiannya sendiri, tentang hubungan sosialnya dengan orang lain, tentang cita-cita yang ingin dikejar, tentang penghargaan atau celaan yang patut diberikan kepada diri sendiri. Maka dibentuk gambaran mengenai Siapa saya ini menurut pandangan saya (The person I think I am); Siapa saya ini sebenarnya ( The person I really am); Saya bercita-cita menjadi orang yang bagaimana (The person I would like to be); Saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (The person I ought to be). Misalnya. seorang sadar akan dirinya sendiri sebagai pria. Suami yang mempunyai istri dan anak-anak, atau dosen yang mengajar di perguruan tinggi yang cukup pandai dan sabar terhadap mahasiswa. Dia memandang dirinya sebagai suami yang setia pada keluarganya dan tugasnya sebagai tenaga edukatif. Namun, dalam kenyataan dia agak sering bertindak . lain dengan kurang menunjukkan. kesetiaan kepada keluarga dan kepada mahasiswa. Pada suatu ketika dia menjadi sadar akan pengalaman yang nyata itu dan mulai mengakui kepada dirinya sendiri siapa dia sebenarnya. Pengalaman itu menyadarkan dia akan cita-cita yang ingin dikejarnya, yaitu menjadi suami dan dosen yang setia, dan dia memperingatkan diri sendiri bahwa dia seharusnya menjadi seperti itu. Dalam konsep diri yang utuh tidak terdapat kesenjangan atau jurang pemisah antara unsur-unsur, sehingga gambaran diri yang ideal pada pria di atas adalah: saya memandang diri sebagai suami dan dosen yang setia; ini sesuai dengan kenyataan yang tampak dalam seluruh tindakan saya, sehingga saya terbukti mengejar cita-cita saya yang luhur dan telah bertindak sesuai dengan yang seharusnya saya lakukan. Keadaan yang ideal oleh Rogers disebut congruence.
(e) Seseorang akan menghadapi persoalan jika di antara unsur-unsur dalam gambaran
terhadap dirisendiri timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara Siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak disangkal Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan dengan perkiraan itu, karena ternyata dia berkali-kali rnengucapkan kata-kata yang sengit penuh rasa iri kepada adiknya yang sudah rnempunyai pacar. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara Siapa saya ini sebenarnya dan Saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya: kesadaran yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup jurang pemisah antaradua kutub di dalam dirinya seridiri, sertaakhirnya menemukan dirinya kembalisebagai orang yang pantas (person of worth). Lainlah keadaan, seandainya mahasiswi itu tidak menyadari keadaan diri dan tidak sampai mengakui jurang pemisah itu; dia dapat menyangkal kita dan tindakannya sendiri, yang bersumber pada rasa iri, dan mencari berbagai kesalahan pada adiknya. Dengan demikian, dia.membenarkan perkataan sengit yang diucapkannya dan tetap memandang dirinya sebagai orang yang pantas, karena ada alasan untuk berkata-kata demikian. Namun, sebenarnya, hanya sebagian dari pengalaman nyata disadari dan diakui, yaitu perkataan yang sengit; tetapi bagian yang lain tidak diakui, yaitu rasa iri dalam hatinya sendiri belum disadari. Sebagian dari pengalaman hidup tidak diakui atau dibengkokkan. sehingga menurut pandangannya sendiri terdapat kesesuaian dan kecocokan antara data pengalaman dan gambaran terhadap diri sendiri serta di antara semua unsur di dalam gambaran diri; padahal kesesuaian itu sebenarnya tidak ada dan pada suatu saat dapat masuk ke alam kesadaran, meskipun masih samar-samar.

Selama proses konseling semua pengalaman nyata dalam bergaul dengan orang lain dan dalam dirinya dibiarkan muncul dan disadari sepenuhnya, sehingga dapat diberi tempat dalam keseluruhan konsep diri. Kesenjangan dan pertentangan antara semua unsur dalam konsep diri itu mulai tampak, sehingga akhirnya dapat lebih diintegrasikan satu sarna lain. Perubahan yang dituju ialah perubahan dalam konsep diri, supaya lebih sesuai dengan pengalamannyata yang dihadapi. Konseli dianggap mampu mencapai perubahan itu, bahkan cenderung untuk mengusahakannya karena dorongan naluri untuk mencari perkembangan diri yang optimal dan maksimal. Pada dasarnya konseli berakhlak baik dan cenderung bertindak konstruktif. Semua itu lama-kelamaan akan muncul dengan sendirinya dan membawa konseli ke penyelesaian masalah yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Misalnya, mahasiswi tadi mulai mengakui sepenuhnya rasa iri yang terdapat dalam batinnya dan mulai menyadari bahwa tindakannya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan; dia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri bagaimana seharusnya cara berkata-kata kepada adiknya dalam keadaan merasa iri hati. Dengan demikian, mahasiswi itu menetapkan bagi dirinya sendiri tujuan apa yang ingin dicapainya dalam proses konseling, yaitu keselarasan antara ideal self dan real self Bagaimana bentuk atau wujud keselarasan itu akan ditemukannya sendiri, tanpa diberi petunjuk atau pengarahan oleh konselor dalam hal ini; bagaimana tindakannya selanjutnya terhadap adiknya juga akan ditemukannya sendiri. Dalam proses konseling perhatian konseli dipusatkan pada keadaan sekarang ini tanpa menggali-gali secara mendalam sejarah perkembangan rasa iri dalam hatinya. Konselor tidak mencoba untuk mengadakan diagnosis, yaitu mencari sebab-musabab dalam sejarah hidup sehingga mulai tampaklah suatu hubungan sebab-akibat. Tugas konselor adalah membantu konseli mengakui dan mengungkapkan seluruh perasaan yang dialami sekarang ini serta menghayatinya, dengan harapan bahwa konseli pada suatu ketika akan meninjau segala perasaan itu secara lebih objektif, dengan mengambil jarak dari dirinya sendiri.
Untuk memudahkan dan memperlancar proses yang berlangsung dalam diri konseli, konselor menciptakan beberapa kondisi yang mendukung. Kalau semua kondisi tertentu terpenuhi, maka akan berlangsung suatu proses dalam diri konseli yang akan menghasilkan perubahan dalam konsep diri dan dalam tingkah laku. Di pihak konselor kondisi itu adalah: menunjukkan penerimaan dan penghargaan tanpa syarat (unconditional positive regard); pemahaman terhadap apa yang diungkapkan oleh konseli sesuai dengan kerangka acuan konseli sendiri (phenomenal field), seolah-olah konselor mengenakan kepribadian konseli (emphatic understanding); penerimaan, penghargaan, dan pemahaman itu dapat dikomunikasikan kepada konseli dalam suasana interaksi pribadi yang mendalam, sehingga konseli merasakan semua itu sungguh-sungguh ada; kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan mengenai apa yang dihayati oleh konselor sendiri tentang konseli (counselor congruence). Menurut pandangan Rogers, kondisi-kondisi itu diperlukan dan sekaligus mencukupi untuk menjamin keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, hubungan antarpribadi (relationship) antara konselor dan konseli yang saling berkomunikasi menjadi kunci sukses atau gagalnya proses dan wawancara konseling. Kalau digunakan istilah . teknik konseling, inilah teknik yang diterapkan oleh konselor, yaitu menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala kondisi yang disebutkan di atas. Dengan menjadi. seorang pendengar yang sabar dan peka, yang meyakinkan konseli dia diterima dan dipahami konselor memungkinkan konseli untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur, lebih memahami diri sendiri dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakunya. jelaslah kiranya, bahwa peranan konselor yang demikian bukanlah peranan yang bercorak pas if, melainkan peranan yang sangat aktif, meskipun konselor tidak memberikan pengarahan seperti dalam pendekatan konseling yang lain.

Analisis teks wawancara dalam konseling Client Centered
Sebagai contoh, di bawah ini disajikan kutipan dari suatu wawancara yang diselenggarakan menurut pendekatan Rogers. Konseli adalah seorang mahasiswa program S2 berusia 25 tahun pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Konseli menghadap konselor (pria) pada Biro Konsultasi di kampus.

1. Ki : (= Konseli) "Maaf Pak, saya agak terlambat datang. Saya terpaksa menunggu agak lama di tempat persilangan kereta api. Pintu persilangan kereta ditutup rapat ketika saya sampai di tempat itu."
2. Kr : (= Konselor) "Tidak apa-apa. Kita semua bisa mengalami hambatan seperti itu."
3. Ki : "Terima kasih. Wah, pernafasan saya belurn tenang. Tadi agak ngebut sih."
4. Kr : "Saudari ingin beristirahat sebentar? Ke sini tadi agak tergesa-gesa?
5. Ki : " •'Ya." (Sementara itu ia mengfltur pakaian dan cara duduk).
6 Kr : "Ketika kita bertemu sebentar kemarin, kita hanya membuat janji. Saudari belum
mendapat kesempatan untuk berbicara lebih banyak."
7. Ki : "Mulai dari permulaan saja?"
8. Kr : "Hm, hm."
9. Ki : "Alasan saya menghadap Bapak adalah sebagai berikut: saya sekarang belajar di tahun kedua program S2 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tetapi sekarang saya menghadapi kesulitan. Dalam tahun pertama saya mendapat beasiswa dari ,tetapi sayang sekali beasiswa itu tahun ini dihentikan. Orang tua saya tidak mampu membiayai saya untuk tahun ini, maka saya terpaksa mulai memikirkan rencana masa depan, lebih-lebih bila tidak berhasil bekerja sebagai guru; saya sudah punya ijasah S1. Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang bidang pekerjaan bagi saya dan juga tentang hubungan saya dengan orang lain. Saya semakin merasa ragu-ragu, bagaimanakah masa depan saya. Akhirnya saya memutuskan lebih baik berkonsultasi dengan salah seorang ahli di sini."
10. Kr : "Soalnya bagi Saudari bukan hanya bidang pekerjaan, tetapi lebih luas: apa yang ingin Saudari capai di masa depan."
11. Ki : "Ya, saya kira soal pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama. Menurut pendapat saya, saya harus lebih dahulu memperbaiki hubungan social saya dengan orang lain. Kalau itu dapat berhasil, lainnya akan berjalan juga, entah apa yang akan saya kerjakan."
12. Kr : "Hm, hm."
13. Ki : "Saya pikir ..... hubungan sosial pad a diri saya tidak baik '" dahulu tidak beres dan sekarang ini juga belum ideal. Kalau begini terus, saya tidak tahu akhirnya saya akan berada di mana. Mungkin semuanya sudah terlambat, . pada umur saya ... " (diam).
14. Kr : "Kalau tidak salah tangkap, maksud Saudari adalah: kalau hubungan sosial Saudari terus seperti sampai sekarang ini, tidak akan berhasil dalam kehidupan masyarakat. Ini membuat Saudari merasa sedih, tanpa banyak harapan. Namun, Saudari juga ingin berhasil ... begitu ... bukan?"
15. Ki : "Ya, untuk sebagian besar begitu. Saya kira saya membutuhkan seseorang yang bisa membantu saya. Bisa saja saya pikirkan sendiri, tetapi entah akan berapa lama waktunya. Saya sudah mulai berpikir sedikit."
16. Kr : "Maka untuk mempercepat prosesnya Saudari datang ke mari. Agaknya Saudari sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri ... "
17. Ki : "Oh ya, banyak pertanyaan telah timbul dalam benak saya."
18. Kr : "Nah, ini melibatkan diri Anda ... "
19 Ki : "Kalau saya tinjau kernbali, saya dulu anak yang kurang bergaul, kerapkali sendirian. Kakak ibu menempatkan saya di TK dengan harapan agar saya belajar bergaul dengan anak lain. Saya tidak mengingat terlalu banyak tentang masa TK itu. Saya diberitahu kemudian, bahwa itulah alasan saya dicarikan TK. Kiranya kesukaran saya tidak mulai di waktu kemudian, tetapi pada urnur masih kecil. Di SD dan SMP teman-temanku yang hanya sedikit … satu-dua orang saja; itupun tidak berlangsung lama dan tidak mendalam .. ,
20. Kr : "Karenanya Saudari sering rnerasa tidak puas dan kurang bahagia sebab tidak mendapat teman sebanyak Saudari harapkan. Apalagi tidak pernah berteman akrab dengan seseorang. Demikian?"
21. Ki : "Benar begitu. Bagaimanapun juga: hubungan sosial saya tampaknya tidak normal ... kalau kata normal boleh dipakai di sini. Saya tidak tahu ... "
22. Kr : "Hm, hm. Agaknya Saudari berpendapat tidak memuaskan."
23. Ki : "Paling sedikit demikian ... tidak rnemuaskan."
24. Kr : " Tidak sesuai dengan yang diharapkan?"
25. Ki : "Betul. Kadang-kadang saya merasa cukup bahagia bila bertemu dengan teman-teman rnahasiswa di kampus, meskipun kita berbicara basa-basi saja. Tetapi perasaan itu cepat berganti bila saya sampai di rumah dan melihat wajahku di cermin, seolah-olah mencerminkan rasa sedih. Hubunganku dengan orang tua juga jauh, dan dalam hal asmara bagi saya Pangeran Charles belum muncu!."
26. Kr : "Kiranya kekurangan yang Saudari rasakan ialah tidak adanya hubungan pribadi yang berarti dengan seseorang pun juga. Lalu rasanya hampa. Begitu?"
27. Ki : "Saya kira ... memang demikian. Hidup saya terasa kosong.
28. kr : "Persahabatan, itulah yang didambakan?"
29. Ki : "Ya, suatu kontak yang dapat memperkaya semua pihak. Agaknya saya tidak memiliki sesuatu yang dimiliki kebanyakan orang lain. Entah apa yang menjadi kekurangan saya, sehingga rasa-rasanya hidup sebatang kara saja."
30. Kr : "Hm, hm. Sejauh saya tangkap. Saudari memandang diri Saudari sebagai orang yang mempunyai cacat: tidak mampu memulai dan mempertahankan suatu hubungan persahabatan. Ini membuat Saudari merasa agak putus asa. Demikian?"
31. Ki : "Benar. Dan kelemahannya pasti terletak di pihak saya sendiri, bukan di pihak pria atau wanita lain. Nah, saya kira hal ini tidak usah saya ulangi kembali. Sungguh sialan saya ini."
32. Kr : "Artinya tak perlu diragukan lagi. rasanya seperti kena nasib malang. Begitu?"
33. Ki : "Pasti demikian."

Konseli kemudian mulai berbicara tentang keluarga dan posisinya di antara saudaranya yang sekandung. Kemudian ia menemukan sendiri bahwa ia merasa tidak diperhatikan oleh keluarga; pengalamannya sejak kecil meninggalkan kesan demikian. Konseli menganggap dirinya tidak mampu bergaul; maka tidak perlu mencoba. Namun, pengalaman hidup ternyata menutut lain; dia seharusnya mampu bergaul dan ingin berusaha. Akhirnya, ia mulai yakin sendiri: tak boleh merasa kasihan terhadap diri sendiri terus-menerus dan harus mulai keluar dari kurungan yang dibuat sendiri.
Pendekatan ini mengandung banyak unsur positif, seperti tekanannya pada peranan konseli sendiri• sebagai pihak yang akhirnya menentukan keberhasilan atau kegagalan proses konseling; kebebasan yang diberikan kepada konseli untuk menentukan apa yang akan diubahnya pada diri sendiri; pentingnya hubungan antarpribadi dalam proses konseling; pentingnya konsep diri; dan keharusan konselor untuk menunjukkan sikap penuh pemahaman dan penerimaan. Sebagai kelemahan sejumlah ahli psikologi konseling menunjukkan tekanan terlalu besar yang diberikan pada perasaan, sehingga komponen berpikir rasional tidak mendapat tempat yang sewajarnya; tujuan konseling pengembangan diri yang maksimal dianggap terlalu umum, sehingga diragukan apakah suatu proses konseling akan menghasilkan perubahan konkret yang tampak jelas dalam perilaku konseli pada saat-saat perubahan semacam itu dibutuhkan, apalagi tanpa pengarahan dan sugesti/saran pihak konselor; tidak semua konseli akan menangkap makna dari pendekatan yang diterapkan oleh konselor, sehingga mereka merasa seolah-olah dibiarkan berputar¬ putar dalam dirinya sendiri tanpa ada tujuan dan arah yang jelas. Di samping itu, pendekatan ini dianggap terlalu terikat pada lingkungan kebudayaan Amerika Serikat, yang sangat menghargai kemandirian seseorang dalam kehidupan masyarakat dan pengembangan potensi individual yang dimiliki masing-masing warga masyarakat. Dengan demikian, pendekatan Rogers dalam lingkungan kebudayaan yang menekankan saling ketergantungan, hubungan sosial yang enak, dan peran aktif dari pimpinan dalam keluarga serta masyarakat, dinilai kurang sesuai.
Dewasa ini dibedakan antara pendekatan Client-Centered Counseling yang bercorak ortodoks (seluruhnya sesuai dengan paham Rogers), dan pendekatan yang beraliran Client¬ Centered, namun juga memperbolehkan konselor untuk mengadakan strukturalisasi terhadap wawancara konseling dan memberikan informasi, petunjuk, usul dan sugesti mengenai apa yang sebaiknya diusahakan oleh konseli. Jadi, menurut pendekatan yang merupakan pengembangan dari Client-Centered Counseling yang ortodoks, konselor tidak membiarkan konseli berjalan sendiri dan pada suatu ketika menemukan sendiri apa yang ingin dicapai, tetapi ikut mengatur proses konseling menurut fase-fase tertentu dengan mengambil pula sejumlah langkah kerja tertentu (strukturalisasi). Narasumber seperti Gendlin, Gordon, de Haas, dan Carkhuff berpendapat bahwa strukturalisasi terhadap proses konseling oleh pihak konselor tidak harus bertentangan dengan suasana komunikasi antarpribadi seperti digambarkan oleh Rogers; dan bahwa ajakan konselor untuk menggunakan pikiran rasional tidak harus bertentangan dengan kelonggaran bagi konseli untuk mengungkapkan banyak perasaan. Aliran-aliran konseling lainnya, yang tidak langsung mengembangkan warisan konsepsi Rogers, dewasa ini telah mengintegrasikan satu aspek dari pendekatan Client-Centered Counseling dalam pendekatannya, yaitu perlunya komunikasi antarpribadi yang didukung oleh sikap dasar konselor dalam menunjukkan penerimaan, pemahaman, dan penghargaan terhadap konseli sebagai sesarna man usia. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa konsepsi Rogers mempunyai pengaruh positif yang besar terhadap semua pendekatan konseling yang diterapkan dewasa ini. Hal ini tampak, antara lain, dalam penggunaan beraneka teknik konseling yang verbal, seperti Refeksi Pikiran, Refleksi Perasaan, Klarifikasi Pikiran, Klarifikasi Perasaan, dan Penerimaan, yang digunakan oleh konselor dari aliran mana pun juga, lebih-Iebih pada awal proses konseling.
Berkaitan dengan layanan konseling, corak Client-Centered Counseling yang ortodoks sulit diterapkan terhadap klient dan mahasiswa tanpa mempertimbangkan beberapa hal. klient yang mengalami kesulitan dalam refleksi diri, dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran secara verbal sampai memadai, dalam keberanian untuk mengambil inisiatif terhadap perkembangan arah hidupnya, serta cenderung menunggu petunjuk tentang apa yang sebaiknya mereka lakukan, kiranya tidak dapat dilayani dengan menggunakan pendekatan ini. Berapa besar jumlah siswa dan mahasiswa yang demikian, sukar ditentukan. Narnun, pengalaman menimbulkan dugaan bahwa jumlahnya cukup besar. Selain itu, banyak masalah yang dibawakan kepada konselor di institusi pendidikan menyangkut masalah pilihan program studi dan pekerjaan serta aneka pilihan lainnya, yang tidak melibatkan alam perasaan secara mendalam dan tidak menuntut perombakan dalam konsep diri (atau sebaiknya tidak diusahakan!). Kasus-kasus yang ,menuntut penyesuaian diri terhadap suatu situasi tertentu dalam lingkungan sekolah ,keluarga atau pergaulan social, kiranya dapat diselesaikan secara tuntas tanpa mengajak siswa, dan mahasiswa menjalani.proses konseling menurut konsepsi Rogers., Oleh Karen itu; pengarang berpendapat bahwa. penerapan C1ient-Centered Counseling yang ortodoks dalam kenyataan akan jarang dilaksanakan dalam institusi pendidikan di Indonesia pada saat ini. Ini pun masih lepas dari pertimbangan, apakah jajaran konselor di sekolah cukup terlatih dalam menerapkan pendekatan ini sebagaimana mestinya!